Malang, PERSPEKTIF – Greenpeace Indonesia mengadakan acara bertema “Litigasi Iklim dan Evaluasi Perizinan, Dua Ikhtiar Demi Hutan Adat Papua” pada Kamis (11/5). Ditayangkan secara langsung melalui saluran Youtube resmi Greenpeace Indonesia, acara ini berangkat dari perjuangan Suku Awyu, Papua dalam mempertahankan hutan dan tanahnya dari eksploitasi perusahaan sawit yaitu PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Suku Awyu, Hendrikus Woro, Sandra Moniaga, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Andrianus Eryan, Kepala Kampanye Hutan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), serta Sekar Banjaran Aji sebagai kuasa hukum dan juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Hendrikus Woro menjelaskan jika perjuangan Suku Awyu sudah dimulai sejak tahun 2016 dengan mengirimkan surat penolakan ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kementerian LHK. Namun, masyarakat Suku Awyu tidak pernah mendapatkan kejelasan dari dua instansi tersebut. Sikap ini menurut Hendrikus Woro adalah bentuk kesewenang-wenangan dan tidak transparannya pemerintah karena menerbitkan izin penggunaan hutan secara sepihak.
“Mengapa kami menolak (izin penggunaan hutan, red), karena kami hidup berketergantungan pada alam. Kami bukan anti, tapi karena ini dilakukan dengan cara-cara paksa dan tidak manusiawi. Perusahaan muncul di berbagai tempat dan memberikan janji palsu, maka kami tidak suka dan kecewa,” ujar Hendrikus Woro.
Kini, izin konsesi kawasan hutan bagi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama telah dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Namun, kedua perusahaan ini melakukan gugatan hukum sehingga kemungkinan eksploitasi hutan Suku Awyu tetap bisa berlanjut. Apalagi setelah adanya pembentukan provinsi baru.
Sandra Moniaga menyatakan, hak memiliki batas wilayah dan hak melestarikan budaya masyarakat Papua tidak akan lepas dari lingkungan. Ia berpendapat, jika ingin ada perlindungan yang operasional terhadap hak-hak tersebut, maka harus berbentuk perundang-undangan.
“Persyaratan administratif menjadi kendala utama dalam urusan pemenuhan hak dasar atau hak asasi. Terlambatnya pemenuhan hak tersebut oleh negara karena tidak ada aturan di pemerintah daerah seperti surat keputusan gubernur. Akhirnya, hak-hak masyarakat ini tidak bisa dipenuhi,” ujarnya.
Adrianus Eryan berpendapat, polemik ini adalah dampak ketika pemerintah menerbitkan izin tidak sesuai dengan prosedurnya karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta di lapangan. Keputusan pencabutan izin, menurut Adrianus merupakan hal yang baik, sayangnya belum selesai sepenuhnya karena perusahaan menggugat ke pengadilan.
“Ketika sudah masuk ke pengadilan tentunya diperlukan bukti, sehingga ketika teman-teman adat datang dengan gugatan. Namun nantinya ada ketimpangan karena perusahaan mungkin punya sumber daya yang lebih banyak, sedangkan masyarakat belum tentu mereka tahu bagaimana harus berbicara di pengadilan,” tutur Adrianus.
Sekar Banjaran kemudian memaparkan mengenai kelanjutan proses advokasi hutan Suku Awyu setelah ikut intervensi sebagai tergugat di pengadilan dan melakukan kunjungan ke Komnas HAM. “Sudah ada pemetaan dan simulator mengenai wilayah-wilayah dan tanah serta sungai di Kampung Margomoro. Beberapa perusahaan ternyata telah menempati wilayah tersebut,” ungkapnya. (sdf/js/gra)