Lompat ke konten

Cegah Demensia dengan Dialektika

Ilustrasi: Gratio
Oleh: Darul Adinawa*

Perkembangan berbagai bidang yang terus memudahkan mobilisasi dan macam-macam inovasi lainya membuat usia tidak menjadi penentu, dimana penyakit tak kenal tua dan muda. Kali ini tulisan akan membahas tentang demensia (pikun) yang kerap kali mendatangi para generasi muda. Jika ditinjau secara ilmu kesehatan atau kedokteran, seiring bertambahnya usia, maka bayang bayang kepikunan akan menyertai. Diikuti berbagai macam faktor seperti kinerja imun dan regenerasi tubuh melambat sehingga menyebabkan berbagai penyakit termasuk demensia. Sejalan dengan itu, karena bukan mahasiswa kesehatan atau kedokteran, penulis akan membahas dari sudut pandang yang lainya yaitu dari segi sosial. 

Menurut hipotesis penulis, ada faktor secara kedokteran (fisiologis) dan ada pula faktor sosiologis atau kultural. Bermula dengan semacam defisit dalam kognitif yang membuat orang ragu untuk mengucapkan kalimat, cemas untuk punya pendapat, gugup untuk mempertahankan argumen. Oleh karena itu, terjadi kemacetan dalam berfikir sehingga kesulitan dalam mengungkapkan sesuatu dan jika ini terus menerus ditahan dalam jangka yang cukup lama dan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan demensia. Sebetulnya, ada dimensi lain yang menyebabkan kepikunan itu dan yang akan penulis sampaikan pada tulisan ini. 

Jika sedikit tarik ke belakang, para para pahlawan bangsa atau founding parents bangsa ini, tidak ada yang mengalami kepikunan karena sering berdebat dengan isu-isu yang terjadi saat itu misal politik, ekonomi, kebijakan, kesejahteraan, bahkan mengamati bagaimana politik internasional bergerak. Seperti Agus Salim atau Ki Hajar Dewantara dan golongan-golongan tua lainya masih masih sangat kuat berdebat di berbagai forum. Ditambah lagi mereka juga kutu buku, penulis buku, belajar otodidak dengan saling bertukar pikiran antara satu sama lain. Jadi secara tidak langsung, mereka mengaktifkan suatu forum akademik yang saling bertarung pandangan antara satu sama lainya. 

Lalu timbul pertanyaan mengapa kepikunan cepat terjadi di Indonesia dengan situasi sosial yang ada baik lingkungan, pendidikan atau bahkan politik? Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek paling signifikan dari demensia adalah status pendidikan. Untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan fungsi mental entah itu untuk para orang yang disebut tua, senior, bahkan milenial atau anak muda dapat dilakukan kegiatan mengingat, berbicara, berpikir, berperilaku, dan melakukan berbagai pekerjaan agar dapat tetap mandiri dan produktif. Melalui ini penulis berharap para generasi muda bisa mengaktifkan pikiran dengan membaca lalu dilanjut dengan bertukar pikiran antar teman, kerabat, orang tua atau orang sekitar dalam rangka mencegah demensia. Tapi tetap saja ini merupakan hipotesis penulis yang cemas akan masalah ini. 

Sesuatu yang Melekat pada Masyarakat Indonesia

Sekali lagi tentang demensia yang akrab dengan usia, penulis mengira ada semacam mentalitas yang melekat pada masyarakat kita yang menganggap orang dengan usia lanjut, sudah menyelesaikan hidupnya sehingga hanya pantas dirawat, dimanja, dan diasuh atau bisa kalian sebut istilahnya apapun itu. Padahal manusia itu tidak pernah berhenti untuk mengaktifkan dirinya sendiri, yang disebut dalam filosofi adalah kondisi eksistensial manusia. “Eksistensi mendahului esensi” bahwa manusia eksis atau ada terlebih dahulu, kemudian dalam kehidupan dia memberi makna atau esensi atas kehidupannya dengan fokus pada pengalaman individual. Guru yang ideal menurut eksistensialis adalah guru yang memberikan kebebasan ruang dialog bagi orang untuk menemukan makna dirinya. Orang mendapat kesempatan yang luas untuk mempelajari sesuatu yang menjadi minatnya, sehingga bisa menemukan jati dirinya.

Metode pembelajaran yang tepat menurut eksistensialis adalah dialog, main peran, dan metode lain yang memberi kebebasan bagi orang untuk bereksplorasi memaknai dirinya. Setiap manusia harus sadar bahwa dia sendirilah yang memiliki tanggung jawab untuk menciptakan makna dan definisi dirinya sendiri. Artinya, setiap waktu seseorang bisa menghasilkan ulang hidupnya dengan mengambil keputusan.  Dengan kata lain, seseorang terlepas dari berapapun usianya, selama dia menolak atau berhenti mengambil keputusan, maka tinggal menunggu waktu untuk menjadi pikun.  

Bagaimana Korelasi antara Dialektika dan Demensia  

Karena kita tiba pada segala persoalan yang tidak bisa dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Percakapan antar personal atau bahkan dalam sebuah forum cukup penting dalam melihat beberapa sudut pandang, percakapan konseptual, menelisik bagaimana sejarah, ada kaitanya dengan masalah yang beredar, menerapkan prinsip-prinsip yang pudar karena termakan jebakan epistemik, atau bahkan pragmatisme. Dialektika membuat sebuah ilmu tumbuh dari percakapan itu. Dengan bertambahnya umur dan pengalaman, maka pengetahuan manusia tentang hidup dan alam bertambah. 

Dalam pengertian yang lebih dasar atau filosofis, dialektika menurut Hegel adalah gerakan pikiran atau ide bisa disebut ide bila ada yang mengganggu, jika tidak ada yang mengganggu itu artinya berdoa.  Jadi dimana hubunganya antara dialektika dan demensia? Jika kita sering bercakap cakap tentang suatu hal itu akan terus merangsang otak kita untuk terus mengingat pengetahuan yang kita miliki serta mendapat pandangan lain dari lawan bicara atau teman diskusi. Menurut subjektivitas penulis, ketika ada ilmu baru yang didapat atau bisa mengingat hal yang sudah berlalu menyebabkan seseorang bisa menjadi ‘baru’ dan terus bertumbuh. Perhatikan saja lansia yang sering bicara sendiri karena ia masih butuh tempat atau orang untuk bertukar pikiran, jika para pembaca masih punya seorang lansia di keluarga marilah coba kita ajak bicara dan lihat betapa panjangnya mereka berbicara meskipun kadang tidak nyambung, dan amati bagaimana kesenangan saat berbicara. 

Penutup 

Sekali lagi ini hipotesis atau pendapat penulis yang ingin ada pemantik atau mengaktifkan dialektika antara para akademisi di kampus yang lebih mengerti akan hal ini, mempunyai literasi lebih, mempunyai pengalaman, atau bahkan belajar tentang hal terkait dan bisa memberikan validasi. Memang ada faktor secara kesehatan, namun ada juga faktor sosial atau kultural. Sebenarnya penulis hanya tidak ingin kalian para generasi penerus bangsa sering lupa akan hal hal tertentu meskipun terus dimakan oleh usia. Karena kalian juga yang akan mengisi tempat tempat kosong yang akan ditinggalkan oleh para generasi sebelumnya. Bayangkan jika kita berada pada sebuah rapat teknis lalu kita lupa apa yang akan kita ungkapkan karena kurangnya kita dalam berdialektika. 

Penulis berharap dari tulisan ini bisa menjadi awalan bagi kalian para orang orang hebat akan rutin melakukan percakapan dan saling bertukar ide seperti para tokoh tokoh bangsa, karena nantinya bangsa ini dalam beberapa tahun kedepan Negara Indonesia akan diisi oleh orang-orang besar dengan pikiran yang besar pula.

(Visited 288 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2020. Sekarang aktif sebagai anggota Divisi Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?