Malang, PERSPEKTIF – Massa aksi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Mayday 2017 Kota Malang, memperingati Hari Buruh dengan menggelar aksi di Alun-Alun Kota Malang pada (1/5).
Dalam aksi tersebut ada empat tuntutan pokok yakni cabut Peraturan Pemerintah (PP) no. 78 tahun 2015, tolak sistem kerja outsourching dan kontrak, tolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan tolak upah murah, serta sepuluh tuntutan turunan yang menjadi fokus utama.
Mengenai PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, dilansir dari laman setkab.go.id dijelaskan bahwasanya pengupahan tersebut dilakukan untuk mencapai penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh.
Namun disisi lain, hal ini bertolak belakang dengan yang dirasakan oleh buruh saat ini. Misdi Muhammad sebagai salah satu buruh yang terhimpun dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) sekaligus Koordinator Lapangan (Korlap) aksi menuntut pemerintah mencabut PP No. 78 Tahun 2015 karena dinilainya merugikan hak buruh dalam memperoleh upah.
“Di PP No 78 ini kan gak ada, pokoknya inflasi tahun ini sekian persen, sekian persen ya sudah sedangkan kebutuhan hari ini kan tidak bisa ditentukan hari ini, oleh karena itu kami menuntut (untuk) cabut PP No 78 “, tegasnya.
Kedua, buruh menolak sistem kerja outsourching dan kerja kontrak, Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 mengatur bagaimana ketenagakerjaan ini dimaksudkan untuk penyedia jasa/pemborongan kerja.
Namun pada kenyataannya menurut Misdi, hal tersebut menjadi salah satu kendala karena dengan adanya aturan ini perusahaan terhadap buruh cenderung sewenang-wenang. Salah satunya ialah pembungkaman yang dilakukan aparat militer terhadap buruh.
“Ini hak normatif kan ada UU nya tapi mereka aparatur negara gak mau perhitungan, itulah yang sampai hari ini menuntut agar tidak ada campur tangan militer dalam perburuhan,“ ungkapnya.
Ketiga, dalam aksi menolak adanya PHK. Dalam orasinya Riski menegaskan tak boleh patah semangat dalam memperjuangkan hak-hak kaum buruh, utamanya dalam menghadapi PHK yang kian hari makin marak.
Terakhir, menolak upah murah, hal ini menurutnya berdasarkan pada biaya-biaya yang sudah tak sepadan dengan kebutuhan sehari-hari.
“kan kenaikannya seperti apa ya, harus mengikuti aturan yang ada, kalau surveynya karena kan upah engga asal muncul angka, kita melakukan survey sekitar enam bulan sebelum keluar “ pungkasnya. (miq,lta)