Lompat ke konten

Berhala Nasionalisme

Ilustrasi oleh Puri
Oleh: Ahmad Rifa'i*

Aku jatuh ke dalam lubang khayalan. Membawa benak jauh menuju masa silam. Ragaku terbang jiwaku melayang. Begitu dahsyat, begitu kuat, sehingga alam pikiranku sempat kesulitan membedakan antara dunia fakta dan fiktif. Tak bisa kuelakkan, walaupun bermain-main di tengah jurang keimanan, aku merasakan puncak kenikmatan tatkala berkhayal menjadi sang tokoh utama.

Setelah puas senggama kenakalan keimanan, pikiranku tenggelam dalam renungan panjang. Adakah Buku Il Nome Della Rosa karya cendekiawan masyhur Umberto Eco itu nyata? Kalau ya, betul-betul biadab. Tapi tak berani kuteruskan, karenanya aku paksakan tak percaya. Tak mau lagi bermain-main dengan jurang keimanan untuk kedua kalinya.

Sebagai tanda permintaan maaf kepada Tuhan karena jatuh pada perbuatan nestapa, kupaksakan pada diri sendiri bahwa karyanya tak lebih dari dongengan malam. Lebih lagi, adalah perbuatan durjana kalau menimbun prasangka terhadap agama sendiri. Namun, maafkan aku, Tuhan. Pesan moral berupa rasa keingintahuan terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan tafsir otoritas keagamaan akan mengantarkan seseorang menuju jurang kematian’ selalu datang semenjak aku menyelesaikan pembacaan atas buku tersebut.

Bagaimanapun, terlepas dari apakah Eco hanya membual atau berkata benar, kekuatan pesan moralnya tak bisa lagi dielakkan. Sudah menjadi kebiasaanku ketika jatuh hati kepada suatu buku, aku mencari berita yang berkaitan dengannya. Akhirnya, satu minggu setelah membaca buku tersebut, aku pun pergi ke suatu gedung pengarsipan, dan inilah yang kudapat:

Beberapa koran terbitan Eropa menjuluki buku ini sebagai ‘pengguncang alam pikiran Eropa.’ Menurut banyak laporan, hampir semua pembaca menjadi kehilangan kepercayaan terhadap semua otoritas keagamaan. Mereka menjadi curiga, dan sebagiannya lagi yakin, sampai saat ini agama apapun berusaha membelenggu umatnya dari kebebasan intelektual. Kalimat yang menurutku paling mewakilkan isi hati masyarakat Eropa terhadap otoritas keagamaan adalah sebagai berikut,

“Eco mengingatkan kita pada keadaan sekarang ini, dimana pemuka agama—meskipun sudah tidak membunuh seperti yang digambarkannya—melalui cara yang teramat halus, tetap mengurung pikiran melalui hegemoni penafsiran kalam-kalam sucinya. Menjijikkan!”

Tapi bukan hanya alam pikiran Eropa yang bergejolak, juga Amerika. Pujangga besar lambang kesusastraan Pascamodernisme, Jorge Luis Borges, melalui wawancaranya bersama majalah New York Times ketika berkunjung ke Amerika mengeluarkan pernyataan provokatif.

“Il Nome Della Rosa adalah gambaran bagaimana setiap otoritas agama melakukan apapun demi tafsir ayat-ayat sucinya tidak ditelanjangi.” Beberapa hari setelah majalah edisi itu dipublikasikan, tidak kurang dari dua puluh perdebatan antara teolog dan cendikiawan diadakan di berbagai negara bagian.

Namun situasi terpanas berada di Iran. Di sana, bukan hanya pikiran yang bergejolak, namun telah memantik api dalam tubuh untuk mengambil tahap aksi. Revolusi yang meletus pada tahun 1979, yang mengganti kiblat Iran dari pemerintahan sekuler menjadi berlandaskan agama dinilai telah mengkhianati mimpi perjuangan. Mereka menganggap ayat agama hanyalah sebatas alat negara untuk mengkafirkan para intelek yang berbeda haluan dan tajam terhadap pemerintahan. Walhasil, karena fatwa tersebut para pembandel wajib dihukum mati. Buku ini menjadi kitab suci bagi para pembandel untuk membuka hati masyarakat.

Dengan cepat, Khomeini membuat separuh langit Jazirah Arab menjadi gelap keabuan, dan menyulap air laut menjadi merah darah. Juga membuat panas dingin bagi siapapun yang masih menyimpan maupun berani melakukan transaksi bawah tanah buku Il Nome Della Rosa. Atas semua gegap gempita tersebut, karya Eco telah melahirkan apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai gelombang “New Medial Wave” di tengah masyarakat Eropa serta Amerika, dan mungkin bisa ditambahkan Iran.

Sekali lagi, maafkan aku, Tuhan. Untuk kesekian kalinya pertanyaan yang mempertaruhkan keimanan datang dengan wujud berbeda tetapi hakikatnya sama. Sepanjang perjalanan pulang dari gedung pengarsipan, rasanya aku ditarik oleh pusaran arus kuat, yang entah dari mana, sehingga memaksaku merenungkan kembali pertanyaan yang sudah kucoba untuk kukubur.

Siang maupun malam dia selalu datang tak diundang. Mengobrak-abrik berbagai rencana yang telah tersusun. Akhirnya semua rencana kugugurkan, dan kuputuskan untuk melakukan perjalanan panjang. Namun apa kata akal, belum juga pikiran membuahkan jawaban, perjalanan berhari-hari semuanya buyar oleh suara pintu yang terbuka.

“Ha! Ke mana saja kau selama ini? Sedikitpun tidak muncul batang hidungmu. Keluar kamar tidak, dan tidak berkabar. Sungguh sombong.”

“Sombong? Jika memang demikian tak mungkin aku membaca rekomendasimu,” ujarku sambil mengacungkan jari menunjuk Buku Il Nome Della Rosa.

“Ah, manis sekali rencanaku. Ah ya, tahu tidak kau? Buku ini membuat orang-orang Eropa mempertanyakan lagi agama?” Aku pun mengangguk.

“Ah, betul-betul aku kenal sahabatku ini. Memanglah menjadi kebiasaanmu kalau sudah cinta terhadap buku, maka kau cari informasi yang berkaitan dengannya. Omong-omong, apakah kau merenungkan kembali agama mu seperti mereka?”

Belum kuberikan jawaban Jean lanjut berbicara penuh antusias, “Jangan beri aku jawaban! Akan kucoba tebak. Hm, ya, pastinya!”

“Jean, hebat sekali tebakanmu!” kuucapkan dengan penuh antusias yang dibuat-buat dan dengan nada meledek. “Tapi mengapa kau tidak menebak lagi, Jean, apakah aku senang atau tidak perjalanan atas pertanyaan itu dibuyarkan oleh suara buka pintumu?”

“Ah, maafkan. Tapi Minke, sebelum kita lanjut, tak enak betul berbicara begini di depan pintu. Tapi tak mungkin juga aku masuk tanpa seizinmu, melanggar etika. Bolehkah aku masuk?”

Kupersilahkan Jean masuk. “O, tak tahan aku dengan udara di luar, terlalu dingin. Kuharap tuan rumah yang depan ku ini sadar…”

Paham aku dengan gelagatnya, artinya dia ingin disuguhkan anggur. Padahal baru saja dia bicara etika. Taik kucing!

Cuaca tak mengizinkan cahaya merahmati alam Amsterdam, merestui suasana hatiku yang sedang geram karena ulah Jean. Begitu banyak ludah keluar hanya untuk membuatnya tak enak hati. Biar tau rasa!

“Minke, sumpah mati, aku meminta maaf atas ketidaknyamanan mu. Tapi, kehadiranku disini bukanlah cuma-cuma. Ada yang harus kukatakan. Bersediakah, kau?” Aku menegur hatiku sendiri setelah mendengar permintaan maafnya. Dan selanjutnya aku nyatakan bersedia mendengar pernyataannya.

“Izinkan aku menjelaskan, Minke. Sekarang adalah tahun 1988, dan Il Nome Della Rosa sudah ada sejak tahun 1980. Butuh 8 tahun bagi kau untuk bisa menikmati karya Eco, dan itupun kau baca di sini, Amsterdam, bukan di Indonesia. Tahu kau alasannya mengapa?”

“Ya, dari pencermatanku terhadap berbagai koran dan majalah di Eropa, Amerika, juga Iran, pastilah pemerintahan Indonesia takut masyarakat umum hilang kepercayaan terhadap otoritas keagamaan.”

“Minta ampun, Minke. Tolol betul kau ini, buta terhadap kondisi bangsa sendiri.” Timbul sedikit gemericik rasa ketersinggunganku karena ucapannya.

Selanjutnya, Jean pun menjelaskan bahwa tak mungkin pemerintah Indonesia khawatir kalau-kalau otoritas keagamaan ternoda. Sebab, pemerintahan sekarang ini, yang berkiblat sekuler, semenjak menduduki singgasana sangat membatasi gerakan berhaluan kanan.

“Masih kau tersinggung karena ucapanku, Minke? Coba, bantahlah! Barangkali aku yang salah.”

Aku pun terpaksa bertekuk lutut mengakui ketololanku. Lebih-lebih, rasanya aku harus menanggung malu karena berjiwa nasionalisme tapi tak paham kabar bangsaku.

“Begini, sang pencinta bangsa…” ditekannya kata ‘sang pencinta bangsa’ untuk menyinggung nasionalismeku. “Satu tahun setelah diterbitkannya Il Nome Della Rosa, seorang budayawan sangat ingin menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia. Tahu kau apa yang terjadi?”

“Jean, selesaikan saja.”

“Baiklah kalau begitu maumu, Minke. Dia mati! Tunggu, jangan memotong pembicaraanku dulu, kau yang tadi meminta. Dia mati ketika hampir menyelesaikan terjemahannya. Tapi seorang pun tak curiga, sebab tubuhnya ditemukan di tengah hutan dengan kondisi ususnya telah keluar, kelaminnya hancur, sehingga semua orang berpikir dia dimakan binatang buas.”

Pikirku, apa salahnya orang-orang itu, aku pun akan berpikir demikian jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Tapi Jean begitu tajam membaca isi kepalaku, dan dia pun melanjutkan, “Pahamilah, Minke. Memang semuanya tampak bersih. Tapi, yang harus kau ketahui adalah buku si mayat yang dipergunakan untuk menerjemahkan buku Il Nome Della Rosa tidak ditemukan.

“Lalu?”

“Malam sebelum dia terbunuh, aku bersama rekanku, termasuk dia, sedang berada di tempat yang sama. Kami membantunya untuk membenarkan terjemahannya. Keesokan harinya, ketika kami mendengar dia terbunuh, langsung kami berangkat ke tempat dimana mayatnya ditemukan. Segera kami tanyakan apakah diantara mereka ada yang menemukan bukunya, dan tidak ada yang tahu. Sontak kami memahami, sebenarnya dia dibunuh oleh negara. Setelahnya, putus hubunganku dengan mereka yang tersisa.”

“Jean, maafkan. Pertama aku ucapkan berduka cita atas temanmu.” Dan kami pun menundukkan kepala. “Tapi apa kaitannya antara Il Nome Della Rosa, kawan-kawanmu termasuk sang jenazah, dan pembunuhan oleh negara.”

“Begini, Minke. Sekali lagi, maafkanlah. Tapi izinkan aku berbicara panjang lebar dan menjelaskan keadaannya secara jelas.” Mataku begitu menyala, sehingga aku mengangguk penuh semangat bagai anjing patuh pada tuannya.

“Aku adalah seorang kulit putih, ketika pendudukan Hindia Belanda orang tuaku datang dari negeri Belanda untuk bermukim disini. Sedang semua rekanku, kakek buyutnya berasal dari Tionghoa dan mereka sudah datang ke negerimu lebih dari 300 tahun lalu. Tapi, kamu harus pahami bahwa orang tuaku dan orang tua mereka, juga aku dan kawan-kawanku, betul-betul mencintai dan menganggap kita semua adalah orang Indonesia. Tak ada orang tuaku merasa berbeda dengan orang Indonesia, juga tak pernah orangtua temanku merasa berbeda dengan orang Indonesia. Mereka semua berjuang dalam memerdekakan bangsa. Dan, yang paling kau harus pahami betul adalah mereka semua turut dalam mewarnai kebudayaan Indonesia, lewat kesusasteraan, film, musik, dan apapun itu. Tetapi, hancur hati mereka ketika bangsanya mencapai kemenangan.

“Saat itu, layaknya seluruh negeri bekas jajahan yang baru merdeka, semua orang mencoba menentukan ulang identitas ‘menjadi Indonesia’. Situasinya begitu tak terduga. Orang-orang yang tadinya berasal dari banyak etnis serta kebudayaan bersatu demi tujuan sesaat, langsung tercerai berai ketika mereka berhasil mengusir musuh bersama. Semua sibuk memikirkan ‘menjadi Indonesia’. Tapi apa daya, setelah melalui proses rumit, sedikit demi sedikit mereka yang dianggap bukan ‘asli Indonesia’ dipaksakan terhapus dalam sejarah perjuangan maupun kebudayaan.

“Rencana kami saat itu adalah menjadikan Il Nome Della Rosa sebagai pijakan untuk melawan pemerintahan yang selama ini terlampau esensialis. Tentu kau ingat betul cerita tersebut menggambarkan bagaimana otoritas keagamaan yang memaksakan makna penafsiran tunggal terhadap kitab suci. Melalui cara yang sama namun tujuannya berbeda, pemerintah Indonesia memaksakan makna ‘menjadi Indonesia’ yang sempitnya mengalahkan lubang semut. Teramat halus pemerintah menjalankan misinya sehingga banyak orang yang tertipu oleh ini ‘lokal, ini ‘pribumi’, ini ‘asli’. Semangat Il Della Rosa lah yang ingin kita gunakan ketika itu, Minke. Namun apa daya, semuanya terendus, si penerjemah mati, hak cipta segera diputus oleh negara, dan harapan membuka pikiran orang Indonesia kian pupus.”

Aku berusaha memahami makna esensialis tapi tak juga terilhami. Jean lagi-lagi berbaik hati menaburkan mutiaranya, meski dengan tambahan ejekan.

“Tak apa, pelan-pelan saja, Minke. Tentu muka bingungmu adalah akibat dari kerangkeng pembelajaran kebudayaan Indonesia di segala tingkat sekolah. Itu adalah semacam paham yang menganggap adanya suatu entitas murni. Akibatnya tak main-main, mereka menganggap teman-teman yang bukan lokal ataupun asli tak bisa sepenuhnya menjadi sebangsanya. Lebih lagi, orang-orang yang dianggap bukan Indonesia selalu dinilai sebagai musuh bersama dan perusak kebudayaan. Dan tolonglah kau renungkan, etnis-etnis yang dianggap Tionghoa ataupun Belanda, secinta apapun mereka terhadap bangsa, dan ribuan karyanya yang mewarnai Indonesia, dan jiwanya yang tak mau disebut Belanda ataupun Tionghoa, hanya ingin dipanggil Indonesia, tak pernah diakui oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai pribumi, berkebudayaan lokal, murni, asli, dan apapun semua omong kosong itu.”

Selalu aku menilai aku adalah nasionalisme itu sendiri, yang begitu fasih ketika berbicara sejarah dan budaya bangsa. Namun, tak mungkin aku berdusta, tatkala aku mendengarkan pemaparan Jean, begitu keras aku terguncang, serasa palu godam menghancurkan berhala yang bersemayam dalam pikiranku. Namun, tetap hatiku menyanggah bahwa budaya yang dibawa oleh orang yang mempunyai sedikit darah Belanda maupun Tionghoa bukanlah budaya Indonesia sebab mereka bukanlah pribumi, dan kusampaikan hal tersebut kepada Jean.

“Baik, terserah kau, Minke. Tapi cobalah, definisikan apa itu darah murni atau kurang murni pribumi, darah sedikit Belanda dan Belanda penuh, serta katakan mana yang budaya ‘asli Indonesia’ ataupun lokal?”

Lidahku kelu serasa dibelenggu. Baru sekali ada orang yang bertanya menelanjangi pikiranku. Tapi rasa tak ingin malu memaksaku membuka mulut, “Jean, Bahasa Indonesia…”

“Maafkan, Minke. Nampaknya berhala nasionalismemu akan roboh. Bahasa Indonesia adalah manifestasi dari Bahasa Melayu, dan selanjutya Bahasa Melayu pun adalah manifestasi dari yang lain. Begitupun semua kebudayaan di dunia ini, tak pernah ada konsep asli, semuanya merupakan hasil asimilasi. Ketahuilah, cara berpikir menyekatkan berbagai etnis dan kebudayaan adalah warisan kolonial. Sayangnya, bangsa Indonesia terus menerus mempertahankannya. Padahal, jauh sebelum kita merdeka, kolonial gagal total menerapkan hukum yang membatasi perbauran antar etnis dan kebudayaan.”

Selanjutnya, Jean tak banyak bertutur lagi dan langsung pulang. Pulang tanpa bertanggung jawab, meninggalkanku dalam sunyi. Namun keyakinan kebudayaanku mulai pecah berkeping-keping.

Satu minggu kemudian, di suatu pagi buta, Jean tiba-tiba mengajakku terbang ke Jakarta. Tatkala kutanya untuk apa terbang kesana, ia mengatakan akan menjalani “misi sejarah dan kebudayaan”. Dan selanjutnya Jean hanya ingin memberi tahu lebih jauh maksud rencananya jika aku mengiyakan ajakannya. Maka aku katakan ya. Siangnya, aku pun ber-koresponden dengan ayahku, mengatakan bahwa kami akan datang. Syukurlah, ayah hanya menyatakan senang atas kedatangan kami dan tak menanyakan apa maksud tujuan kami, sebab aku pun akan bingung harus menjawab bagaimana.

Apa itu nasionalisme? Dia bukanlah warisan agung dari hantu-hantu nenek moyang mengenai konsep “menjadi Indonesia”. Mengapa demikian? Cukuplah tinta Diponegoro yang dibubuhkan dalam memoarnya menjadi saksi. Tak pernah ia menulis ingin menyatukan Indonesia, adalah yang benar ia ingin menaklukkan Jawa. Juga nasionalisme bukanlah pusaka yang disakralkan dan wajib diberi sesembahan. Apalagi yang mengalir dalam darah dan daging semenjak masih di buaian ibu.

Dua abad berlalu sudah, ketika Amerika di tahun 1776 menggaungkan kata nasionalisme di Philadelphia dalam rangka memproklamasikan kemerdekaan, yang seratus tahun kemudian diartikulasikan kembali oleh Soekarno-Hatta. Mereka-mereka yang diludahkan, menangis dalam kesepian dan hanya disahuti oleh lolongan anjing, menelan ludah menyaksikan keluarganya tak akan perna kembali, mulai bersatu, apapun etnis dan budayanya, untuk meraba-raba di tengah kegelapan mencari arti dari surga.

Itulah nasionalisme. Mereka disatukan oleh rasa sakit dan penderitaan, tak peduli latar belakangnya, untuk membangun surga masa kini dan masa depan yang dihalangi oleh neraka kolonialisme. Pada akhirnya, Mereka yang berjuang berhasil mencapai kemerdekaan. Juga, mereka yang berjuang tak pernah menikmati madu kemerdekaan. Yang dianggap Belanda darahnya mengalir secara cuma-cuma di selokan saat masa bersiap, dan yang dianggap Cina mati sia-sia di hutan setelah meledaknya peristiwa kematian tujuh jenderal, dan apapun yang dianggap asing mati dengan caranya sendiri-sendiri.

Itulah gambaran besar buku karangan Abbe Frischboten yang berjudul “Amnesia Sejarah dan Polemik Kebudayaan” yang diceritakan di atas udara oleh Jean, yang isinya menggugat kesadaran negaranya. Tapi apa kata akal, ia mati sebelum menuntut, meninggalkan kita dalam kebutaan. Bukunya hanya tersisa satu dan tersimpan di suatu perpustakaan di Jakarta.

Setelah menyaksikan remeh-remeh fondasi bebatuan keimanan keagamaanku segera terkubur oleh reruntuhan berhala keimanan nasionalismeku, dan hatiku berkeping-berkeping meratapi mereka yang dihapuskan, api semangat berkobar merambati jiwaku, tak sabar menuntut kesadaran bangsaku.

Kami pun akhirnya menapaki Jakarta. Sebuah kota yang menjadi saksi sejarah atas kekosmopolitannya Indonesia. Udara panasnya menghembus tanpa ampun, tapi itu bukanlah menjadi alasan untuk mempreteli semangat juang. Tak terpikirkan lagi untuk datang menjenguk keluarga, meski sudah tak berjumpa tujuh tahun lamanya.

Dua hari kemudian, tanpa membuang waktu lagi kami pun berangkat ke perpustakaan. Tak perlulah diceritakan apa saja yang kami lihat jalan. Cukuplah dua kata ini menjadi gambaran: Peradaban dan kegilaan. Hanya yang berkesan, adalah percakapan singkat antara Jean dan aku.

“Jean, mengapa buku Abbe Frischboten tidak sekalian dimusnahkan saja oleh kaum hiper-nasionalis agar tak ada yang pernah membacanya?”

“Sebentar lagi kau akan tahu sendiri jawabannya, Minke.”

Kami pun sampai. Di depan kami, terhampar sebuah gedung perpustakaan yang disoroti oleh cahaya matahari. Badanku tiba-tiba bergetar, bukan karena udara yang dingin sebab di Jakarta begitu tandus.

Tapi Jean tak memedulikan ku, dan malah berkata, “Kau mau mundur, Minke? Silahkan.”

Tak mungkinlah aku mundur, meski hati ku kacau. Perlahan kami melangkah menyeberangi jalan untuk menuju ke perpustakaan. Akankah berjalan dengan baik? Suatu pertanyaan yang berceracau terus dalam pikiranku setiap kali melangkah. Rasanya tak ingin cepat sampai, walau kenyataannya tidak. Segera kami memasuki perpustakaan yang begitu lembab, dingin, dan gelap bagai peradaban suatu negara yang tak mengenal buku.

“Dimana kami bisa dapatkan buku dengan judul ‘Amnesia Sejarah dan Polemik Kebudayaan?’”

“Silahkan, tuan. Ikuti saya.” Dan kami pun dibawa suatu ruangan khusus. Apakah mereka bersandiwara? Sejauh yang kupahami, peminjaman buku-buku langka di perpustakaan tersebut haruslah disertai surat-surut khusus.

“Memanglah sudah waktunya kalian menang dalam pertarungan ini. Silahkan, bacalah dulu, jangan terburu-buru untuk pulang.” Dengan begitu tenang ia mengucapkan, sedang aku masih terjebak di tengah panggung sandiwara mereka.

Bukunya terasa begitu tua. Kertasnya begitu melekat sehingga sulit untuk dibuka, menjadi sebuah pertanda bahwa tak pernah dijamah oleh siapapun. Juga, tampak buku tersebut kian digerogoti oleh jamur, petanda bahwa tak pernah dirawat dengan baik. Perlahan namun pasti, ku melihat mata Jean terus berkilauan tiap kali membolak-balikkan halaman, sedangkan sang pustakawan terus menerus diserang oleh rasa cemas. Begitu tajam dan begitu nyata kusaksikan, tatkala Jean memasuki tujuh halaman terakhir dari suatu bab, perlahan matanya berlinang dan tubuhnya mulai bercucuran keringat.

“Tuan butuh istirahat, sekiranya?” tanya pustakawan dengan begitu khawatir.

“Minta ampun, tuan. Tapi itu tidak perlu. Setelah halaman lima puluh tujuh, akan kupinjam buku ini untuk penelitian, dan karenanya akan langsung kubawa ke hotel.”

Tepat ketika memasuki halaman lima puluh tujuh, Jean terjatuh dari kursinya, muntah berbusa, dan langsung tak sadarkan diri. Aku pun langsung memahami, di tujuh halaman tersebut, sudah ditaruh racun diujung kertasnya yang begitu melekat satu sama lain, sehingga siapapun yang ingin membolak-balikkan halamannya, ia harus menjilat jari telunjuknya, dan celakanya itu dilakukan oleh Jean. Juga aku menyadari, dalang dari kekejaman tersebut adalah ayahku sendiri, sang pustakawan. Beberapa detik kemudian setelahnya kulihat Jean telah tiada, mati diracun dengan cara yang sama persis seperti yang terjadi dalam Il Nome Della Rosa.

Aku pun langsung mengejar ayahku, ayahku yang sedari kecil begitu mencintai semua bukunya. Dalam pengejaran tersebut, aku pun teringat bahwa sifatnya yang sangat hyper-nasionalisme, yang selalu dibenamkan dalam kepalaku sedari kecil. Sebagaimana Burgos dalam Il Nome Della Rosa yang tak mau menghancurkan suatu buku yang begitu dibencinya hanya karena begitu sayang terhadap buku apapun, begitu pula ayahku. Ia hidup membela keyakinan nasionalismenya, tapi tak pernah berani untuk menghancurkan buku, meski buku tersebut selalu menyakiti hatinya.

Setelah berkejaran selama lima menit, akupun berhasil menemuinya dalam satu ruangan. Tapi apa kata akal, buku tersebut, ayahku, dan seisi ruangan telah terbalut bahan bakar. Segera, tentu karena ketidakrelaannya untuk melihat buku terbakar yang pastinya akan menghantuinya sepanjang hayat, ia pun serta-merta membakar dirinya. Tak butuh waktu lama, api terus menjalar ke semua area perpustakaan, dan aku pun bergegas berlari keluar. Pada akhirnya, langit Jakarta pun berkobar dalam api, api yang mengubur ayahku, Jean, dan semua kegilaan ini. Dan aku pun tersadar, harapan untuk mencerahkan Indonesia kian berada di ujung tanduk.

(Visited 55 times, 1 visits today)
*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?