Tidak mudah bagi seorang Bambang Ruswanto Tikno Hadi untuk hidup pasca-65. Hanya menjadi seorang guru di Sekolah Rakyat, lantas Ruswanto harus kejar-kejaran dengan militer dari Banyuwangi hingga Surabaya karena berafiliasi dengan Pemuda Rakyat, organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia. Berpindah-pindah tempat hingga akhirnya ia menyerah ketika diciduk oleh Korem 084 di Surabaya, Ruswanto menjalani masa-masa 12 tahun penyiksaan dan ketidakadilan yang dilimpahkan kepadanya. Ia masih menyimpan memori dan kenyataan pahit bagaimana sejarah membohongi mereka yang hidup di masa kini, tentang perlawanan rakyat daerahnya di Dusun Cemethuk. Bagaimana sejarah, dengan entengnya diputarbalikkan. PERSPEKTIF menyambangi kediaman Ruswanto Tikno Hadi, yang terletak di Dusun Curah Ketangi, Banyuwangi, Jawa Timur.
*****
Ketika kami berkunjung ke kediamannya di ujung Dusun Curah Ketangi, rumah sederhana itu tampak sepi dan teduh di kelilingi pepohonan. Suasana perayaan hari Kemerdekaan Indonesia masih menyambut kami dengan kibaran bendera merah putih di depan rumah. Siang itu, Senin (4/9), seorang pria tua yang akrab disapa Pak Rus, menyambut dengan ramah dan mempersilakan awak PERSPEKTIF untuk masuk ke hunian sederhananya.
Begitu masuk ke rumah pria tua itu, kami dihadirkan oleh ruang tamu yang tidak seberapa luasnya, dengan tumpukan buku-buku dan koran-koran yang tersaji di atas meja menjadi penghias. Kami pun sempat tertarik ketika pandangan kami tertuju pada salah satu buku yang tergeletak di meja berjudul Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965 (Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia).
Ya. Pak Rus yang bernama asli Bambang Ruswanto Tikno Hadi itu adalah seorang mantan tahanan politik 1965 (eks-tapol 65). Selama 12 tahun ia mendekam di balik penjara Kalisosok, Surabaya. Sebuah harga yang harus dibayar tidak adil karena keanggotaannya dalam organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu Pemuda Rakyat. Melalui permulaan cerita singkatnya, Pak Rus juga mengatakan bahwa ia pernah menjabat sebagai Wakil ketua PGRI Non-Vaksentral tahun 1963-1965.
Kondisi Politik di Banyuwangi
Pak Rus banyak bercerita mengenai kondisi politik di Banyuwangi, menjelang penumpasan anggota dan simpatisan PKI tahun 1965. Situasi Banyuwangi memanas karena ada persaingan kekuatan politik seperti PKI, militer, dan kalangan Islam NU dalam pemilihan bupati.
“Bupati yang terpilih adalah Kanapi Suwarso, dengan dukungan dari Partai Komunis Indonesia. Nah, kalangan-kalangan PNI dan kalangan Islam tidak setuju, mengharapkan bukan Kanapi Suwarso yang terpilih, tetapi calnon lain,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pada saat pecah peristiwa ’65 ia tidak sedang berada di Banyuwangi dan pindah ke Surabaya. Meskipun terpisah dengan jarak, ia tetap mengetahui segala peristiwa yang terjadi di Banyuwangi.
“Waktu itu saya diperlukan organisasi, Pemuda Rakyat Tingkat I, yang namanya Pimpinan Daerah Besar. Dinasnya otomatis mengikut ke sana (Surabaya). Sehingga peristiwa 1965, saya ada di Surabaya,” tambahnya.
Menceritakan karirnya, Ruswanto pada waktu itu berprofesi sebagai guru di Sekolah Rakyat Perkebunan Kalirejo, Glenmore, Banyuwangi, sebelum akhirnya memutuskan menjadi pendeta. Ia sempat menyinggung dan meluruskan apa yang terjadi pada peristiwa tanggal 18 Oktober 1965 di Dusun Cemethuk, Banyuwangi, yang menewaskan 62 orang oleh orang-orang yang dituduh PKI. Terdapat Monumen Lubang Buaya mini di dusun tersebut.
Ketika kembali ke Banyuwangi pada tahun 1980, ia mendatangi monumen tersebut. Ia menjelaskan bahwa kalimat di dada garuda tersebut tertulis : ‘di sini pada tanggal 18 Oktober 1965 telah terjadi pembunuhan secara kejam dan massal oleh G-30-S/PKI pada 62 pemuda Pancasilais`. Ia meluruskan perihal tulisan di dada garuda pada monumen itu tidaklah sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya.
“Namun, pada kenyataannya, kejadian yang terjadi sebaliknya. 62 orang itulah yang akan membakar Dusun Cemethuk,” jelasnya.
Ia kemudian bercerita mengenai peristiwa lain. Berdasarkan Komando Tumpas Ganyang PKI yang berpusat di Muncar, menghitung bahwa daerah Karangasem dan daerah Yosomulyo merupakan daerah yang banyak memiliki orang yang berafiliasi Komunis. Kedua daerah tersebut dirancang untuk dibumihanguskan.
“Orang-orang Karangasem berpikir, kalau salah ya salah, kalau salah ya dicari dan diperiksa kesalahannya seperti apa dan hukum dilakukan. Tapi kalau tiba-tiba kampung mau dibakar, orang-orang melaporkan ke kabupaten akan tetapi tidak digubris. Akhirnya orang-orang siap siaga untuk mempertahankan hunian,” ungkap lelaki kelahiran tahun 1950 itu.
Tenggelam dalam cerita, Pak Rus melanjutkan, penduduk pun bersepakat untuk bersiap menghadapi serangan dari pasukan Operasi Tumpas PKI yang bertugas membakar daerah tersebut. Upaya dilakukan adalah dengan merobohkan pohon sebagai penutup jalan. Dalam catatan tulisan Ruswanto pada tahun 2005, upaya lain yang dilakukan adalah dengan melempari batu bata dan ibu-ibu menyiramkan air cabai. Pasukan tumpas PKI berangkat dari Muncar dengan tiga truk berisi bensin dan senjata pun panik mendapati serangan dari penduduk. Mereka terdesak sampai ke Dusun Cemethuk dan diserang oleh penduduk Dusun Cementhuk karena merasa tempat tinggalnya terancam.
“Saya mendapat keterangan itu dari kanca-kanca (teman-teman) setelah saya pulang (ke Banyuwangi). Jadi itu sudah saya tulis. Orang-orang itu tidak membunuh tetapi mempertahankan hunian,” tegasnya.
Penangkapan di Surabaya
Ia menceritakan perihal penangkapannya di surabaya. Pada tahun 1967, ia berumah tangga. Selama delapan bulan ia menjadi buronan. Ia menceritakan bahwa ia mendapatkan perlindungan dari teman-temannya, sehingga ia bisa lepas. Ruswanto terpaksa untuk bergerilya ke berbagai tempat, hingga pada September 1968, ia yang tidak dapat bertahan akhirnya terciduk oleh Korem 084.
Malam ketika pintu rumahnya di Surabaya digedor, Ruswanto mengaku berada di kamar. Istrinya yang membukakan pintu. Ia sempat mendengar suara istrinya saat menghadapi petugas Korem 084.
“Saudara menjalankan tugas negara tapi tidak sopan saudara. Jam berapa buka pintu.Ya, mana surat suadara!” kata Ruswanto menirukan kalimat istrinya waktu itu.
Mengetahui situasi tersebut, ia memperhitungkan untuk keluar melalui jendela meskipun sadar bahwa rumahnya telah dikepung. Ketika meloncat keluar jendela, baru beberapa langkah, kepala Ruwanto ditodong senapan. Kemudian ia diseret ke mobil petugas Korem 084.
“Sampai di sana, dilempar pada suatu tempat, sebuah ruangan itu. Seperti patung hidup mereka, Tidak ada satu pun yang ngomong,” cerita Ruswanto mengenai orang-orang yang ada di ruangan tersebut.
Satu per satu orang-orang tersebut diperiksa. Dalam pemeriksaan, Ruswanto didesak menceritakan teman-temannya. Ia diancam dimasukkan ke penjara apabila tidak mau membuka suara. Semua pakaiannya dilepasi dan hanya menyisakan pakaian dalam. Ia juga menceritakan bagaimana ia menjalani siksaan selama pemeriksaan tersebut.
“Setrum, setrum, setrum. Jadi seluruh badan katut (ikut tertarik),” terang Pak Rus dengan perasaan ngeri yang masih tertaut di wajahnya.
Sampai sekarang, ia masih mengingat nama komandan yang memeriksanya waktu itu dan apabila ada kesempatan dan si komandan masih hidup, ia ingin menemuinya dan menanyakan mengapa si komandan melakukan hal tersebut kepadanya. Setelah pemeriksaan tersebut, Ruswanto dimasukkan ke penjara Kalisosok. Akhir 1967, setelah mendekam 12 tahun, Ruswanto keluar dari penjara. Ia bertemu lagi dengan sang istri. Karena tidak betah di Surabaya, sang istri meminta pindah dan kembali tinggal ke Banyuwangi.
Upaya Rekonsiliasi
Setelah keluar dari penjara, Ruswanto sempat tinggal di Surabaya selama 10 tahun kemudian kembali ke Banyuwangi. Ia menuturkan, bertemu dengan mahasiswa dan anak muda dari Lembaga Kajian dan Pengembagan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama (Lakspedam NU). Ia juga terharu dengan anak-anak muda yang ingin mencari tahu bagaimana bangsa di daerah-daerah termasuk Banyuwangi bisa dipecah-belah pada peritistiwa `65-66.
“Mereka mengadakan workshop, diskusi kebangsaan`26, pertemuan tingkat kabupaten, provinsi, sampai di tingkat pusat sana. Saya diajak terus ketika itu, bertemu dengan penyintas-penyintas yang lain dan tokoh-tokoh yang ikut pembunuhan waktu itu. Disatukan, mawas diri masing-masing. Dan melakukan pengakuan,” tuturnya.
Dalam cacatan berita Radar Banywangi edisi 29 April 2003. Ruswanto bersama Lakspedam dan organisasi-organisasi lain berusaha mendorong adanya rehabilitasi terhadap korban dan pelurusan sejarah. Ia juga mengungkapkan pamannya bernama Mroyo menjadi korban pembunuhan massal waktu itu. Ada anak-anak ataupun cucu-cucu dari korban peristiwa 1965-1966 lain yang mengaku kepadanya akan mencoba membalas dendam kepada pelaku-pelaku yang masih hidup. Namun, Ruswanto menolak dan mencegah.
“Kita harus melawan dendam kita ini. Nanti tidak rampung-rampung. Bertepatan saya ini di Banyuwangi ini adalah anggota lembaga penelitian 1965-1966, termasuk Lembaga Kajian dan Pengembagan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama kemudian, juga Lembaga Perjuangan Korban `65 dan Korban Rezim Soeharto,” ujar Ruswanto.
Kedua organisasi yang diceritakan oleh Ruswanto tersebut merupakan lembaga dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan tujuan untuk mengatur hak-hak korban peritistiwa 1965-1966 yang masih hidup. Kemudian, usaha Ruswanto dan teman-temannya kala itu bersama-sama menguji materi Undang-Undang pada masa pemerintahan Soeharto Nomor 28 Tahun 1975. Peninjauan kembali undang-undang tersebut diajukan ke Mahkamah Agung dan diterima tahun 2013. Buah dari usaha tersebut adalah gugurnya undang-undang tersebut.
“Selanjutnya, Presiden SBY bertangungjawab memberikan undang-undang agar orang-orang (korban peristiswa 1965-1966 yang masih hidup) mudah mengurus haknya,” tambahnya.
Saat ini, Ruswanto tinggal sendirian setelah istrinya berpulang pada tahun 1994 dan mengabdikan diri menjadi pendeta Gereja Jawi Wetan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi. Ia sering menerima tamu-tamu seperti mahasiswa yang tertartik mendengar kisahnya dan melakukan penelitian terkait jejak-jejak peristiwa 1965-1966 di Banyuwangi, tuturnya diakhir perbincangan dengan awak PERSPEKTIF sore itu. (anw/kmb/zil)
Pingback: Dari Banyuwangi Hingga Surabaya, Kantongi Memori Kelam ‘65