Oleh : Agustina Rosianawati*
“Nak, manusia itu dibesarkan dengan keangkuhan,” tutur Pak Bagus di sela-sela pertanyaan putranya itu. Ia paham betul bahwa Dio bukanlah anak yang biasa-biasa saja. Ia selalu penuh dengan pertanyaan, pemikiran, bahkan bantahan-bantahan yang membuatnya berbeda. Tidak seperti anak lain, Dio tidak tertarik mendengar apa pun tentang negerinya, Indonesia.
“Lalu mereka hidup dalam keserakahan.” Nada bicara lelaki yang lebih dari setengah abad tersebut mulai terdengar menyentak. Pak Bagus ialah tipikal orangtua yang apa adanya. Ia enggan berlaku sok baik di depan anaknya, Memanjakannya dengan apa yang ia mau. Menurutnya setiap anak harus dididik secara tegas, agar kelak nantinya tidak lemah menghadapi dunia.
“Bukankah itu bagus? Ketika setiap orang serakah? Ketika sang ayah tidak pernah membelikan anaknya bendera merah putih? Ketika sang ayah terlalu naif perihal masa lalunya?”
Udara malam kian merasuki tubuh mereka berdua. Bintang-bintang perlahan seolah menjauh dari jangkauan keluarga kecil ini. Rupanya anak semata wayang ini tidak benar-benar ingin bertanya. Ia hanya ingin kembali memojokkan ayahnya dengan pembahasan bodoh andalannya. Pembahasan yang tidak pernah menemui titik temu.
“Apa yang kau maksud dengan naif, Dio?” Serupa bumerang. Serupa pepatah lama. Pak Bagus mulai terkena serangannya sendiri. Temaram lampu jalan mencoba menjelaskan. Perbincangan kali ini lagi-lagi hanya akan menggiring mereka tentang masa lalu Pak Bagus.
“Esok adalah 17 Agustus.”
“Kau tidak pernah peduli perihal ibu pertiwi.”
“Bukan. Ini tentang ibu saya! Sampai kapan Anda menyembunyikannya?”
“Jaga ucapanmu, Le …!” tegas Pak Bagus sambil melemparkan telunjuknya ke arah muka Dio. Satu-satunya alasan Dio apatis adalah dirinya–Ayah yang acuh tak acuh terhadap anaknya. Ia tidak pernah benar-benar duduk bersama putranya itu. Bercerita tentang masa lalunya. Bagi Dio, gelar pejuang ayahnya itu sia-sia saja. Tidak pernah sedikit pun ia mendengar cerita inspiratif. Seperti anak-anak lain yang tumbuh membanggakan karena dukungan orangtua mereka yang walau hanya pekerja biasa.
“Kau harus paham … kita di negeri bedebah ini cuma numpang bernapas. Begitu pula ibumu”, jelas Pak Bagus. Kali ini ia mulai mencoba terbuka. Toh, ia mulai muak dengan bocah ingusan itu.
“Saat dibesarkan dengan keangkuhan, hidup dengan keserakahan, saat itulah kita dijajah.”
Ibumu adalah orang yang baik. Aku adalah orang yang menginginkan kebaikan. Namun, negeri ini tidak pernah berbaik hati. Ia pun tertawan. Terbunuh.
Aku memang terlalu naif.
Secangkir kopi pahit di hadapan mereka tidak lagi mengeluarkan uap. Pertanda ia mulai dingin. Bukankah akan sia-sia jika mereka tidak segera menyeduh pelengkap malam tersebut?
“Ia terbunuh?” Sorot mata Dio menajam. Ia tampak begitu penasaran. Ternyata inilah alasan mengapa ayahnya selalu bersembunyi ketika ditanya perihal masa lalunya.
“Semua pahlawan terbunuh.” Saat itu merupakan saat sulit bagi sepasang pejuang muda tersebut. Bermesraan di tengah carut-marut negeri bukanlah harapan yang mudah terkabul.
“Lalu mengapa kau tak pernah bercerita?” Dio mulai terkendali. Ia kini tidak hanya sekadar tidak mau tahu perihal tanah airnya, tetapi juga mulai membencinya. Atau mungkin ia sebenarnya lebih membenci ayahya.
“Saat kita terjajah, tentu kita harus merdeka. Merdeka dari keangkuhan, keserakahan. Banyak orang ingin merdeka, tetapi sedikit yang mau memerdekakan jiwanya.”
Ibumu itu terlalu nasionalis dan aku benci itu. Tidak perlulah aku bercerita.
Memang benar pertanyaanmu. Buat apa kita merdeka.
“Buat kehilangan ibu,” simpul Dio sendiri.
*)Penulis merupakan mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya angkatan 2015. Saat ini ia aktif berproses di LPM Perspektif.