Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa pada Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan bahwa Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.”
Kondisi kesehatan psikis dan mental dianggap turut berpengaruh terhadap kemampuan akademik mahasiswa. Bahkan, tuntutan aktivitas akademik pun turut mempengaruhi kekuatan mental mahasiswa. Pendapat ini dikemukakan oleh Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia pada 14 Januari 2020 melalui artikel yang berjudul Layanan Kesehatan Mental di Lingkungan Kampus: Urgensi dan Solusi.
Universitas Brawijaya sebagai salah salah satu kampus dengan mahasiswa terbanyak sendiri cukup progresif dalam menyediakan pelayanan kesehatan mental mahasiswa. Ini dibuktikan dengan didirikannya Badan Konseling Mahasiswa (BKM). Kami melakukan survei dengan jumlah responden sebanyak 72. Tujuannya yaitu untuk mengetahui kecenderungan kesehatan mental mahasiswa di Universitas Brawijaya sekaligus memetakan peran Badan Konseling Mahasiswa (BKM) dalam membantu mahasiswa mengatasi kesehatan mental mahasiswa.
Hasil survey menunjukkan sejumlah 56.9% responden tidak tahu bahwa terdapat layanan konseling mahasiswa tingkat universitas dan sejumlah 55.6% responden tidak tahu bahwa terdapat layanan konseling mahasiswa tingkat fakultas di Universitas Brawijaya. Hal ini mengindikasikan sosialisasi mengenai layanan konseling baik di tingkat universitas ataupun fakultas ke mahasiswa masih belum optimal.
Sebagian besar responden (95%) menilai keberadaan BKM penting karena mayoritas mahasiswa merasa mengalami kesulitan khususnya terkait akademik perkuliahan seperti tugas kuliah dan skripsi. Responden juga menjelaskan bahwa BKM dapat membantu mahasiswa mengurangi tingkat depresi dan stres. Tak hanya masalah perkuliahan saja, sebagian mahasiswa juga membutuhkan solusi tentang masalah lain seperti keluarga, pertemanan, ekonomi atau finansial, dan lainnya yang dapat berpengaruh ke ranah akademik.
Dua responden menyebutkan BKM bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa sebagai sarana alternatif dari jasa psikiater yang dianggap mahal bagi kalangan mahasiswa serta menghindari stigma bahwa berkonsultasi ke konselor/psikiater dianggap sebagai ‘gila’. Khusus bagi BKM di tingkat fakultas, tiga orang responden beranggapan bahwa BKM di tingkat fakultas akan memudahkan birokrasi mahasiswa untuk melakukan konsultasi, dibandingkan dengan tingkat universitas yang masih berbelit-belit.
Tiga responden lainnya secara spesifik menyatakan kehadiran BKM Universitas masih terkendala dari minimnya tenaga konselor yang profesional menangani kesehatan mental mahasiswa. Selain itu, tidak adanya narahubung dan ketidakjelasan informasi terkait prosedur pelayanan membuat mahasiswa ragu atau enggan menggunakan layanan konseling yang sudah disediakan oleh universitas maupun fakultas. Dua responden survei yang pernah menggunakan layanan konseling bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengatur kesesuaian jadwal dengan konselor, jadwal konselor yang tidak pernah kosong, serta konseling melalui email konseling universitas yang tidak pernah mendapatkan balasan.
Survei menunjukkan bahwa 50% responden berminat untuk menggunakan BKM baik di fakultas atau universitas. Mereka yang berminat beranggapan bahwa bantuan pihak yang professional dibutuhkan sebagai pertolongan pertama dalam mencari solusi atas masalah kesehatan mental. Keberadaan BKM ini menjadi jawaban bagi mereka yang tidak tahu harus mencari pertolongan atas permasalahan kesehatan mental serta memanfaatkan pelayanan yang terdekat dan gratis.
Namun, sejumlah 37.5% responden ragu-ragu dan 12.5% responden tidak berminat menggunakan BKM baik di fakultas atau universitas. Pertimbangan profesionalitas konselor serta keberadaan penyuluhan terkait BKM menjadi alasan mahasiswa ragu atau bahkan tidak berminat menggunakan BKM. Selain itu, takut dengan adanya judgement, rasa malu, tidak nyaman, sulit percaya pada orang lain yang belum dekat, dan keraguan atas keberhasilan konseling juga menjadi alasan mahasiswa enggan berkonsultasi ke BKM.
Ketika BKM belum mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa mengenai layanan kesehatan mental, mahasiswa mencari alternatif lain yang sekiranya dapat meredakan permasalahan mental yang mereka alami seperti beribadah, berusaha mencari solusi sendiri, istirahat, menangis, menyendiri, melakukan hobi yang disenangi, hingga cerita ke teman dekat atau keluarga. Beberapa mahasiswa pun mengaku pernah menyalahkan diri sendiri atas permasalahan yang dialami. Semua itu merupakan mekanisme diri untuk melepaskan beban yang mereka alami.
Kecerdasan akademik mahasiswa dalam mengemban tanggung jawab dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta soft skill yang memadai tidak ada artinya tanpa diimbangi dengan kecerdasan emosional dan kesejahteraan mahasiswa. Penelitian Julika dan Setiawati (2019) dengan judul Kecerdasan Emosional, Stres Akademik, dan Kesejahteraan Subjektif pada Mahasiswa menunjukkan bahwa stres akademik dan kecerdasan emosional berkontribusi terhadap kesejahteraan subjektif (kepuasan hidup, banyaknya respon perasaan positif yang dirasakan, dan sedikitnya respon perasaan negatif yang dirasakan) mahasiswa.
Keberadaan BKM di bumi Brawijaya ini menandakan komitmen kampus menjadi garda terdepan dalam ikut serta menyejahterakan mahasiswa secara mental dan psikologis sekaligus menjalankan amanat negara terkait kesehatan mental. Oleh karenanya, kehadiran BKM di satu sisi penting bagi sebagian mahasiswa, akan tetapi masih perlu adanya perbaikan dari segi birokrasi dan ketersediaan tenaga konselor dan jadwal konsultasi. Dengan begitu, kampus dapat secara total berkontribusi tidak hanya mendorong kecerdasan akademik, tetapi juga kesehatan dan kecerdasan emosional mahasiswa.
Data dikelola oleh tim Litbang LPM Perspektif