Malang, PERSPEKTIF – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan diskusi dengan tajuk “Launching Audit Perpu Cipta Kerja” secara virtual pada Jumat (27/1). Diskusi ini sebagai tanggapan dari keputusan Presiden Joko Widodo yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. Produk Hukum ini dianggap menjadi mesin untuk memuluskan eksploitasi oligarki terhadap ruang dan lingkungan.
Acara ini turut menghadirkan Taufiqurochim sebagai perwakilan dari LBH Surabaya Kluster Lingkungan Hidup dan Pascal David Wungkana sebagai perwakilan dari LBH Manado Kluster Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Tidak lupa juga, menghadirkan Zenzi Suhadi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai penanggap.
Taufiqurochim menyatakan ruang lingkup produk hukum ini abai terhadap perlindungan lingkungan hidup dan memperburuk krisis iklim. Menurutnya, Perpu Cipta Kerja ini menciptakan kegentingan di masyarakat menggunakan otokrasi legal yang bercorak eksploitatif karena lebih membicarakan tentang kehidupan sosial masyarakat dibanding lingkungannya sendiri. Perpu Cipta Kerja, kata Taufiqurochim, adalah akal-akalan elit oligarki untuk mengendalikan mesin ekstraktif.
“Ketidakbijakan Perpu Cipta Kerja ini sebenarnya bermazhab ramah pasar yang jangka panjang akan memicu perilaku konsumtif dan menimbulkan tingginya permintaan. Diduga secara kuat, karakteristik Perpu Cipta Kerja sebenarnya ditujukan atas permintaan pelaku pasar yakni para konglomerasi dan elit berkerah putih yang menguasai sumber daya alam,” ujarnya.
Taufiqurochim bertutur perubahan Perpu yang beririsan dengan isu lingkungan hidup menyebabkan adanya pergeseran makna rezim izin ke rezim persetujuan. Hal ini berarti hukum yang sebelumnya berperspektif larangan dan ketentuan perintah untuk pihak yang mengeksploitasi lingkungan. Malah beralih perspektif menjadi bentuk persetujuan terhadap eksploitasi alam seperti mempermudah terbitnya izin, lisensi, dan sertifikasi.
Perwakilan dari LBH Manado, Pascal David Wungkana menyampaikan beberapa poin perubahan dari Perpu Cipta kerja yang berdampak pada laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Ia menyebutkan jika dalam produk hukum ini terdapat 33 poin perubahan dan 8 pasal yang dihapus. Menurutnya, perubahan tersebut sebagai penyederhanaan dasar perizinan berusaha serta untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
“Ketentuan ini berbeda dengan Undang-Undang (UU) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) terkait pengelolaan yang terdiri dari Rencana Strategis, Rencana Zonasi, sampai Rencana Pengelolaan,” kata David.
David memaparkan, dari Perpu ini pemerintah berupaya mengintegrasikan kebijakan pengelolaan pesisir dengan tata ruang, sehingga pemerintah pusat mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan pemanfaatan ruang pesisir. Namun di sisi lain, David berpendapat kebijakan tersebut akan menghalangi akses masyarakat dalam menentukan kebijakan pesisir. Akibatnya, tercipta privatisasi wilayah pesisir yang memperparah perampasan ruang hidup.
Terkait perizinan pemanfaatan laut kepada masyarakat lokal dalam Pasal 20 dan Pasal 22 Perpu Cipta Kerja, David berpendapat bahwa masyarakat adat tidak perlu mendapatkan izin pemerintah terkait pemanfaatan laut untuk kegiatan sehari-hari, apalagi dari pemerintah pusat.
Zenzi Suhadi, sebagai penanggap menyatakan Perpu Cipta Kerja ini adalah pemerintahan menggunakan kekuasaannya untuk memudahkan akses para pengusaha terhadap pengelolaan ruang. Hal tersebut menurutnya disebabkan oleh maldemokrasi.
“Perpu Cipta Kerja mendorong pergeseran dari kewenangan negara menjadi kewenangan korporasi,” kata Zenzi menutup sesi diskusi. (dm/zni/gra)