Malang, PERSPEKTIF – Pembahasan draf Peraturan Menteri (Permen) terkait Organisasi Mahasiswa (Ormawa) akhirnya dihentikan. Hal tersebut disampaikan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui pernyataan resmi yang dikeluarkan pada (6/2).
Dilansir dari situs resmi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti), Direktorat Kemahasiswaan menghentikan pembahasan Permen Ormawa sejak tanggal 18 Desember 2017. Kemudian mengembalikan pengaturan tentang organisasi kemahasiswaan pada statuta perguruan tinggi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sosialisasi draf Permen Ormawa dilakukan pada akhir tahun kemarin (14/12) dihadiri perwakilan dari 30 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada sosialisasi dijelaskan bahwa peraturan mengenai Ormawa ini akan diterapkan dan berlaku seragam di seluruh universitas di Indonesia. Meskipun pada akhirnya pembahasan dihentikan, wacana akan ditetapkannya Permen tersebut sempat menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa.
Perspektif pun mendapatkan beberapa tanggapan mengenai permen ormawa yang apabila berlaku dikhawatirkan dapat memberatkan dan mengancam kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi.
“Ya salah satunya yang bisa dirugikan banget ya lupa poinnya di poin berapa, akan ada intervensi besar dari rektorat dan Dikti terkait kedaulatan kami di kemahasiswaan. Bisa jadi ya, mulai dari AD/ART bisa jadi juga dari pendanaan. Itu bener-bener semua diatur penuh takutnya kayak gitu. Entah ya maksudnya dalam artian diaturnya gimana yang jelas kekhawatiran dari teman-teman sendiri banyak yang seperti itu,” ungkap Muhammad Nur Fauzan , Presiden Eksektutif Mahasiswa (EM), Universitas Brawijaya (UB) saat ditemui (6/3).
Hal serupa disampaikan oleh Yohanes Wisnu Dharmesa selaku ketua Forum Studi Mahasiswa Pengembang Penalaran (Fordi Mapelar). Ia memandang bahwa keberadaan permen ormawa dapat menjadi alat kontrol terhadap mahasiswa khususnya dalam hal berorganisasi. “Misalkan sebuah organisasi mahasiswa mengkritik rektorat namun karena dianggap membahayakan nanti organisasi itu bisa di-ilegalkan. Itu jelas bisa menjadi alat kekuasaan represif kampus dan negara,” ungkap Wisnu pada (/3).
Wisnu memandang keberadaan draf Permen Ormawa juga dapat membatasi diskusi sebagai wadah akademisi mahasiswa. Hal tersebut berkaitan dengan poin dalam draf Permen Ormawa pasal 12 tentang larangan untuk melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Selain itu, terkait dengan poin pasal 12, tanggapan juga disampaikan oleh Arief Budiman, ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Malang Raya. “Organisasi manapun itu jangan ragu-ragu untuk belajar apapun. Negara ini, negara manapun tidak bisa melarang rakyatnya untuk belajar,” ungkap Arief pada (21/3).
Selain itu, terkait dengan poin larangan berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, Arief memandang aturan tersebut tidaklah logis. Menurutnya keberadaan organisasi ekstra kampus sebenarnya didukung oleh Undang-Undang yang dibuat oleh negara. “Jadi timpang tindih gitu lho antara kebijakan yang ada di pendidikan tinggi maupun di Undang-Undang soal keorganisasian, kepemudaan, kemasyarakatan. Jadi gak bakal efektif aturan seperti itu kalau menurut saya,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anak Agung, ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FISIP UB. Menurutnya poin pelarangan untuk berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus ini akan bertentangan dengan tujuan pemerintah mencerdaskan kehidupan publik. “Justru yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengurung atau mengekang mahasiswa untuk berafiliasi dengan organisasi ekstra. Padahal kita tahu sendiri, bahwa selama ini dalam sejarah pembangunan di Indonesia, organisasi ekstra itu cukup berperan penting dalam mencetak para penerus bangsa,” jelas Agung pada (12/3).
Muhammad Alfian Nafi, Wakil Ketua 2 Eksternal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berpandangan bahwa keberadaan draf Permen Ormawa ini akan mencederai mahasiswa. Karena akan berdampak membunuh karakter bangsa. “Seharusnya aturan seperti itu tidak membatasi pemikiran seseorang untuk berdiskusi, berdialog, bahkan pendapat seseorang. Itu menurut saya sangat membunuh karakter bangsa bahkan itu bisa diteruskan. Sekarang kalo kita melihat juga banyak apalagi terkait dengan peraturan revisi Undang-Undang MD3 dan sebagainya itu sangat membahayakan,” terang Alfian pada (2/3).
Pembahasan mengenai draf permen ormawa meski telah resmi dihentikan tetap menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mahasiswa mengingat kemungkinan akan diterbitkannya peraturan serupa dapat terjadi. Poin-poin yang tertulis dalam draf permen ormawa sendiri dinilai oleh mahasiswa dapat merepresi serta membatasi kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi. Hal tersebut kembali ditegaskan oleh Arief. “Di era yang sudah menuju negara demokratis, gak bisa terus menerus organisasi-organisasi intra kampus maupun ekstra kampus ini direpresi melalui kebijakan maupun melalui tindakan-tindakan aparat. Entah dia bentuknya dari kebijakan hukum entah dia bentuknya adalah penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan kita. Karena kita gak mungkin, negeri ini beromantika lagi dengan masa-masa di mana organisasi begitu direpresi,” pungkas Arief. (shv/zza/cor/wur)