Semester baru akan segera dimulai, ucapkan selamat datang kepada para siswa yang kini telah naik tingkat menjadi mahasiswa. Meskipun cuma bertambah maha, namun mahasiswa digadang-gadang sebagai lompatan besar dalam hidup seseorang. Tidak main-main, menjadi mahasiswa bukan sekadar bangun pagi, duduk di kelas, dan pulang dengan segudang tugas. Menjadi mahasiswa berarti meninggalkan rutinitas yang di-klaim apatis itu dan memikirkan hal-hal yang lebih besar seperti halnya masyarakat dan negara.
Berdasarkan sebuah artikel di detik.com, ada setidaknya tiga peran mahasiswa selain menjadi generasi penerus bangsa yang terpelajar. Pertama sebagai Iron Stock, mahasiswa dianggap sebagai harapan yang nantinya dapat menjadi pemimpin bangsa dan mengatasi persoalan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hal-hal lainnya yang sampai kini masih tidak kunjung ideal. Kedua sebagai Guardian of Value, mahasiswa yang merupakan kaum terpelajar—karena di negeri ini pendidikan masih menjadi barang mahal—harus mampu menjadi contoh dalam menerapkan dan menjaga nilai-nilai moral di masyarakat. Ketiga sebagai Agent of Change, mahasiswa sudah sepatutnya menjadi aktor perubahan agar Indonesia menjadi lebih bermartabat, makmur, dan sejahtera.
Namun sebelum itu, apakah kalian bertanya-tanya bagaimana proses perubahan dari seorang siswa menjadi mahasiswa?
Sebelum resmi menjadi mahasiswa, semua calon mahasiswa baru (camaba) harus mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB). Panduan PKKMB 2020 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuliskan bahwa PKMBB memiliki tujuan untuk memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus. Hal ini meliputi penanaman nasionalisme, pengenalan sistem pembelajaran, pengenalan hak dan kewajiban mahasiswa, mewujudkan kampus ramah (inklusif), aman, dan sehat, dll.
Terdengar menyenangkan kalau kita hanya membaca kalimat-kalimat di atas. Tapi sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, acara pendewasaan camaba ini kerap kali disalahpahami sebagai ajang unjuk kekuasaan. Ironisnya, dilakukan oleh para panitia tersendiri. Di tengah-tengah pandemi yang mewajibkan kegiatan PKKMB secara daring pun, orang-orang yang haus rasa hormat masih punya cara mencapai tujuan-tujuan salah kaprah ini.
Salah satu yang paling banyak dibahas belakangan ini adalah aksi pembentakan peserta PKKMB di salah satu universitas terkemuka di Surabaya. Dalam klip berdurasi 29 detik yang tersebar di sosial media, terlihat dua orang camaba yang tidak memakai sabuk sehingga panitia mempertanyakan hal tersebut dengan bentakan. Ketika kedua peserta meminta maaf, mereka malah menyepelekan permintaan maaf itu. Saat ditelusuri, justru peraturan PKKMB di hari tersebut tidak mewajibkan penggunaan sabuk. Duh, terlanjur senang sih bisa marah-marah.
Apa hanya kali ini hal seperti itu terjadi? Tentu tidak. Ada banyak sekali bentakan-bentakan yang tidak jelas urgensinya terjadi ketika musim PKKMB di segala penjuru negeri. Mereka berlindung dibalik kata pendisiplinan, seolah-olah kata disiplin sepaket dengan bentakan. Katanya sih cara paling efektif, padahal bukannya disiplin, para camaba malah membenci mereka beramai-ramai, hanya pura-pura manut saja di depan komisi ‘disiplin’. Lalu untuk kedepannya cuma diingat sebagai pengalaman yang patut ditertawakan. Disiplinnya? Hilang ditelan kesal.
Belum lagi klip lainnya yang menyusul viral, masih di PKKMB yang sama terlihat tiga orang panitia yang bertengkar dan saling mendorong di saat acara masih berlangsung dan tersiar secara live. Tidak begitu jelas apa yang diperdebatkan, namun para camaba sibuk melerai via suara. Sementara panitia lain tidak terlihat, setidaknya dalam 19 detik selang waktu dalam klip tersebut.
Pertanyaannya, panitia macam apa yang mempertontonkan perdebatan di tengah-tengah acara? Ingin menunjukkan bahwa konflik tidak bisa dihindari? Atau memberikan gambaran ‘kerasnya’ dunia perkuliahan? Omong kosong. Setiap acara pasti punya konfliknya sendiri, tapi itu merupakan cacat yang harusnya tetap disimpan dibalik layar. Dan sekeras apapun dunia perkuliahan, tidak ada mahasiswa yang bergerombol dan dorong-mendorong selagi ditonton ratusan orang lainnya.
Wahai kakak tingkat, bukankah PKKMB adalah proses pendewasaan? Kedewasaan macam apa yang bisa didapat dari bentakan, pengabaian kata maaf, dan aksi dorong-mendorong yang dipertontonkan?
Ini baru dua kasus yang viral, belum berbagai kekonyolan lainnya yang disembunyikan dengan apik. Sudah terlalu banyak pula opini yang diketik, percuma kalau senior-senior yang terhormat masih menganggap penyalahgunaan kekuasaan ini sebagai tradisi. Harapan bahwa PKKMB bertujuan untuk mewujudkan kampus ramah, aman, dan sehat cuma berakhir sebagai kutipan kecil di kertas proposal.
Kalau disiplin bisa didapat dengan cara baik-baik, kenapa memakai cara yang buruk?
Kalau hormat bisa didapat dari pengertian, kenapa malah memanfaatkan kebencian?
Kalau PKKMB adalah proses pendewasaan, kenapa malah dilakukan dengan kekanak-kanakan?