Malang, PERSPEKTIF – Aktivitas akademik di Universitas Brawijaya (UB) diawasi oleh pihak eksternal seperti Intelijen (Intel) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Ada beberapa isu yang menjadi fokus pengawasan mereka, untuk Intel sendiri, isu komunis menjadi hal yang terus dipantau.
“Kalau ada apa-apa, apalagi yang berbau komunis, kalau mereka (Intel) tidak tahu, akan dihukum oleh komandannya, hukuman yang paling parah mereka akan dipindah keluar provinsi,” jelas Prijo Firmantoro, Kepala Keamanan Markas Komando (Mako) UB.
Prijo mengatakan pihak Mako sering didatangi oleh intel untuk berkoordinasi perihal perkembangan isu komunis di kampus, diantaranya ada dari Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), Kepolisian Resor Kota (Polresta), dan Kepolisian Sektor (Polsek). Untuk posisi UB sendiri, Prijo menuturkan bahwa kontrolnya berada di bawah Polsek langsung.
“Mereka (Intel) ditekan dari Kepolisian Resor (Polres), ditekan dari Kepolisian Daerah (Polda), Polda ditekan Markas Besar (Mabes), jadi ditekan terus. Jadi yang di Jakarta sana bisa monitor kesini. Jadi laporan-laporan itu dengan kecanggihan mereka cepat ngirimnya,” ungkapnya, pada (8/06).
Selain itu, Prijo menerangkan bahwa, pihak Intel juga membangun jaringan dengan mahasiswa untuk mendapatkan informasi, yang nantinya mahasiswa tersebut melaporkan kepada intel. Prijo mengatakan untuk rektor sendiri, langsung berhubungan dengan komandan dari Intel tersebut.
Tercatat pada tanggal 15 Februari 2017 lalu, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dipasang banner yang berisi himbauan untuk menghindari paham Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menolak Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Namun karena menuai kontroversi banner tersebut dicopot dua hari setelahnya.
Imron Rozuli, Dosen Sosiologi FISIP UB, menjelaskan, saat ia masih menjabat sebagai Wakil Dekan (WD) II FISIP UB, ada masukan dari pihak eksternal mengenai kecurigaan mereka terhadap berkembangnya isu paham PKI dan LGBT di FISIP, setelah sebelumnya melalui penelusuran simbol-simbol dari akun media sosial.
“Dari pihak eksternal data apa yang bisa mendukung hal-hal yang mereka sebutkan. Ketika berbicara ada isu upaya gerakan dalam tanda kutip, marxis dan komunis, gerakan tersebut arahnya apa, mereka tidak mau menjelaskan. Memang ini memang masih insecure,” ujarnya, pada (31/05).
Imron juga mendapatkan informasi dari pihak eksternal tersebut, bahwa suatu daerah pasti mempunyai satu forum Intelijen, yang dikoordinasi oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol). “Mereka (Bakesbangpol) yang mengkoordinasi, di FISIP ini juga sering mengisi acara akhirnya sering bertemu,” jelasnya.
Selain dari Intel, beberapa Ormas juga ikut andil dalam mengawasi kegiatan akademik yang ada di UB, salah satu kasusnya adalah pembatalan diskusi dan bedah buku “Salju di Aleppo” karya Dina Sulaeman yang diselenggarakan oleh Laboratorium Program Studi Hubungan Internasional (HI) FISIP UB, pada tanggal 5 Mei 2017 lalu.
Unti Ludigdo, Dekan FISIP UB, menuturkan bahwa pembatalan berasal dari pihak rektorat yang setelah diberitahu oleh kalangan Nahdliyin dan Ansor. “Antara lain dari Nahdhatul Ulama melalui organnya, itu yang Pak Rektor sampaikan. Kemudian yang lain memang ada ormas tertentu langsung ketemu saya. Tapi kalau yang tadi ya, itu lewat Pak Rektor,” ungkapnya, pada (5/6).
Sehari sebelum acara diskusi dan bedah buku diselenggarakan tepatnya pada tanggal 4 Mei 2017 lalu, salah satu Ormas yakni Jama’ah Ansharusy Syari’ah (JAS) melayangkan surat kepada ketua panitia bedah buku “Salju di Aleppo” dengan nomor surat 04/JAS/0417, dengan maksud untuk membatalkan diskusi.
“Kita juga sudah melakukan komunikasi dengan ormas-ormas yang lain dan mereka juga tidak setuju. Sehingga kami membuat surat dan menyampaikan kepada panitia penyelanggara diskusi itu. Sebelumnya kami juga sudah berkoordinasi dan ketika kita kesana sudah didampingi dengan anggota kepolisian,” terang Fuad Ibrahim, Ketua Bidang Dakwah JAS, pada (6/06)
Menanggapi hal tersebut pihak rektorat yang diwakili oleh Kepala Sub-Bagian Kearsipan dan Humas UB, Pranatalia Pratami Nugraheni, mengatakan bahwa UB menerapkan kebebasan akademik yang bertanggung jawab, ada norma-norma yang berlaku di masyarakat dan wilayah akademik yang harus dijalankan. (suf/mch/ttm/lta)