Lompat ke konten

Memahami Makna Kehidupan Ala Cak Dlahom

sumber gambar: https://www.goodreads.com/book/show/32480338-merasa-pintar-bodoh-saja-tak-punya
Oleh: Haviv Isya Maulana*

Judul Buku: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura

Penulis: Rusdi Mathari

Terbitan Pertama: 2016

Penerbit: Buku Mojok

ISBN: 978-602-1318-40-9

Jumlah Halaman: 226 hlm

***

“Lalu kenapa kamu berpura-pura merindukan Ramadhan?”

“Ya gimana lagi, Cak. Setiap tahunnya memang begitu.”

Pertanyaan Cak Dlahom ini memberikan pertanyaan pada diri kita sendiri. Benarkah kita merindukan Ramadhan? Benarkah kita menyukainya? Lantas jika kita menyukainya, mengapa masih banyak yang lalai terhadap perintah-Nya? Banyak diantara kita sebagai umat-Nya merasa pura-pura menyukai segala perintah Allah namun sebenarnya kita merasa berat bahkan terkadang enggan untuk melaksanakan semua perintah-Nya. Sejatinya, seberat dan se-tidak suka apapun kita terhadap kewajiban yang Allah berikan, kita seharusnya menjalankannya dengan ikhlas. Dalam beribadah pun kita wajib menjalankannya dengan ikhlas, seperti pesan Cak Dlahom ini kepada Romlah selepas mengantar makanan ke kediaman Cak Dlahom.

“Terima kasih Romlah, salamku pada bapakmu. Kalau beribadah harus ikhlas.”

Mendapat pesan dari Cak Dlahom, Mat Piti pun merasa heran. Ia mengirim makanan itu ikhlas. Untuk itu ia kemudian mendatangi Cak Dlahom untuk mencari tau apa yang dimaksud oleh Cak Dlahom tersebut, karena ia yakin ada makna mendalam yang ingin disampaikan oleh orang yang dicap warga sekitar “sinting” ini.

Oh iya, sebelum jauh pembahasannya saya ingin menceritakan siapa Cak Dlahom ini. Cak Dlahom adalah seorang pria tua yang di lingkungan sekitar dicap oleh warga sebagai orang sinting. Namun, dibalik sintingnya ini Cak Dlahom selalu memberikan pesan kehidupan yang sangat mendalam yang ia sampaikan. Hanya orang tertentu saja yang dapat memahami ucapan Cak Dlahom ini, salah satunya yaitu Mat Piti.

“Iya Cak, saya tahu. Tapi saya mau tanya. Maksud sampeyan bilang saya harus ikhlas itu apa ya?”

Cak Dlahom tak langsung menjawab. Ia justru kembali menanyakan apa saja yang pernah Mat Piti berikan kepadanya. Dengan lancar Mat Piti menjelaskan apa saja yang pernah ia berikan kepada Cak Dlahom.

Wuihh, ingat banget ya, kamu.”

Disini kita bisa melihat betapa besarnya sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh Cak Dlahom. Ia jarang sekali menyampaikan secara langsung. Ia membiarkan kita merenungi sendiri apa pesan yang dia maksud. Saya sendiri dalam kisah ini merasa Cak Dlahom ingin menyampaikan bahwa dalam beramal atau bersedekah tak perlu kiranya bagi kita untuk mengingat-ingatnya. Karena sejatinya amalan yang ikhlas adalah amal perbuatan yang tidak pernah diingat-ingat. Mengingat-ingat amal perbuatan hanya akan membuat hati kita menjadi keras dan dipenuhi rasa riya’. Rasa bangga terhadap kebaikan yang kita perbuat. Amalan yang awalnya dilakukan dengan ikhlas ini kemudian berubah menjadi sebuah kesombongan. Kita tentunya selalu ingat dengan pepatah “tangan kanan memberi, tangan kiri sembunyi.”

Di lain cerita, kita dapat mengambil sebuah pesan yang cukup menohok juga. Agama Islam sendiri bukan hanya sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, kita perlu melihat dan menyakini kebesaran Allah sebagai sang pencipta semesta. Terkait melihat Allah, banyak orang yang berusaha sekuat tenaga untuk mencari keberadaan Allah secara fisik dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Padahal, untuk melihat kehadiran Allah kita hanya perlu memperbaiki kualitas shalat, sedekah, serta menggunakan ilmu yang kita mliki untuk kebaikan umat, seperti yang dikatakan Cak Dlahom pada buku ini.

Buku ini secara garis besar menceritakan bahwa banyak orang saat ini yang merasa pintar dengan ilmu yang mereka miliki kemudian dengan mudahnya memberikan cap buruk kepada orang lain hanya karena mereka berbeda pandangan. Padahal berbeda pandangan adalah hal yang biasa terlebih kita berada di negari +62 yang dikatakan negara demokrasi.  Kita sering sekali merasa lebih mulia dibandingkan dengan orang lain dan menganggap orang lain adalah pengganggu.

“Aku juga tak berani memberi cap kepada siapapun dengan apapun. Puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri,” ucap Cak Dlahom ketika ia menyamakan dirinya dengan seekor anjing.

Selain amal perbuatan baik yang kita jalani, sebagai manusia sudah tentunya kita akan menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.  Namun, pada dasarnya masalah manusia hanyalah sekepalan genggam tangan. Ringan dan beratnya ujian dalam hidup tergantung kepada bagaimana manusia menyikapi masalah tersebut. Terkadang masalah menjadi berat karena kita selalu dipengaruhi iblis dalam menyelesaikan masalah. Kita lebih menggunakan hawa nafsu untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Cerita akan sarat makna selalu disajikan pada setiap sub bab pada buku ini. Tetapi saya tertarik pada satu subbab yaitu “Siapa yang gila? Siapa yang sesat?”. Cak Dlahom yang terkenal sinting ini pada suatu malam tepatnya pukul 10 dengan lantangnya melantunkan azan di masjid. Mendengar suara azan yang tidak pada waktunya, warga ramai-ramai mendatangi masjid dan memaki Cak Dlahom. Dullah, salah satu warga melakukan protes keras kepada Cak Dlahom malam itu.

“Tadi, waktu azan Isya, ke mana kamu? Ke mana kalian semua? Kenapa tidak ada yang datang ke masjid?”tanyanya.

Taek kamu Dul, taek kalian semua. Sekarang giliran aku azan tengah malam kalian malah datang ke masjid beramai-ramai. Siapa yang gila sebenarnya Dul? Siapa yang sesat?”

Sekiranya sudah tentu kita paham pesan apa yang ingin di sampaikan Cak Dlahom ini bukan? Yaps, banyak diantara kita sering sekali mengabaikan panggilan Allah. Namun, kita dengan sangat cepat datang jika dipanggil oleh atasan di tempat kerja. Padahal Allah tidak membutuhkan kita untuk beribadah kepadaNya. Tapi Ia senantiasa setia memanggil hambaNya untuk terus bertakwa kepadaNya.

Oh iya, berbicara mengenai sesat. Buku ini juga menceritakan bagaimana banyak juga orang yang dengan mudah mengatakan orang lain sesat. Kelompok A sesat dan kelompok B lah yang benar. Memberikan kelompok A dengan gelar kafir dan sebagainya. “Benar Marja, saya memang sesat. Karena itu, Allah mewajibkan saya untuk selalu membaca ‘tunjukkan aku jalan yang lurus’ setiap kali saya shalat tujuh belas kali sehari semalam,” ucap Cak Dlahom ketika dikatakan sesat oleh Marja, pegawai balai desa.

Buku ini bagi saya memberikan panduan bagi kita untuk beragama dan menjalani kehidupan sesuai dengan syariat agama. Buku ini pula memberikan perenungan kepada kita khususnya bagi kita yang selalu merasa paling mulia dibandingkan orang lain. Mereka mungkin punya kekuasaan, tapi itu semua dhaif. Mereka semua tidak punya apa-apa dan tidak mampu melakukan apa-apa dihadapan Allah. Untuk itu kita jangan sombong, takabur, serta jumawa dan merasa diri paling baik.

(Visited 834 times, 1 visits today)
*) Saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan jurusan Ekonomi Pembangunan. Sedang mendalami dunia tulis menulis. Beberapa tulisan yang diminati antara lain esai, opini, resensi buku, serta penulisan berita. Saat ini juga tergabung dalam organisasi jurnalistik yang ada di kampus. Alasan ingin mendalami dunia tulis menulis yaitu menjadi seorang penulis merupakan sebuah profesi yang sangat mulia. Dengan menulis kita dapat menyebarkan ilmu yang kita miliki saat ini. Manusia yang baik merupakan manusia yang dapat bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?