Lompat ke konten

Dana Otonomi Khusus Papua untuk Siapa?

Ilustrator: Gratio
Oleh: Ida Bagus Gede Randika Pradayana*

Papua merupakan salah satu provinsi yang menerima otonomi khusus sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang kemudian direvisi lewat UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Papua. Sebagai penyandang otonomi khusus, Papua diberikan suntikan dana tambahan dalam bentuk dana otonomi khusus. Sasaran utama dari penggunaan dana otonomi khusus yakni, mendukung pelaksanaan otonomi khusus, mengeskalasi mutu pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan perhubungan, membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, mengembangkan ekonomi rakyat, serta mendorong akselerasi pembangunan (Tatogo, 2018).

Dana otonomi khusus yang diterima Papua berjumlah setara dengan 2% Dana Alokasi Umum Nasional. Penerimaan dana otonomi khusus ini setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Seperti halnya pada tahun 2022, penerimaan dana otonomi khusus Papua meningkat sebesar 12,6%, dari yang awalnya 7,6 Triliun pada tahun 2021 menjadi 8,5 Triliun (kontan.co.id, 2021). Dana otonomi khusus yang diperoleh ini nantinya akan dibagi porsinya antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Alokasi yang diterima oleh Provinsi sebesar 40% sedangkan dengan porsi lebih besar yakni sebesar 60 % diberikan kepada Kabupaten/Kota (Kum dan Sasmito, 2018: 88).

Dalam realita di lapangan, jumlah dana otonomi khusus yang begitu fantastis, bahkan mengalami kenaikan setiap tahunnya ternyata tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua. Masyarakat Papua masih saja tidak mengenal kata “sejahtera” yang hakiki hingga hari ini. Hal tersebut salah satunya terbukti dimana Indeks Pembangunan Manusia di Papua tidak mengalami peningkatan yang berarti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, pada tahun 2021 tercatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua berada di angka 60,62. Angka ini hanya meningkat 0,30% dari tahun sebelumnya yang berada pada angka 60,44. Peningkatan ini tentu tidak sebanding dengan besaran dana yang telah diterima. 

Kemudian, pada bidang pendidikan dan kesehatan yang menjadi fokus perhatian penggunaan dana otonomi khusus juga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Padahal alokasi di bidang pendidikan dan kesehatan cukup besar yakni masing-masing sebesar 30% dan 15%. Di bidang pendidikan, angka buta huruf masyarakat Papua masih tergolong tinggi. Pada tahun 2021 lalu, angka buta huruf di Papua menyentuh angka 21,11 % jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang hanya berada pada kisaran 3,96% (katadata, 2021).  Sementara di bidang kesehatan, permasalahan gizi buruk masih saja menjadi hal yang tak kunjung terselesaikan. Tingkat gizi buruk di Papua berada pada angka 3,10% yang masih di atas rata-rata nasional yakni 1,2% (kabar24.com, 2021).

Problematika lainnya yang muncul di tengah pengelolaan dana otonomi khusus yakni porsi penerimaan dana oleh Kabupaten/Kota. Penerimaan dana otonomi khusus oleh Kabupaten/Kota cenderung stagnan setiap tahunnya, bahkan terkadang mengalami penurunan. Selain itu, porsi dana yang diberikan oleh wilayah pedalaman juga disetarakan dengan wilayah lain yang sudah maju. Padahal wilayah pedalaman membutuhkan dana yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur dasar. Pada akhirnya hal ini menimbulkan rasa ketidakpuasan dan para Bupati kerap melakukan aksi walk out pada saat rapat kerja akibat hal tersebut. Hal ini tentu sangatlah kontradiktif mengingat penerimaan dana otonomi khusus mengalami peningkatan setiap tahunnya. 

Munculnya berbagai problematika ini salah satunya ditengarai karena faktor kapasitas kelembagaan.  Dari sisi kapasitas kelembagaan, rendahnya kualitas sumber daya politisi dan elit lokal menjadi “biang keladi” di dalamnya. Tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah menyebabkan para politisi dan elit lokal tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang birokrasi pemerintahan serta pembuatan regulasi yang memadai. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia juga menyebabkan kesulitan dalam mengelola sistem informasi keuangan daerah yang berbasis teknologi. Secara kuantitas sumber daya manusia di Pemerintah Provinsi juga sangat terbatas karena banyaknya aparatur sipil negara yang didistribusikan ke Pemerintah Kabupaten/Kota.

Besarnya jumlah dana otonomi khusus yang tidak seimbang dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Papua juga disebabkan karena maraknya praktik korupsi di kalangan para penguasa. Korupsi yang terjadi di Papua ibarat gunung es, semakin dikeruk, semakin banyak praktik korupsi yang ditemukan. Maka tidaklah mengherankan timbul pameo di tengah masyarakat Papua bahwa korupsi yang terjadi merupakan hal yang lumrah, justru akan menjadi kejutan apabila dana otonomi khusus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Belakangan ini, berdasarkan temuan Baintelkam POLRI dan BPK korupsi dana otonomi khusus yang terjadi di Papua telah merugikan negara senilai 1,8 Triliun Rupiah. Hal ini barulah temuan kecil, karena sisanya masih tersimpan rapi di bawah permukaan.

Berbagai carut marut ini sedikit banyaknya telah menggambarkan ketidakberhasilan pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Pemberian status otonomi khusus dengan didukung suntikan dana otonomi khusus yang begitu besarnya tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang selama ini terjadi di Papua sampai ke akarnya. Dana otonomi khusus justru digunakan untuk menyuburkan para pejabat dan memarginalkan masyarakat. Peningkatan dana otonomi khusus setiap tahunnya seakan menjadi penarik simpati yang tak berarti. Pada akhirnya, keberadaan hal ini menyebabkan dana otonomi khusus hanya sekadar terlihat sebagai penebusan dosa atas konflik panas yang terjadi pada masa lalu. 

(Visited 151 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2020. Sedang tertarik akan isu desentralisasi dan demokrasi elektoral.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?