Lompat ke konten

Bahaya Nepotisme Penerimaan Mahasiswa “Jatah” Keluarga Dosen dan Pegawai UB

Sesi - Mahasiswa baru sedang mengantri masuk Gedung Samantha Krida pada RAJA Brawijaya 2022 (PERSPEKTIF/Hendra)

Malang, PERSPEKTIFUniversitas Brawijaya (UB) telah melaksanakan proses penerimaan mahasiswa baru pada tahun 2022. Jalur-jalur yang disediakan adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Seleksi Mandiri UB (SMUB), Seleksi Masuk Program Vokasi (SMPV), dan Seleksi Program Khusus Penyandang Disabilitas (SPKPD). Tidak banyak diketahui publik, UB juga menyediakan “jatah” penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri bagi keluarga dosen dan pegawainya. 

Hal ini diakui oleh Heri Prawoto, Sekretaris Direktorat Administrasi dan Layanan Akademik UB. Ia beralasan kemudahan seperti itu wajar dilakukan mengingat kampus lain juga melakukan hal yang sama.

“Kalaupun ada anaknya pegawai, itu pun anaknya pegawai, anaknya dosen memungkinkan saja karena itu di seluruh kampus juga ada berlaku seperti itu. Jadi kami mengabdi puluhan tahun di UB, anaknya (masa, red) tidak bisa kuliah di UB. Apakah itu salah kalau misalnya dibantu? Kan hal semacam itu yang mungkin perlu diketahui. Kita tidak membedakan dan jumlah itu juga tidak akan banyak dibandingkan dengan yang kita terima dari umum,” ujar Heri saat diwawancarai Tim Perspektif mengenai layanan Whistleblowing System (WBS) UB (20/4). 

Ketika dihubungi kembali (29/8), Heri lalu menambahkan, diksi “dimudahkan” bukan berarti diterima secara langsung, namun tetap dilihat nilai dan program studi yang dituju calon mahasiswa baru tersebut. Heri juga memastikan bahwa keluarga dosen dan pegawai yang diterima adalah anak kandung sesuai dengan Kartu Keluarga yang telah diajukan. 

Praktik Nepotisme di Perguruan Tinggi

Bertentangan dengan pernyataan Heri Prawoto, Novada Purwadi dari Komite Pendidikan UB menyatakan penerimaan mahasiswa “jatah” dosen dan pegawai adalah praktik nepotisme atau kecenderungan mengutamakan sanak saudara sendiri.

“Saya rasa ini praktik nepotisme. Seharusnya yang diutamakan sekedar kriteria akademik dan non-akademik saja, bukan lagi praktik-praktik demikian,” tutur Novada (30/8). 

Meskipun ada pertimbangan nilai akademik dan potensi non-akademik untuk meloloskan keluarga dosen dan pegawai, tapi Novada menyatakan bahwa hal tersebut tetap merupakan praktik nepotisme. 

“Tetap (praktik nepotisme, red) kalau masih ada prioritas tertentu. Misal si a nilainya 80, prestasi non-akademik di bidang catur tapi tidak kenal sama orang sana (dosen atau pegawai, red). Si b sama, tapi kenal (dosen dan pegawai, red). Dan yang masuk si b karena ada kuota tersebut (jatah keluarga, red), sedangkan si a tidak, karena kehabisan kuota normal. Ya berarti nepotisme,” ungkapannya.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ahmad Adi Susilo selaku Kepala Divisi Advokasi Malang Corruption Watch (MCW). Ia menolak adanya praktik-praktik kemudahan masuk universitas bagi keluarga dosen dan pegawai karena termasuk tindakan nepotisme. Menurutnya, Jalur penerimaan yang tidak transparan tersebut akhirnya memunculkan potensi korupsi.

“Jalur masuk mahasiswa harus sesuai prosedur. Fenomena itu justru diskriminatif, dan termasuk praktik nepotisme perguruan tinggi,” ujarnya (29/8). (gra/fy/prd/yn/dhs)

(Visited 893 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?