Durasi: 1 Jam 24 Menit
Distributor: Max Pictures
Tanggal rilis: 28 Juni 2023
Sutradara: Herwin Novianto
Pemeran: Adipati Dolken, Jefri Nichol, Onadio Leonardo, TJ Ruth
Beda Perlakuan, Sama Ide Cerita
“Why Do You Love Me” adalah sebuah film drama komedi jalan Indonesia yang dirilis pada tahun 2023, dengan disutradarai oleh Herwin Novianto. Film ini merupakan adaptasi dari film Belgia berjudul “Hasta La Vista” yang dirilis pada tahun 2011 dan disutradarai oleh Geoffrey Enthoven. Film ini menampilkan Adipati Dolken, Jefri Nichol, dan Onadio Leonardo sebagai pemeran utama. “Why Do You Love Me” ditayangkan perdana pada tanggal 28 Juni 2023. Mengisahkan tentang petualangan yang penuh dengan komedi dan drama yang terjadi saat tiga sahabat melakukan perjalanan bersama.
Cerita dimulai ketika Adi (diperankan oleh Adipati Dolken), Doy (diperankan oleh Jefri Nichol), dan Bima (diperankan oleh Onadio Leonardo) menemukan bahwa mereka memiliki penyakit yang membatasi kebebasan mereka. Adi mengalami gangguan penglihatan yang menjadikannya tunanetra, Doy mengalami penyakit otot yang mengganggu gerakan tubuhnya, dan Bima adalah seorang pria dengan kebutuhan khusus. Mereka bertiga memutuskan untuk melakukan petualangan bersama dengan semangat dan tekad yang kuat untuk menikmati hidup meskipun memiliki keterbatasan fisik.
Mereka berangkat dari Jakarta dan pergi ke Surabaya, tepatnya ke gang Dolly yang terkenal akan hiburan dewasanya. Di sepanjang perjalanan, persahabatan mereka diuji dengan kesulitan dan kesulitan. Namun, mereka juga menemukan saat-saat yang lucu dan mengharukan saat mereka saling mendukung dan belajar untuk menerima apa adanya diri mereka.
Mata Lelaki dan Perempuan sebagai Pemuasnya
Film ini menggambarkan perjalanan mereka sebagai metafora kehidupan; selama perjalanan yang mereka lakukan, tiga sahabat itu belajar untuk menerima kekurangan mereka dan melihat keindahan dalam hal yang sederhana, serta menemukan arti sebenarnya dari cinta dan persahabatan. Atau setidaknya itu yang saya pikirkan sebelum akhirnya tersadar. Film ini secara terbuka mempertontonkan diskriminasi perempuan melalui media budaya populer di masyarakat.
Perlu diketahui dalam film ini, baik dari segi cerita maupun elemen sinematik, keduanya secara lantang menyuarakan hal yang sama, yakni perempuan sebagai objek pemuas karakter pria. Pemilihan kata ‘pemuas’ pada kalimat sebelumnya dirasa tidak berlebihan karena pada premis utamanya saja sudah mengisyaratkan bahwa karakter laki-laki akan menempuh misi untuk dapat menikmati karakter perempuan. Dengan keinginan mereka untuk dapat menghibur diri melalui hubungan badan dengan perempuan, ditambah cara karakter laki-laki memperlakukan perawat mereka Endang (diperankan oleh TJ Ruth) semakin memperjelas bahwa film ini menempatkan perempuan dalam kasta yang lebih rendah daripada laki-laki.
Hal ini pernah dibahas oleh Laura Mulvey melalui teori pandangan pria (Male Gaze Theory) yang saat itu mengkritisi industri film Hollywood klasik yang juga menempatkan perempuan ke dalam peran ‘terpinggirkan’ baik dalam proses produksi juga hasil produksi itu sendiri. Teori ini beranggapan bahwa perempuan yang direpresentasikan melalui budaya populer film ini hanya memiliki dua tujuan. Kalau tidak sebagai pemuas karakter laki-laki, perempuan akan ditempatkan sebagai sosok tidak penting yang kehadirannya bahkan tidak berpengaruh pada cerita.
Hal ini nampak selaras dengan realita pada film garapan Herwin Novianto ini. Pertama, Endang ditempatkan sebagai pesuruh mereka yang secara sukarela dan dengan bodohnya selalu menuruti permintaan karakter laki-laki. Kedua, perempuan digunakan sebagai tujuan esek esek karakter laki-laki.
Teori pandangan pria ini tak hanya memiliki porsi pada penulisan cerita, namun juga penyampaiannya. Seperti yang kita ketahui bahwa melalui film, penonton akan dibawa oleh para pembuat film untuk merasakan apa yang karakter sedang rasakan. Mulai dari merasakan suara, kemudian pandangan, dan lain sebagainya. Artinya, kamera dan penonton di sini merupakan sudut pandang yang dilibatkan dalam penyampaian cerita dari para pembuat film, baik sudut pandang orang ketiga, hingga sudut pandang salah satu karakter. Menariknya, melalui pemilihan dan penataan elemen sinematik dalam layar, pembuat film juga dapat menyalurkan ide patriarki struktural mereka dengan sedemikian rupa.
Terlihat pada film ini, pengambilan gambar lekuk lekuk tubuh perempuan mempertegas peran mereka sebagai objek pemuas karakter laki-laki maupun penonton. Karena pada posisi ini, kamera telah beralih fungsi menjadi perpanjangan mata karakter laki-laki, juga perpanjangan mata penonton laki-laki. Terlebih lagi penggunaan gambar bersyarat phallus (kelamin pria) ketika sedang bercinta terasa menjijikkan dan tidak lebih baik dari adegan bercinta itu sendiri.
Banyak sekali penyebab terjadinya fenomena ini dalam industri film, namun salah satu yang terbesar ialah disebabkan oleh bertahannya patriarki strukturalis para filmmaker maupun masyarakat. Para filmmaker yang memegang teguh ajaran ini akan dengan senang hati memelihara dan melestarikan pola pikir mereka kepada masyarakat luas, salah satunya melalui budaya populer film. Selain film, masih banyak lagi media seperti video musik yang juga mengandung Male Gaze yang tujuannya memikat para pria di luar sana.
Hingga dapat dikatakan, secara keseluruhan para pembuat film ini kurang bijak mengeksekusi ide liar mereka. Sedih rasanya melihat candaan dalam film ini hanya berkutat pada kekurangan mereka yang kesannya memaksakan. Terlebih lagi dengan merendahkan salah satu kaum demi kesenangan kaumnya sendiri bukanlah cara yang bijak untuk membungkus premis mereka untuk saling menerima apapun keadaannya. Saya rasa, film seperti ini cukup menjadi pembelajaran serta penelitian dalam bidang media dan representasinya mengenai gender, terutama dalam budaya populer.