Malang, PERSPEKTIF– Insiden pemecatan anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Universitas Sumatera Utara (USU) telah memicu berbagai reaksi. Insiden pemecatan ini berawal dari cerpen yang diterbitkan oleh LPM Suara USU. Cerpen tersebut dinilai pihak rektorat USU berisi konten Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) dan pornografi. Hal ini diikuti dengan pemecatan delapan belas anggota LPM Suara USU.
Widya Hastuti, Pemimpin Redaksi (Pemred) LPM Suara USU mengungkapkan bahwa kejadian ini berawal dari pemanggilan pertama dari pihak rektorat (19/3). Melalui pemanggilan ini, rektor USU meminta agar cerpen tersebut diturunkan. Akhirnya mereka menurunkan cerpen di Instagram, tapi tidak yang di website.
Lebih lanjut, Widya menceritakan bahwa pihaknya mendapatkan surat panggilan kedua pada (24/3) dan menemui Rektor USU pada (25/3). Pada pemanggilan kedua ini, rektor telah mengeluarkan pernyataan untuk mencabut Surat Keputusan (SK) pengurus LPM Suara USU. “Kemudian dia (rektor) bilang, ‘ya sudah kalian balik kuliah saja, gak usah di suara USU. Suara USU tidak dibubarkan tapi kalian yang harus keluar dari Suara USU.suara Setelah itu, kami akan buka rekruitmen untuk orang yang mengisi Suara USU dan itu aku yang seleksi sendiri’ kata rektor,” ungkap Widya mengulangi perkataan Rektor USU hari itu.
Widya menjelaskan bahwa tindakan rektor tersebut melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) LPM Suara USU. “Rektor hanya bisa membubarkan status kelembagaan LPM Suara USU. Tetapi, yang dilakukan rektor adalah memecat individu yang berada di struktur keorganisasian. Nah, sekarang yang dipertanyakan adalah kekuatan AD-ART melawan rektor, kekuatan rektor terlihat lebih besar dari AD-ART yang berlaku,” jelas Widya.
Selain itu, Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan dan mendiskusikan isi dari cerpen yang menjadi dalang dibalik pemecatan anggota LPM Suara USU. “Kami dilarang untuk mengadakan diskusi. Tetapi setelah negosiasi dengan pihak rektorat, kami bisa diskusi dengan sastrawan. Nah, sastrawan tersebut menilai bahwa cerpen tersebut tidak ada masalah dan cerpen tersebut adalah bentuk kreativitas sastra. Namun, rektor tidak menerima pendapat kami.” Kata Widya.
Wahyu Agung Prasetyo, Badan Pengurus Advokasi PPMI Nasional menanggapi tindakan Rektor USU sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan kebebasan mimbar akademik. Baik itu berdasarkan regulasi pedoman perilaku mahasiswa USU maupun Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1989 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
“PPMI melihat bahwa kasus ini ditanggapi oleh rektor dengan sikap yang tidak mencerminkan kebebasan mimbar akademik. Kampus ini sudah terlihat represif sekali sejak awal, dengan mematikan laman resminya dan melarang anggota LPM Suara USU liputan,” jelas Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu mengungkapkan bahwa PPMI mengritik prosedur yang ditempuh oleh Rektor USU. “Dalam konteks kampus, rektor harus lebih mengedepankan aturan dan tanggung jawab rektor. Kami lebih mengritik prosedur yang ditempuh rektor dalam menindaklanjuti konten dari cerpen yang diterbitkan LPM Suara USU,” tuturnya
Wahyu menambahkan argumentasi yang dikemukakan Rektor USU tidak jelas. Hal ini karena tidak ada kajian, diskusi, atau konsolidasi terlebih dahulu mengenai cerpen tersebut.
Dilansir dari Tirto.id (29/3), Rektor USU, Runtung Sitepu menjelaskan bahwa AD/ART tidak dapat dibuat sembarangan. “Suara USU itu Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada SK (Surat Keterangan) Rektor. Masak itu disebut intervensi? Nanti kalau AD/ART organisasi mereka berisi macam-macam, bagaimana? AJI (Aliansi Jurnalis Independen) jangan mengurusi kayak gini. Ini UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), urusannya kampus USU. Ini bukan pers mahasiswa, tapi UKM,” jelasnya.
Lebih lanjut, Runtung Sitepu mengungkapkan bahwa tindakannya ini untuk nama baik USU. “Memang betul, kami tak bisa membatasi karya seseorang, tapi perhatikan juga di mana dipublikasikannya. Atas nama Suara USU. Menggunakan nama USU. Kalau dikumpulkan seluruh alumni USU dan Suara USU, pasti tidak akan setuju. Karena ada konten pornografi. Ini semua untuk nama baik USU,” pungkasnya. (jab/cha/ptr)