Lompat ke konten

Kampus Khawatirkan Gerakan Komunis, LGBT dan Isu Keagamaan

Ilustrasi (PERSPEKTIF, Elisabeth Katharina S)
Ilustrasi (PERSPEKTIF, Elisabeth Katharina S)

Malang, PERSPEKTIF Universitas Brawijaya (UB) pada semester ini memerhatikan beberapa isu, contohnya seperti gerakan  komunisme serta Lesbian, Gay dan Transgender (LGBT), yang dianggap saat ini sudah mulai tumbuh.

“Pertama, bicara tentang isu yang dibangun oleh teman-teman gerakan yang mempunyai afiliasi dan upaya-upaya model komunis, ini movement dan yang kedua yaitu, gerakan tentang LGBT sebagai gerakan yang sudah menggejala.  Dua hal tersebut sedang diproses,” ungkap Imron Rozuli, yang pernah menjabat sebagai Wakil Dekan (WD) II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) tersebut pada (31/5).

Unti Ludigdo, Dekan FISIP UB, menyatakan bahwa ia tidak membatasi kedua hal tersebut sebagai sebuah kajian, namun dibatasi dalam aspek gerakan. “Kalau di kampus sudah berkembang gerakan Partai Komunis Indonesia ataupun gerakan LGBT, lepas itu dari segala variasinya. Kita harus beraksi gitu dong, ini Perguruan Tinggi publik, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang harus menjalankan misi kebangsaan,” ucapnya pada (5/6).

Menanggapi hal tersebut, Nanda Pratama, Mahasiswa Hubungan Internasional (HI) tahun 2011, menilai bahwa, kebangkitan komunisme sebagai sebuah khayalan saja yang keluar dari ketakutan berlebihan dan menganggapnya aneh dan tak berdasar.

“Kampus seharusnya lebih paham tentang hal ini, sehingga ketakutan tersebut tidak muncul. Isu kebangkitan komunisme ini akan muncul sebagai isu politis yang dikeluarkan oleh elit politik untuk menekan kehidupan demokratis,” ujarnya pada (12/06).

Ia menambahkan jika dikembalikan lagi kepada komunisme sebagai ideologi perjuangan kelas, maka komunisme hanya akan menyemai ketakutan dihati rezim yang pro terhadap kepentingan pemodal.

Di sisi lain, Fajar Shodiq Ramadlan, Dosen Ilmu Politik FISIP UB, memandang bahwa masyarakat Indonesia itu fragmentic state. Mudah sekali dibenturkan masyarakatnya, karena ada sentimen yang tertanam sejak lama. Ia mencontohkan semisal sentimen ideologi, etnisitas, dan ketimpangan.

Nah, sentimen itu bisa direproduksi untuk kepentingan tertentu, oleh mereka yang mampu melakukan hal tersebut, “ jelasnya pada (12/06)

Selain itu, isu keagamaan juga menjadi perhatian, contohnya beberapa diskusi yang dibatalkan semester ini seperti Kajian Islam dengan pemateri Felix Siauw serta diskusi dan bedah buku “Salju di Aleppo” karya Dina Sulaeman.

Zulfiqar Naufal Maulana, Ketua Pelaksana kajian islam dengan pemateri Felix Siauw, menjelaskan bahwa, polisi membubarkan acara diskusi tersebut karena tidak mengantongi izin, padahal acara sudah hampir selesai.

“Ada beberapa orang sekelompok masyarakat yang menghubungi kami (panitia) ketika di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), bahwa mereka siap menyerang,” ungkapnya pada (1/6).

Menurut Havidz Abdul Adziz, Ketua Unit Aktivitas Kerohanian Islam (UAKI) UB, berpendapat bahwa, isu mengenai keislaman saat ini memang sensitif dan itu tidak hanya terjadi di UB saja, namun di beberapa kampus di Indonesia mengalami hal yang serupa.

Untuk kasus pembatalan diskusi dan bedah buku “Salju di Aleppo” sendiri yang diselenggrakan oleh Laboratorium Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional (HI) FISIP UB, Yusli Effendi, Sekretaris Prodi HI, mengungkapkan pembatalan disebabkan oleh adanya sentimen terhadap kelompok syi’ah.

“Dalam kasus “Salju di Aleppo” ini orang yang datang adalah kelompok salafi, yang merasa mereka terancam dengan kedatangan narasumber, yang bagi mereka adalah orang syi’ah dan ancaman itu sudah pada level fisik, datang ke kampus menyampaikan surat, mengintimidasi dengan kata-kata kalau tetap dilanjutkan kami tidak menjamin keamanan acara ini,” ungkapnya pada (30/5).

Jama’ah Ansharusy Syari’ah, yang diwakili oleh Fuad Ibrahim, Ketua Bidang Dakwah mengakui bahwa mereka mendatangi rektorat UB pada sore hari untuk menyampaikan keberatannya atas acara tersebut.

“Akhirnya kita melihat pembicara. Beliau ini merupakan yang ditokohkan menjadi pengikut Syiah. Ini menurut Majelis Ulama Indonesia, Jawa Timur. Syiah ini aliran sesat dan kita tidak menghendaki. Beliau ini berupaya untuk menyebarkan aliran Syiah tersebut,” jelasnya.

Sebelumnya Yusli telah menawarkan untuk memberikan ruang diskusi pada acara tersebut bagi pihak yang tidak setuju, namun kelompok tersebut tidak ingin berdialog. “Kita benturkan aja biar audiens tahu ini maunya apa. Ya kita kupas argumennya secara akademis masuk akal  atau tidak, begitu,” jelasnya.

Yusli melihat adanya pembatalan diskusi tersebut karena melihat UB sebagai PTN, yang sumber dananya dari publik, yakni pemerintah. Maka, apa yang menjadi agenda pemerintah memiliki keterkaitan dengan agenda rektor.

“Rektor ada dibagian itu, di salah satu dari petinggi pemerintahan lokal maka tidak bisa dipahami parsial, apa yang menjadi narasi dikampus bisa jadi nyambung dengan agenda nasional,” terangnya.

Menanggapi beberapa pembatalan diskusi yang terjadi di UB, Pranatalia Pratami Nugraheni, selaku Kepala Sub-bagian Kearsipan dan Humas UB, menyatakan bahwa kampus mencoba melakukan upaya pencegahan, daripada nantinya kondisi kampus menjadi tidak kondusif.

“Jadi sebetulnya begini, kemarin itu ada forum rektor, itu sepakat bahwa kita ini hidup di negara pancasila yang harus tunduk dan patuh kepada pemimpin yang sedang memimpin kita sekarang,” pungkasnya pada (30/5).  (wur/ank/dik/prl/lta)

(Visited 659 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?