Malang, PERSPEKTIF — Tahun ini Pemilihan Mahasiswa Raya (PEMIRA UB) dapat diikuti oleh semua mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), termasuk mahasiswa difabel. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan PEMIRA tahun lalu, dimana para mahasiswa difabel hanya bisa menyaksikan tanpa ikut serta menyampaikan suaranya, tetapi kali ini mahasiswa difabel bisa menyampaikan suaranya dalam pemilihan dengan ketentuan tertentu.
“Tahun ini kami memfasilitasi e-vote khusus bagi teman-teman difabel. Di mana nanti fakultas yang memiliki mahasiswa difabel itu nanti disediakan pendamping khusus bagi mahasiswa difabel. Ya, salah satunya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sebagai salah satu Fakultas di mana terdapat cukup banyak mahasiswa difabel. Jadi, jika tahun lalu teman-teman difabel hanya bisa menyaksikan tanpa bisa ikut serta, karena belum ada teknik cara memilihnya, tahun ini bisa dan disediakan,” jelas Muhammad Ilham Septian Hadi, Ketua Pelaksana PEMIRA UB.
Namun mengingat salah satu asas Pemilihan Umum (Pemilu) yaitu kerahasiaan, maka keputusan untuk menggunakan pendamping dalam pemilihan bagi mahasiswa difabel menimbulkan sedikit kekhawatiran. Hal ini disampaikan oleh Fadilah Dian Syafitri, mahasiswa Sastra Inggris 2013 yang juga salah satu pendamping dari PSLD (Pusat Studi dan Layanan Disabilitas) UB. Ia mengatakan bahwa jika menggunakan pendamping, akankah kerahasiaan pilihan mahasiswa difabel tetap terjaga.
“Lebih baik Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus bagi mahasiswa difabel disendirikan. Mengingat bahwa mahasiswa difabel memerlukan perlakuan khusus yang apabila dicampur dengan TPS umum maka akan menimbulkan berbagai kendala, contohnya seperti tingginya alat e-vote dapat menjadi penghalang bagi mahasiswa difabel yang menggunakan kursi roda. Dan untuk alat e-vote nya, mungkin bisa dikembangkan aplikasi sendiri, semisal bagi mahasiswa tuna netra. Jadi nanti alatnya bisa mengeluarkan suara sehingga mempermudah. Aplikasinya seperti kalau di handphone itu Talkback atau di laptop namanya JAWS,” papar Fadilah memberikan saran.
Menanggapi hal itu, Ilham mengatakan bahwa hal tersebut juga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. “Untuk menyiasati kerahasiaan suara, diutamakan mahasiswa difabel untuk membawa pendamping sendiri yang sekiranya sudah dipercayai sehingga dirasa lebih bisa menjaga kerahasiaan. Namun jika tidak ada pendamping, dari panitia yang ada di TPS akan disediakan pendamping,” ujar Ilham.
Ilham juga mengungkapkan jika membiarkan mahasiswa difabel seperti tahun lalu tidak memilih malah membatasi dan kurang adil. Jadi memang tidak bisa jika tidak memakai pendamping. Dan dari alatnya sendiri juga belum siap, contohnya tidak siap jika memfasilitasi mahasiswa tuna netra pakai e-vote yang bisa bersuara. (wnd/crn/ank)