Lompat ke konten

Mengubah Metafora Verbal Menjadi Visual dalam Pasar Film Indonesia

CAIR - Asrofi (paling kanan) membuka diskusi bersama Mahesa Desaga, Muhdi Rahayu, dan Yusri Fajar. (PERSPEKTIF/Rani)

CAIR – Asrofi (paling kanan) membuka diskusi bersama Mahesa Desaga, Muhdi Rahayu, dan Yusri Fajar. (PERSPEKTIF/Rani)

Malang, PERSPEKTIF – Diskusi film bertemakan “Metafora dan Puitika Film-Film Indonesia” dilaksanakan di Kafe Pustaka pada hari Sabtu (24/3). Dihadiri oleh pemateri seperti Mundi Rahayu dan Yusri Fajar selaku pengamat film dan sastrawan, serta Mahesa Desaga sebagai pembuat film.

Mundi Rahayu yang juga seorang dosen Sastra Inggris mengatakan, bahwa film Indonesia yang sedang populer merupakan film tentang Islam. Besarnya minat penonton film tentang Islam ini seperti Surga yang Tak Dirindukan 2 yang dirilis 8 Maret lalu merupakan hal yang menarik dan problematik. Kepuitisan dan metafora itulah yang sedang banyak digemari oleh orang Indonesia.

“Metafora itu tidak dilihat secara verbal. Mendialogkan hal-hal berbeda dalam film dan membuat penonton memiliki pengetahuan lebih yang bersifat substansial sehingga penonton harusnya kritis. Sebab dari kekritisan itu yang membuat filmmaker mampu membuat film yang lebih baik lagi,” jelas dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Sementara Yusri Fajar mengakui bahwa film yang disukai orang Indonesia saat ini berbeda dengan film pada tahun 80-an. Tidak ada kepuitisan pada saat itu, film disajikan apa adanya.

Dosen Universitas Brawijaya ini mengatakan bahwa narasi seharusnya diolah agar masyarakat berpikir, itulah sisi puitis yang harus diangkat dan persoalan metafora ini tidak lepas dari ideologi. Misalnya film propaganda Pengkhianatan G 30 S/PKI yang pada tahun 1984 disebarluaskan untuk masyarakat Indonesia. “Industri film Indonesia tidak lepas dari selera pasar,” tuturnya.

Sebagai sastrawan, Yusri menilai film Indonesia perlu berterima kasih pada karya sastra. Banyak sekali karya sastra yang akhirnya diadaptasi menjadi sebuah film akhir-akhir ini. Kekhawatiran yang muncul dari karya sastra yang difilmkan adalah metafora verbal.

“Dalam film Istirahatlah Kata-Kata, sisi puitisnya adalah ketika Wiji Thukul sendirian. Dari situ muncul kesulitan mengubah dari metafora sastra yang tertulis menjadi metafora verbal,” jelasnya.

Mahesa Desaga yang mensutradarai film pendek Jumprit Singit, justru mengatakan hal yang berbeda dari dua pemateri lainnya. “Seorang filmmaker seharusnya membuat film menjadi hal yang visual, bukan verbal. Sebab visual adalah pencerita utama dan seharusnya satu frame gambar sudah memiliki cerita.” pungkasnya (ran/lta)

 

(Visited 565 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?