Malang, PERSPEKTIF – Ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia akhir-akhir ini mendapat perhatian lebih dari masyarakat. Hal tersebut disusul perkembangan proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Ada beberapa pasal baik dalam RKUHP maupun UU MD3 dinilai berbagai kalangan membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Diskusi intelektual atau demonstrasi yang dilaksanakan bertujuan untuk mengkritik pemerintah kerap menimbulkan persoalan. Pada 2017 lalu, terdapat beberapa aksi demonstrasi yang ditujukan untuk memberi kritik pemerintah yang dilakukan mahasiswa berujung menjadi masalah. Diantaranya aksi yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Malang (AMM) ketika menyambut kedatangan Jokowi di Malang. Kemudian aksi peringatan evaluasi tiga tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang dilakukan Badan Eksekuti Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Jakarta.
“Aksi saat itu jelas meluruskan kembali kebijakan Jokowi terkhusus masalah pendidikan, kenaikan BBM, kemudian jaminan sosial bagi tenaga kerja,” ujar Agus Supremasi, Hubungan Masyarakat (Humas) aksi AMM saat ditemui Perspektif (19/3).
AMM terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Univesitas Islam Malang, BEM Negeri Malang, BEM Universitas Kanjuruhan Malang, Front Mahasiswa Nasional, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Supremasi Hukum dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kanjuruhan menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo yang pada saat itu sedang menghadiri suatu acara di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan aksi pada 3 Juni 2017.
Aksi yang diikuti sekitar 50 orang diakui Fajrin Fadillah, Koordinator Lapangan (Korlap) aksi AMM tidak berjalan sesuai rencana “Beberapa kali pihak kepolisian, bernegosiasi dengan kami agar membatalkan aksi. Rencananya kami hanya lakukan mimbar bebas di depan gerbang UMM dengan membawa poster berisi tuntutan dan orasi. Tepat pukul 10.00 massa aksi mulai ke jalan, tidak sampai sepuluh menit belum sempat berorasi serta membentangkan sepanduk, puluhan aparat keamanan langsung memberangus massa” jelas Fajrin saat dihubungi Perspektif (16/3).
Fajrin menambahkan bahwa polisi merampas megaphone, selebaran tuntutan hingga memukul beberapa massa aksi dan mendorong paksa massa masuk ke dalam sebuah garasi kos-kosan selama lima jam.
Ia juga tidak dapat merima alasan yang diberikan pihak kepolisian atas tindakan pengamanan kehadiran terhadap massa aksi. Karena massa aksi hanya ingin menyampaikan tuntutan pada presiden terkait isu yang telah dikaji. “Alasan yang diberikan aparat, karena yang datang adalah RI 1 (red: Presiden Jokowi) maka harus steril dari apapun. Kemudian, soal ketertiban dan keamanan, takut kami mengganggu acara kampus. Terakhir, ketika yang datang RI 1 ke Malang jangan sampai terjadi aksi agar menarik investor ke Malang (red: Malang dianggap aman),” jelas Fajrin.
Hal yang sama juga dialami BEM SI saat melakukan aksi tiga tahun evaluasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK di depan Istana Negara, pada 20 Oktober tahun lalu. Aksi yang disebut Sidang Rakyat menyuarakan tiga tuntutan yakni, turunkan kesenjangan ekonomi, gugatan pengekangan hak publik dan wujudkan kedaulatan rakyat, yang ketiga rakyat menuntut supremasi hukum.
“Tuntutan itu berdasarkan hasil musyawarah BEM SI dan konsolidasi pengurus inti yang juga dikonsolidasikan dengan yang lain. Jadi itu kesepakatan bersama pengurus inti dan presma (red: presiden mahasiswa) dari seluruh universitas yang tergabung di dalam BEM SI,” ungkap Muhammad Ardi Sutrisbi, Koodinator Lapangan aksi Sidang Rakyat saat dihubungi Perspektif (15/3) .
Bertepatan dengan dilaksanakan Sidang Rakyat, Presiden Jokowi sedang berada di luar kota. Sehingga harapan massa aksi berdialog dengan presiden tidak tercapai. Padahal sebelum aksi sudah melalui jalur prosedural, telah mengirimkan surat ke pihak istana. Saat aksi hari tani (24/9) tahun lalu, juga telah bertemu dengan pihak kepresidenan. Pihak kepresidenan menyanggupi menyampaikan ke presiden bahwa mahasiswa akan datang pada (20/10).
“Aksi tuh awalnya berjalan sesuai rencana. Rencana kami sampe mahgrib, namun setelah mahgrib yang menjadi goals atau tuntutan yang ingin disampaikan tidak tercapai. Maka, teman-teman terutama presma dari seluruh universitas sepakat akan berdiam diri di depan istana. Hingga tuntutan kami untuk berdialog langsung dengan presiden maupun wakil presiden tercapai,” jelas mahasiswa Institut Pertanian Bogor tersebut.
Pada pukul 23:30 Waktu Indonesia Barat (WIB) aksi dibubarkan oleh pihak kepolisian dengan alasan telah melewati ketentuan waktu. Ketegangan serta kericuhan terjadi antara aparat dengan mahasiswa. “Komitmen kami di situ tidak akan melakukan aksi anarkis, kami duduk nyanyi sholawatan. Mendekati 23.30 aparat melakukan prosedur yang menurut kami anarkis di mana kawat-kawat dibuka. Aparat menyiapkan mobil di belakang dan di depan barisan aksi, massa diseruduk masuk. Kalo seperti itu kami mau mundur, ternyata pas kami mau mundur mereka anarkis melempari batu, mukul,” jelas Ardi.
Saat dikonfirmasi Ardi membenarkan bahwa ia menjadi salah dari 14 mahasiswa peserta aksi yang ditahan di Polda Metro Jaya. Dua belas mahasiswa dibebaskan sehari setelah kejadian. Ardi dan Ihsan Munawwar mahasiswa STEI SEBI masih ditahan dan ditetapkan menjadi tersangka atas tuduhan memprovokasi dan perusakan fasilitas umum. Setelah ditahan selama sepuluh hari Ardi dan Ihsan akhirnya dibebaskan. Berkaitan dengan kasus tersebut, polisi juga menetapkan dua mahasiswa lagi yaitu Wildan Wahyu Nugroho (Universitas Sebelas Maret) selaku Koordinator Pusat BEM SI 2017 dan Panji Laksono (Institut Pertanian Bogor) sebagai tersangka.
“Status empat orang masih tersangka dan prosedurnya rada aneh. Masih belum jelas arah hukumnya ke mana. Kami disuruh lapor wajib sebulan sekali bolak-balik di Polda Metro Jaya,” ungkap Ardi.
Saat ini Ardi dan kawan-kawan menyerahkan proses hukum melalui tim kuasa hukum dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia. Selain itu Ardi juga mendapat bantuan hukum dari biro hukum kampusnya.
Berkaca pada kasus yang dialaminya, Ardi melihat ada suatu ketakutan dari pemerintah yang tidak melihat tahapan intelektual di dalamnya. Sehingga ketakutan tersebut mengarah pada pembungkaman suara mahasiswa. “Mereka tidak bisa melakukan antisipasi secara intelektual hingga akhirnya melalui jalur-jalur hukum yang mereka paksakan. Aksi mahasiswa ini melalui tahapan-tahapan yang intelektual dan akademis mulai dari bawah kita menganalisis suatu masalah lalu mengkajinya. Mereka menganggap aksi yang dilakukan mahasiswa ada tunggangan politiknya, padahal tidak demikian,” terang Ardi.
Menanggapi kemunculan pasal yang dianggap akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, Ardi mengungkapkan kebebasan bersuara yang tidak terjamin oleh negara, “Intinya ada demokrasi yang tidak sehat di negeri kita. Terkait MD3 ini seolah-olah DPR ini kebal hukum dan kritik padahal mereka representasi dari rakyat,” ungkap Ardi.
Kemudian mengenai pasal penghinaan presiden, Ardi mengatakan bahwa presiden bukanlah manusia yang sempurna dan luput dari kesalahan. Sebagai seorang pemimpin pasti akan menemui hal-hal yang mungkin tidak selaras dengan visi misinya maupun Undang-Undang Dasar (UUD). Sehingga pasa-pasal tersebut tidak sehat untuk keberlangsungan demokrasi. “Ini yang akan terus kawan-kawan mahasiswa suarakan,” tutup Ardi.
Senada dengan Ardi, Fajrin mengutarakan kekecewaannya terkait keberadaan pasal-pasal pada RKUHP dan UU MD3 yang dapat mengganggu ruang demokrasi yang ada. “Ini sangat kontraproduktif dengan pembangunan demokratisasi di Indonesia. DPR itu salah satu tugasnya adalah menampung aspirasi masyarakat, maka harus ada ruang yang luas disana bagi masyarakat untuk menyampaikan. DPR terlihat ingin memiliki power yang berlebih,” ungkap Fajrin.
Kemudian tanggapan terkait pasal-pasal karet dalam RKUHP dan UU MD3 juga datang dari Agus. Menurutnya pasal karet tersebut mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi dan kembali ke zaman orde baru. “Itu sangat mengancam, kita berdiskusi berkumpul ataupun berpendapat di media itu akan dinyatakan oleh negara sebagai bentuk permusuhan kita terhadap negara atau pemerintah. Karena kita berdiskusi seperti ini akan dinyatakan menyebar kebencian, padahal kita punya hak yang sama,” jelas Agus.
Lebih lanjut Agus mengkritisi pasal dalam UU MD3, “DPR merupakan bagian daripada masyarakat. Masyarakat seharusnya punya ruang untuk memberikan saran dan evealusi. Namun, adanya UU MD3 ini diibaratkan DPR tidak boleh dikritik,” tutup Agus. (fam/rkd/ynd/wur)