*Oleh: Kendita Agustin M.A.
Suasana cerah dengan cahaya hangat terang, mewarnai sore itu. Sudah lama tidak berkunjung ke tempat luas nan putih itu. Putih, benar, bersih, tembok putih baru, menggema dan kosong, tidak ada barang apapun di sana. Pintu luar sudah diperbaiki, gedung tampak luar terlihat amat kokoh menjulang, tangga menuju tempat itu amat bersih. Tapi benar-benar sepi, berbeda dengan suasana di bawah sana yang ramai, lalu lalang remaja-remaja. Membawa jajanan di tangan, bercengkrama dengan kawan, menggending buku besar-besar. Gadis bersurai panjang kemudian terduduk di tangga paling bawah. Merenung dan menatap lapangan luas di hadapannya. Harapan bertemu keramaian di gedung sirna sudah, tak tampak siapapun. Bahkan tak ada satu siswa pun yang berniat untuk menengok dan bertanya pada gadis itu. Jam sudah menunjukkan pukul 15:00, agenda siswa di sekolah tersebut adalah ekstrakurikuler. Selang berapa menit, lapangan mulai ramai dengan siswa-siswa yang berganti pakaian sesuai ekstrakurikuler masing-masing. Sebagian kelas masih melaksanakan bimbel toefl, berjadwal memang, tidak bersama-sama. Pembimbing toefl terbatas.
Lapangan berplester itupun semakin ramai dengan datangnya pelatih esktra yang berkaitan dengan olahraga, hari itu basket yang sedang memakai lapangan. Ekstrakurikuler olahraga lainnya ada di hari lain untuk giliran berlatih. Hingga pukul 17:00, satu per satu siswa telah selesai dengan sesi ekstrakurikuler. Masing langgeng gadis itu duduk menunggu, “pulang yuk, sudah sore, percuma Taria” kata seseorang tiba-tiba sudah berada di depan gadis yang dipanggilnya Taria. Tidak menoleh ia, perasaanya hampa tidak tahu harus seperti apa. Kecewa sangat jelas terlihat dari wajahnya. Berbeda dengan sebulan lalu ketika dia dengan spontan memeluk Gamal, orang yang bersamanya, dan Elan, sahabatnya, karena didapuk menjadi pelatih salah satu ekstrakurikuler sekolah tersebut. Sudah hampir dua setengah tahun lamanya dia tidak memasuki gedung bersih tersebut, setelah lulus, memang dia datang ke sekolah tapi tidak dengan mengunjungi gedung. Semangatnya berkobar sejak pagi hingga terpadamkan sore itu. Gamal sudah berusaha membujuk siswa yang “terdaftar” tapi tidak datang, bahkan sudah ada yang pulang. “Minggu depan kita coba lagi,” kata Gamal selanjutnya, Taria kemudian berdiri, menjinjing tote bag nya. Menatap lekat Gamal, terdiam, laki-laki itu tahu Taria ingin berkata apa. “Minggu depan kita coba lagi,” kata Taria sambil senyum “Basi,” lanjut Taria selanjutnya dengan muka menghujat. Gamal mengusap wajahnya yang lelah, ketika Taria akan melangkah menuju gerbang sekolah ia menyadari sesuatu. “Ada apa?” tanya nya pada seorang siswa yang memperhatikan mereka dari balik tangga. “Anu kak, mau bilang sesuatu, anu itu ekstrakurikuler sudah ditutup, seminggu lalu,” kata siswa tersebut dengan takur-takut. “kenapa?” tanya Taria tampak tenang, tapi jujur dia terkejut. “Anu, karena nggak berprestasi lagi,” ada keheningan, kemudian Taria tertawa, Elan yang baru datang terheran dengan situasi aneh tersebut.
Mencak-mencak Taria berjalan menuju ruang guru yang terhubung dengan ruang kepala sekolah. Hanya mengetuk sekali tanpa mengucapkan salam, Taria langsung menghadap kepala sekolah yang rupanya sedang berkutat dengan laptop dihadapannya. Kepala sekolah baru, “Pak, ini ekstrakurikuler gamelan kenapa dihentikan?” tanya Taria dengan tidak sopannya, tanpa mengenalkan diri bahkan masuk dengan kurang ajar. “siapa ya? Kenapa tidak sopan sekali? Alumni?” tanya beliau dengan nada tenang tapi mematikan. “ Maaf pak dia sedikit emosi tadi, kenalkan pak kami alumni, saya Gamal, ini Taria dan di belakang saya Elan pak,” sambung Gamal cepat-cepat sebelum Taria menjawab dengan meledak. “duduk,”
“Memangnya suatu yang luar biasa ya kalau ekstrakurikuler yang menghabiskan dana dan tidak lagi berprestasi harus dipertahankan? Buang-buang uang,” ucap beliau dengan santainya, justru membuat Taria naik pitam lagi. “Bapak tidak melihat prestasi mereka seperti apa pak? Memangnya selama ini Bapak tahu prestasi mereka seperti apa? Bapak orang baru dan harusnya Bapak mengetahui, Bapak bangga kan jadi kepala sekolah di sekolah favorit ini?” Taria menanggapi dengan amarah yang sangat meluap-luap. “saya tahu kok, tapi itu kan dulu, dan lagi tidak ada anak-anak yang tertarik untuk masuk ekstrakurikuler itu, kalian ini mau menjadi pelatih ya? Di suruh siapa? Wong ekstra sudah bubar,” kepala sekolah plontos itu cukup tenang juga menanggapi Taria.”saya rasa, tidak semudah itu sebuah sekolah menghapus ekstrakurikuler, apalagi sebelumnya sudah berprestasi sampai tingkat nasional,” ucap Taria yang kemudian memutuskan meninggalkan ruangan dengan tidak sopannya lagi. Daripada membuat amarah semakin meluap pikirnya, dia sadar sudah kelewatan atas sikapnya terhadap kepala sekolah. Mungkin dia bisa lembut ketika mengajari atau bermain gamelam bahkan menari tapi bukan berarti dia tidak memiliki emosi. Suatu yang amat sangat membuatnya marah, terlebih ini soal dunia yang dicintainya. Dimana ia belajar melalui sekolah ini, dihapus begitu saja. Tidak mungkin semua siswa tidak tertarik dengan pelestrian budaya, satu dua atau mungkin sepuluh orang, punya keinginan untuk bergabung.
Berinisiatif Taria menemui pembimbing karawitannya, tetap diikuti Gamal dan Elan yang masih mengiringinya. Teringat mereka bagaimana perjuangan generasinya dulu untuk ikut lomba. Memakai uang sendiri, tidak diberikan uang oleh sekolah. Sesampainya di rumah sederhana tapi asri itu, Taria kembali bertemu siswa yang ia temui tadi di sekolah. Sedang bercengkrama bersama guru dan pembimbing yang sangat dirindukannya itu. Bersimpuh Taria, Gamal dan Elan di hadapan gurunya. Mencium tangan dan memberikan salam. “ketemu lagi kak,” ucap siswa laki-laki itu. Taria tersenyum, emosinya sudah reda ketika melihat gurunya. “Maafkan saya Taria, karena sebulan ini saya tidak ada kabar dan tidak ada yang latihan,” ucap Gurunya dengan rasa sangat bersalah. “Saya sudah menunggu pak, sejak pukul 3 sampai 5, setiap minggunya, tak ada satupun yang datang, malah anak ini memberitahuku kalau ekstrakurikuler sudah ditutup,” jawab Taria. Gurnya tersenyum, terlihat miris dan prihatin. “Memang, sudah ditutup, tidak ada dana masuk,”
“Apa karena fokus mereka bukan ke bidang seni pak? Selama ini hanya olimpiade, OSN dan lainnya yang mereka dengan sukarela selalu menggelontorkan dana sebesar-besarnya, kemudian amat bangga mengumumkan juara di podium upacara,” ungkap Elan dengan sendu. “Memang begitu, dua bulan lalu, kita mengikuti lomba, mendapatkan dana karena kita berhasil masuk ke dalam OSIS akhirnya, setelah kalian lulus, bukan hal mudah, mereka seolah tidak rela uang digelontorkan pada kesenian, hanya fokus pada akademik,” Taria, dan lainnya menahan amarah. “Puncaknya ketika lomba kami tidak menang kak, mereka menyalakan pak guru habis-habisan, dipermalukan di rapat rutin hari senin guru, di depan semua guru, bahkan mereka yang katanya mendukung pun tidak berkata apa-apa, tidak berusaha untuk membela,” lanjut siswa laki-laki itu,”mereka hanya tidak suka guru kita sepertinya, yang berdampak pada urusan profesional,” lanjutnya. Pak guru tertawa dengan keras, “itu mereka eman saja mengeluarkan uang, ada kepentingan lain, sudahlah, kurasa kalian paham,”
“Korupsi? Suap? Untuk apa Pak?”
“Mengembalikan reputasi sekolah untuk prestasi akademik, jadi sekolah mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk pembimbing dan apa-apa yang dibutuhkan,” kata pak Guru sambil menerawang. “Intinya kami, kalian, dan adik-adikmu ini diremehkan,” tutup pak Guru lalu berdiri mengambil jagung dan memberikan pada burung di kandangnya. “lalu kenapa sampai gedung itu kosong? Dimana pak gamelannya?” tidak ada kata yang keluar, hanya gestur kepala yang menujuk ke dalam rumah. Di sanalah gamelan mereka. Sekolah mereka tidak banyak mendukung gamelan, bukan, bukan karena mereka tidak cinta tapi prioritas mereka adalah prestasi akademik. Bukan non-akademik, walaupun sudah menyandang juara nasonal, tidak mudah untuk membuat sekolah membanggakan karawitan mereka. Padahal mereka sudah mati-matian untuk mengeluarkan dana pribadi sebelum masuk OSIS, sekarang justru terlantar.
Taria, berdiri, kemudian menghampiri tempat gamelan diletakkan, terdengar sendu gamelan dimainkan. Gamal dan Elan mengikuri dengan pelan. Ada siswa lain di sana. Diam Taria, suasana semakin sendu, “ada yang perlu diperbaiki oleh kami, dan sekolah kami,” ucap Taria pelan.
Udara sudah dingin, langit sudah tersiram gelap tapi tetap bercahaya bulan. Pertunjukkan selesai. Suara tepuk tangan riuh menyambut, kepala sekolah sedang tertunduk. Malu.
-Selesai-
PENULIS MERUPAKAN MAHASISWI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA ANGKATAN 2016. SAAT INI BERPROSES DI DIVISI SASTRA LPM PERSPEKTIF.