Judul: Enola Holmes 2
Durasi: 2 Jam 9 Menit
Distributor: Netflix
Tahun Rilis: 2022
Rumah Produksi: Legendary Pictures, PCMA Productions
Sutradara: Harry Bradbeer
Penulis Skenario: Jack Thorne
Pemeran: Millie Bobby Brown, Henry Cavill, Helena Bonham Carter, David Thewlis, Louis Partridge, Susie Wokoma, Adeel Akhtar, Hannah Dood
“Aku seorang wanita. Aku tak bisa bergabung dengan klub, tak bisa memiliki saham, tak bisa berkarier maju seperti mereka. Jadi, kutemukan caraku sendiri” – Mira Troy.
Setelah bercerita tentang Enola Holmes yang berhasil memecahkan misteri Tewkesbury di film pertamanya, Herry Bradbeer lalu melanjutkan kisah tentang adik perempuan dari tokoh detektif terkenal, Sherlock Holmes. Pada sekuel ini, Enola Holmes dikisahkan membuka kantor detektifnya sendiri di Kota London, Inggris. Namun, usaha ini tidak semudah yang dipikirkannya. Kepopuleran sang kakak, Sherlock Holmes, masih membayang-bayangi sosok Enola sehingga ia tak pernah mendapatkan satu kasus pun. Begitu juga dengan masyarakat yang masih meremehkan Enola dengan dalih dia masih muda dan perempuan sehingga lebih cocok menjadi sekretaris daripada detektif.
Suatu hari ketika Enola memutuskan untuk menutup kantornya, tiba-tiba saja ia kedatangan seorang gadis kecil bernama Bessie. Gadis tersebut meminta Enola untuk menemukan kakak perempuannya, Sarah Chapman yang hilang selepas bekerja di sebuah pabrik korek api terkenal di Kota London. Enola kemudian menyambut kasus pertamanya dengan antusias.
Kasus hilangnya Sarah Chapman ternyata tak sesederhana itu. Satu per satu teka-teki besar nan rumit harus dihadapi Enola. Mulai dari hubungan gelap elit-elit Inggris pada waktu itu, praktik perbudakan modern, hingga fenomena pungutan liar dan korupsi. Film ini semakin menarik kala kasus pertama Enola, rupanya berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani Sherlock Holmes. Tak hanya itu, kelanjutan kisah asmara Enola dengan bangsawan muda Inggris, Tewkesbury yang diselamatkannya pada film pertama juga menambah daya tarik Enola Holmes 2.
Feminisme dalam Cerita Enola Holmes
Cerita tentang Enola Holmes yang berangkat dari novel karya Nancy Springer berjudul The Case of the Missing Marquess: An Enola Holmes Mystery sebenarnya telah menunjukan pesan feminisme yang kuat. Usaha Nancy, yang kemudian dilanjutkan oleh Harry lewat adaptasi filmnya, berani untuk menawarkan narasi alternatif di tengah kedigdayaan tokoh Sherlock Holmes ciptaan Arthur Conan Doyle yang lebih dahulu memasang patok sosok detektif ideal pada karya fiksi harus menyerupai Sherlock yang tentunya sarat akan nilai-nilai maskulinitas. Hal ini akhirnya membuat kita jarang menemukan tokoh-tokoh detektif wanita dalam jagat genre misteri di karya-karya fiksi populer.
Tokoh Enola Holmes yang dituturkan Nancy akhirnya mampu untuk mematahkan hal tersebut. Ia berhasil menunjukan bahwa tak hanya pria seperti Sherlock yang memiliki nalar berpikir brilian sehingga dapat memecahkan kasus-kasus rumit, tetapi sosok wanita seperti Enola juga mampu untuk melakukan hal yang sama. Kesetaraan gender antara pria dan wanita yang muncul dalam kisah Enola Holmes akhirnya mampu memanifestasikan pemikiran feminisme dalam ranah literatur fiksi modern.
Berbicara tentang adaptasi filmnya, kita akan menemukan beberapa hal yang berbeda dalam dua sekuel Enola Holmes. Jika pada film pertama, kritik yang disampaikan lebih mengarah pada kultur masyarakat Inggris di era Victoria yang beranggapan bahwa perempuan harus selalu berperilaku anggun laksana lukisan yang hanya dipajang untuk dinikmati keindahannya, pada sekuel kedua ini kritik yang disampaikan lebih lugas dan berani lagi. Harry, sang sutradara mengangkat isu tentang perbudakan modern di Inggris pada tempo revolusi industri di abad ke-19.
Harry bersama Jack Throne, sang penulis naskah, mengawali kritik ini dengan menggambarkan kemunculan kelas sosial baru – di luar kaum bangsawan – yang memiliki kepemilikan terhadap alat-alat produksi sehingga dapat mempekerjakan banyak buruh entah itu laki-laki atau perempuan. Hal tersebut ditunjukan lewat latar pabrik korek api yang menjadi titik awal Enola memecahkan kasus hilangnya Sarah Chapman. Buruh-buruh perempuan yang ditemui oleh Enola di pabrik rokok tersebut diperlakukan dengan tidak manusiawi seperti jam kerja yang lama, upah yang tidak layak, hingga hukuman penurunan penghasilan jika berbuat hal sepele seperti menjatuhkan korek api, berbicara, dan memiliki kaki yang kotor. Begitu juga dengan ancaman penyakit tifus yang sering menjangkit para buruh perempuan di sana.
Tak hanya itu, buruh-buruh perempuan di pabrik korek api juga selalu dikontrol oleh seorang pengawas laki-laki yang kejam. Hal ini menunjukan adanya ketimpangan berdasarkan gender dalam hal pembagian kerja, di mana laki-laki ditempatkan menjadi sosok yang dominan sehingga mampu untuk mengontrol kerja buruh perempuan demi efektivitas produksi pabrik korek api. Selaras dengan pemikiran feminisme sosial yang menganggap munculnya sistem kapitalisme menyebabkan laki-laki mempunyai kepentingan material untuk mendominasi kaum perempuan. Dominasi tersebut dilakukan dengan membangun konstruksi budaya pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin sehingga laki-laki dapat langgeng mengeksploitasi ke-subordinat-an perempuan demi kepentingan materinya (Alifiulahtin, 2017: 38). Hal ini akhirnya memperkokoh posisi perempuan menjadi proletar dari kaum proletar itu sendiri.
Kritik feminisme tak hanya ditunjukan film ini lewat buruh-buruh perempuan di pabrik korek api, tapi juga hadir dalam tokoh Mira Troy yang merupakan seorang sekretaris dari Menteri Keuangan Inggris, Lord Charles Mcintyre. Mira diceritakan memiliki pemikiran yang jauh lebih cerdas dari bosnya, tapi karena merupakan seorang wanita dan berkulit hitam, Mira tak bisa mengembangkan karirnya lebih maju lagi karena terhalang sistem sosial di Inggris pada waktu itu. Melihat ketidakadilan ini, dalam salah satu adegan film Enola Holmes 2, Mira sampai berkata, “Kenapa aku tidak diberi imbalan atas kemampuanku. Di mana tempatku dalam masyarakat ini?” Pernyataan Mira tadi menjadi refleksi keterasingan seorang perempuan dari masyarakatnya sendiri. Sebab, hanya laki-laki yang dianggap layak terjun dan maju dalam ranah publik, sedangkan perempuan hanya menjadi sosok yang termarjinalkan.
Tak hanya sekedar menggambarkan kondisi ketertindasan kaum buruh perempuan dan perempuan pada umumnya, film Enola Holmes 2 juga menceritakan seorang tokoh pergerakan yaitu Sarah Chapman. Walaupun kisah ia diculik merupakan fiksi semata, tapi sosok Sarah Chapman sebagai pelopor aksi mogok kerja di pabrik korek api Bryant dan May adalah nyata. Mengutip kompas.com, ia bekerja sama dengan seorang reformis sosial, Annie Besant mengakomodir gerakan Pemogokan Gadis Korek Api atau lebih dikenal sebagai Match Girl Strike tahun 1888 di Bow, London, dengan membawa massa sebesar 1.400 perempuan. Mereka kemudian menggelar aksi di depan dewan untuk memprotes kebijakan 14 jam kerja, upah yang tidak layak, denda yang tidak adil, hingga komplikasi penyakit akibat bahan korek api yaitu alotrop fosfor putih.
Film Enola Holmes 2 juga memberikan pesan untuk melawan ketidakadilan dengan bersatu dan bersama. Hal Ini digambarkan lewat kisah Sarah Chapman yang akhirnya dapat melakukan aksi protes dengan menggandeng para buruh perempuan di pabrik. Begitu juga pesan Eudoria Holmes, Ibunda Enola, bahwa Enola tidak harus selalu menjadi kebalikan dari namanya – Alone – yang selalu kesepian dengan dalih mandiri. Sebab, ia bisa menjadi lebih hebat dan luar biasa dengan bersama orang lain.
Luar biasa, yg saya rasakan setelah menonton enola holmes 2 adalah feminisme. Tapi,
Sedikit miss di bagian pabrik rokok, mungkin ketika ngetik artikel tersebut, teringatnya pabrik rokok. Dibagian bawahnya sudah benar pabrik korek.
Review dan opininta mantab
Terima kasih koreksinya kak. Sudah kami perbaiki.