Lompat ke konten

Mahasiswa Soroti Kebebasan Akademik UB

Malang, PERSPEKTIF – Kebebasan mimbar akademik di Universitas Brawijaya (UB) mulai dipertanyakan, hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus pembubaran dan pembatalan diskusi oleh birokrat kampus. Fenomena ini kemudian mendatangkan tanggapan dari kalangan mahasiswa.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)  beranggapan bahwa adanya pembubaran dan pembatalan diskusi yanga da adalah suatu permasalahan.

“Cukup sedih sih ya, ketika melihat ranah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) serba dilarang, karena sebenarnya ranah kita adalah mengkritisi, mengkaji, dan mempelajari. Tapi ketika semua hal tersebut semua dibatasi, maka pada akhirnya akan menjadi sebuah permasalahan,” ujar Zidny Ziaulhaque, pada (26/05)

Tanggapan tentang kebebasan mimbar akademik ini juga datang dari Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Komisariat Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KISIP) UB, Anak Agung Malik Ibrahim Pratama.

“Rezim sekarang ini hampir mirip dengan orba. Alasan mereka membubarkan biasanya karena berbahaya buat keamanan negara, ada intervensi luar terhadap  kampus, padahal kampus punya otoritas untuk menjamin kebebasan itu. Kampus sebenarnya telah melanggar etika kebebasan akademik, membatasi diskursus mahasiswa. Sangat aneh saat kampus dikatakan sebagai lingkungan intelektual tidak toleran terhadap wacana apapun,” papar mahasiswa Ilmu Politik itu, pada (1/06).

Ketua Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pancasila FISIP UB Periode 2016/2017, Dwi Isa Aqlami, mengungkapkan bahwa ia kurang setuju dengan cara tesebut dan memandangnya sebagai belenggu kebebasan berfikir, “Pembatasan atas pengayaan intelektual atau dalam hal ini pembubaran forum diskusi tidak saya sepakati. Karena merupakan wujud belenggu kebebasan berfikir” terang Isa, pada (1/06)

Ketua Unit Aktifitas Keagamaan Islam (UAKI)  Havidz Abdul Aziz, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Filkom), menuturkan pembubaran serta pembatalan berbagai diskusi ini dikarenakan isu keislaman mulai dipandang sensitif oleh kampus.

“Sebenarnya ga hanya di ub saja yg mulai sensitif soal isu keislaman di Indonesia. Beberapa kampus lain juga mengalami hal yang sama, mungkin pihak birokasi mencari sisi aman agar tidak menyebabkan kondisi lingkungan memanas di dalam kampus,” tuturnya, pada (31/06)

Senada dengan Havidz, Presiden Eksekutif Mahasiswa (EM) UB Ahmad Khoiruddin, menjelaskan bahwa pembubaran dan pembatalan diskusi karena ditakutkan adanya kontroversi, sehingga hal tersebut merupakan upaya antisipasi dari pihak birokrat.

“Kalau saya kemudian diskusi dengan pak rektor, beliau menyampaikan memang cenderung rawan untuk di isukan begitu, ya ada sosok tertentu atau tokoh tertentu yang diundang ini kemudian ditakutkan akan menimbulkan kontroversi, akhirnya bias. Jadi itu yang kemudian di antisipasi sebenarnya,” terang Khoiruddin, mahasiswa Fakultas Pertanian 2013 itu, pada (26/06).

Zidny juga mewanti-wanti akibat dari adanya pengekangan atas kebebasan mimbar akademik yang terjadi kian marak,  nantinya akan menimbulkan perlawanan dari mahasiswa, “hati-hati nih buat birokrat, bisa-bisa kita ketika emang bener-bener udah jenuh sama pengekangan ini, kita bisa berontak,” ujar mahasiswa Sosilogi.

Diakhir wawancara dengan awak Perspektif, Isa juga mengisyaratkan hal yang senada dengan Zidny, “sebagai antisipasi agar tidak ada kasus serupa, utamanya di FISIP UB, saya menyarankan, lawan pembatasan intelektual! Artinya mahasiswa harus berani menolak, itu lah wujud kesadaran intelektual.” tegas mahasiswa Sosiologi 2014 itu. (glf/ynq/knd/zil)

 

(Visited 454 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?