Durasi: 1 jam 45 menit
Distributor: 20th Century Studio
Tanggal rilis: 29 Des 2017
Sutradara: Michael Gracey
Pemeran: Hugh Jackman, Zac Efron, Michelle Williams, Rebecca Ferguson, dan Zenday
Siapa yang belum pernah mendengar film ini? Film yang pada masanya sangat ngetren dibahas dimana-mana, bukan hanya karena para pemainnya, tetapi juga alur dan aspek lainnya yang sangat menenangkan. Penulis lebih memilih kata menenangkan karena meskipun film ini bertemakan fantasi, namun ia merasa siapapun bisa mendapati kedekatan dengan alur cerita yang disampaikan film ini.
Film yang berlatarkan pertengahan abad 19-an ini dibawakan dengan sangat apik, dikemas dengan banyak alunan lagu yang memainkan emosi penontonnya. Dari awal hingga akhir film, penonton dimanjakan dengan musik yang kemudian kita dengar dimana-mana. Lagu-lagu yang kemudian sama terkenalnya dengan filmnya.
Dengan genre drama musikal, film ini dimulai dengan perjalanan hidup Barnum kecil (Hugh Jackman) dengan keadaannya yang pra-sejahtera. Lahir dari keluarga tukang jahit, Barnum kecil harus menguatkan hati dan punggungnya setelah ditinggal selamanya oleh ayahnya. Pria mungil yang menjatuhkan hati pada anak majikannya, harus memilih untuk pergi ke daratan nun jauh disana untuk mencari kesejahteraan dalam hidupnya. Film dengan gaya penceritaan autobiografi ini membawa penonton masuk ke perjalanan hidup Barnum dengan dinamikanya.
Melalui film ini, penonton diajak untuk menyelami banyak sisi manusia. Di satu sisi, manusia hanya ingin dilihat sebagai yang paling superior, mereka dengan sosok yang paling sempurna. Namun di sisi lain, manusia juga hanya ingin diterima. Film ini mampu menggambarkan karakter berbagai tokohnya dengan proporsi yang sangat sesuai. Bahkan, pemeran figurannya pun memberikan sentuhan yang melengkapi dinamika ceritanya.
Barnum, si Kancil versi Manusia
Salah satu bagian yang menarik perhatian dari film ini adalah bagaimana Barnum mampu untuk membuka bisnisnya sendiri setelah membohongi Bank untuk meminjam modal. Barnum yang sebelumnya kehilangan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, menjanjikan jaminan harta yang tidak pernah dimilikinya kepada bank. Berbekal berkas lama dari kantor sebelumnya, Barnum berhasil meyakinkan bank untuk membuka bisnis museum miliknya. Bak Kancil dalam wujud manusia, entahlah cerdik atau menipu, Barnum memanfaatkan sumber daya yang ia miliki untuk membangun bisnis dan mencari keuntungan.
Memang hal ini sangat tidak pantas untuk dicontoh, namun dari kisah Barnum, setidaknya ada satu hal yang bisa diambil. Bahwa, akan selalu ada jalan selama kamu mengusahakannya. Hanya saja, kembali lagi, jangan mencontoh yang Barnum lakukan!
Tentang Mimpi dan Penerimaan
Seperti judulnya, film ini mengisahkan Barnum yang bermimpi untuk menjadi ‘orang besar’. Barnum yang pada akhirnya gagal menjalankan bisnis museumnya, kemudian berangan-angan untuk membuka bisnis pertunjukkan paling besar dan fenomenal. Melalui sirkus, film ini menyatukan Barnum dan mimpi besarnya dengan orang-orang ‘aneh’, mereka yang tidak mendapatkan penerimaan di lingkungannya. Di mata Barnum, mereka bukan orang yang memalukan, namun penuh dengan ‘keistimewaan’.
Mungkin dalam pandangan lain, Barnum hanya melihat mereka sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan semata. Meski begitu, film ini memberikan point of view lain dalam melihat dan menilai seseorang. Ada begitu banyak sisi kemanusiaan yang diangkat dalam film ini. Seperti Barnum yang berpegang pada mimpinya, ia kemudian mampu memberikan penerimaan kepada orang-orang dengan keunikannya. Film ini mengajarkan penerimaan dan mencintai diri sendiri. Tak berhenti disana, film dengan banyak tokoh ini menyajikan perkembangan karakter-karakternya untuk mampu melewati masa insecurity dalam hidupnya.
Tentang Ambisi dan Memaafkan
Hal lain yang perlu disoroti penulis adalah bagaimana ambisi Barnum untuk sukseslah yang kemudian menjatuhkannya. Film ini benar-benar memberikan gambaran bahwa tidak pernah ada hal mudah untuk mencapai puncak. Terkadang, bukan orang lain lah yang menjatuhkanmu, namun keserakahan yang ada dalam dirimu, kira-kira seperti itulah sosok Barnum di pertengahan hingga menjelang akhir film ini.
Ambisi Barnum untuk menjadi yang terhebat pun membutakan matanya. Barnum perlahan meninggalkan keluarganya, bahkan bisnis sirkus yang membesarkan namanya. Ketika sadar bahwa ambisi telah menelan dirinya, hal-hal yang dimilikinya pun terkubur satu per satu. Istri dan anaknya meninggalkannya karena skandal perselingkuhan Barnum. Pun, bisnis pertunjukannya telah habis terbakar menjadi abu karena perkelahian dengan orang-orang yang menentang bisnisnya.
Meski begitu, film ini menunjukkan titik balik ketika Barnum kembali mendapatkan dukungan dari orang-orang pertunjukannya dan kembali menemui keluarganya. Barnum yang mendapatkan pemaafan dari sekelilingnya, kembali memiliki semangat untuk memperjuangkan lagi mimpinya . Ini menjadi klimaks yang dirangkai sangat ciamik dalam film ini.
Penggambaran sosok Barnum dan tokoh lainnya dalam film drama musikal ini memberikan impresi pendalam bagi penonton. Barnum dengan mimpi, ambisi, dan penyesalannya, memberikan banyak pelajaran yang menjadi kesan tersendiri dalam film. Belum lagi dengan tokoh-tokoh lain dengan perkembangan karakternya yang begitu berdinamika, mampu melengkapi makna film ini.
Penulis memang tidak memasukkan banyak unsur dalam tulisan ini dan cenderung berfokus pada tokoh Barnum sebagai pemeran utamanya. Penggambaran ini digunakan karena ada begitu banyak tokoh di dalamnya yang kemudian jika dituliskan akan sangat panjang. Selain itu, penulis berharap pembaca akan langsung menonton sendiri film ini dan melihat seberapa dekat film ini dengan realita kehidupan manusia.