Judul Film: Cowspiracy: The Sustainability Secret
Durasi: 91 Menit
Distributor: First Spark Media
Tanggal Rilis: 26 Juni 2014
Sutradara: Kip Andersen dan Keegan Kuhn
Pemeran: Kip Andersen, Howard Lyman, Richard Oppenlander, Michael Pollan, Michael Klaper
Laporan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan jika kotoran hewan ternak dapat menghasilkan gas metana sebanyak 25-100 kali lebih merusak daripada karbondioksida kendaraan bermotor. Hal tersebut membuat Kip Andersen terperangah. Segala usaha yang telah dilakukannya untuk menjaga lingkungan seperti mengurangi sampah, hemat menggunakan air, dan tidak mengendarai kendaraan bermotor nampaknya sia-sia saat peternakan merupakan penyebab besar kerusakan lingkungan. Kip lalu mulai bertanya-tanya, mengapa organisasi-organisasi lingkungan ternama di dunia bisa melewatkan fakta ini dan hanya berfokus pada aktivitas pertambangan, penggunaan gas dan minyak bumi, serta kendaraan sebagai penyebab utama krisis iklim?
Sedikit cerita di atas merupakan premis awal dari film dokumenter Cowspiracy: The Sustainability Secret karya sutradara Kip Andersen dan Keegan Kuhn. Rilis pada tahun 2014, film ini menyajikan kisah mengenai perjalanan Kip Andersen dalam mengungkap fakta tentang dampak peternakan terhadap kerusakan lingkungan dan krisis iklim serta usahanya dalam menyelidiki kebijakan organisasi-organisasi lingkungan ternama seperti Greenpeace, Sierra Club, dan Surfrider Fondation mengenai isu ini.
Penggunaan analogi dan ilustrasi statistik untuk menggambarkan bagaimana peternakan mengeksploitasi lingkungan, membuat film ini mudah untuk dicerna dan dinikmati. Seperti dalam penggunaan air, Kip dan Keegan menganalogikannya dengan hal lain seperti dalam menghasilkan satu liter susu, maka diperlukan seribu liter air. Selain itu, mereka juga membandingkan bagaimana hutan hujan seluas satu lapangan bola dibabat sepersekian detiknya untuk memasok pakan hewan ternak. Analogi-analogi ini tentunya membuat penonton bisa lebih memahami dampak dari peternakan terhadap krisis iklim global.
Kritik terhadap Antroposentrisme
Sony Keraf dalam buku Etika Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa krisis bencana lingkungan dunia tempo kini sesungguhnya disebabkan oleh kesalahan paradigma antroposentrisme. Paradigma ini menganggap jika manusia adalah pusat dari semesta, sedangkan entitas lain tak bernilai intrinsik dan hanya mengandung nilai instrumental ekonomi demi memuaskan kepentingan manusia semata.
Sony menyatakan jika hal inilah yang mendasari segala perilaku eksploitatif ala kapitalisme untuk merusak alam demi memenuhi kebutuhan ekonomi manusia. Maka dari itu, ia menghendaki terciptanya perubahan radikal dari paradigma antroposentrisme menuju biosentrisme, bahkan ekosentrisme untuk melindungi alam dan kehidupannya.
Pemaparan Sony di atas sangat nyata tergambar di film Cowspiracy: The Sustainability Secret. Industri peternakan digenjot sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan produksi ekonomi berbagai macam komoditasnya seperti daging, susu, keju, dan telur. Hal ini akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan seperti eksploitasi air, pembabatan hutan untuk lahan dan pakan peternakan, pencemaran sungai, serta perburuan terhadap hewan-hewan predator.
Film ini akhirnya menyingkap tabir kebobrokan yang timbul atas paradigma antroposentrisme. Manusia dengan angkuhnya menjadikan hewan ternak sebatas komoditas ekonomi semata tanpa memandangnya sebagai makhluk yang “hidup”, sehingga dapat dieksploitasi untuk memperoleh profit setinggi-tingginya dan menyebabkan berbagai masalah lain. Bahkan dikisahkan juga dari film ini bahwa hanya 2% dari biomassa di bumi ini yang gratis atau liar, sedangkan 98% lainnya telah menjadi properti. Maka dari itu, perlu adanya perubahan menuju paradigma ekosentrisme sehingga segala makhluk hidup tidak dieksploitasi sesuka hati oleh manusia hanya untuk memenuhi nafsu ekonominya semata.
Catatan untuk Cowspiracy
Film Cowspiracy: The Sustainability Secret telah mengangkat sebuah isu krusial yang luput diperhatikan oleh semua orang tentang kelestarian lingkungan. Film ini juga membawa kita pada refleksi terhadap posisi manusia dalam memperlakukan alam dan kehidupan di dalamnya. Kritik-kritiknya terhadap organisasi-organisasi besar dunia juga patut diacungi jempol karena berhasil melihat kekurangan dari narasi dominan yang selama ini diserukan oleh organisasi-organisasi tersebut.
Namun terlepas dari itu, ada hal yang perlu dikritisi dari film ini. Misalnya, penonjolan industri peternakan sebagai penyebab krisis iklim memunculkan bias. Hal ini dikarenakan peternakan seolah-olah dijadikan penyebab tunggal dari segala macam krisis iklim saat ini. Sedangkan bentuk-bentuk eksploitasi lain seperti pertambangan, penggunaan transportasi berbahan bakar minyak, pembabatan hutan untuk lahan sawit, dan penggunaan energi kotor lainnya dianggap seperti hal wajar dikarenakan perbandingannya tak sebesar dengan dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri peternakan.
Seharusnya, semua bentuk eksploitasi terhadap alam atas nama kepentingan tunggal manusia perlu dikritisi secara menyeluruh. Sehingga kerusakan alam dan krisis iklim dapat dilawan bersama, selaras dengan usaha untuk merubah paradigma antroposentrisme menuju biosentrisme. Akhirnya, usaha untuk menciptakan alam yang lebih baik dan lestari bukan hanya tanggung jawab manusia semata, tapi juga kerjasama antara kehidupan di dalamnya.