Jika tidak ada hari itu, mungkin semuanya akan berbeda. Jika tidak menemui laki-laki itu, semuanya akan baik-baik saja.
Perkenalkan, aku memiliki kehidupan yang tidak terbayang. Di siang hari adalah seorang pelajar SMA, anak nomor satu dengan nilai yang sangat memuaskan. Teman-temanku selalu menemani. Mereka baik, begitu juga aku kepada mereka. Akan tetapi semuanya akan terasa sangat berbeda ketika malam hari. Aku selalu mengunci pintu kamar rapat-rapat memastikan tidak ada yang mengetahui apa aktivitasku dan tentunya hal tersebut bukan belajar atau tidur.
Malam hari adalah waktunya bekerja, pekerjaanku cukup mudah tapi menjijikkan. Aku akan membuka sebuah aplikasi chatting untuk menerima permintaan para pelanggan. Setelah menerima permintaan itu aku akan merekam semua kelakuanku. Permintaan itu bermacam-macam tergantung dengan kelas permintaannya. Siapapun yang membayar tinggi dia memiliki kendali mutlak atas apa saja yang harus kulakukan. Setelah itu rekaman tersebut akan dikirim di sebuah grup dengan cluster yang berbeda-beda. Video yang dinilai biasa akan dikirim pada cluster 1, dimana jumlah anggotanya banyak dengan pembayaran yang lebih murah. Jika aku dapat memperlihatkan sesuatu yang lebih liar dan dianggap kuat nilainya, rekaman akan dikirim pada cluster yang lebih tinggi dengan bayaran yang lebih besar pula. Kalau kalian bertanya apa saja yang sudah aku lakukan, tidak akan kuceritakan. Akan tetapi kalian bisa melihatnya secara langsung dengan masuk dalam grup yang bisa diakses dengan mudah. Aku mengerti semua ini adalah hal yang bodoh, dimana manusia memiliki harga diri dan martabat. Aku membutuhkan uang juga pengakuan dari keluarga, sampai-sampai mengambil keputusan yang salah. Namun, bagaimana jika semuanya sudah terlanjur, dan aku tidak bisa memutar waktu untuk mencegahnya. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa disadari, diriku terjerumus pada sesuatu yang buruk.
Aku memiliki keluarga yang kaya, semua hal bisa dibeli dengan uang orang tuaku. Tetapi aku tidak ingin menggunakannya, karena mereka selalu menghitung apapun yang sudah aku gunakan, aku makan, hingga sesuatu yang belum terjadi. Hingga hari itu, untuk pertama kalinya aku membuat keputusan untuk diriku sendiri. Malam yang sangat dingin untuk betemu dengan seseorang. Lelaki itu, yang tidak ingin menunjukkan wajahnya, adalah seorang mucikari. Laki-laki yang berpakaian serba hitam, memakai topi dan masker, dia yang menghujaniku dengan tatapan sinisnya. Tak ada nyali untuk menatapnya, aku menunduk ketakutan. Kami terdiam tanpa mengeluarkan kata apapun, pria ini hanya melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Sampai kata-kata itu terucap, “Aku percaya jika kamu bisa melakukannya dengan baik. Lakukan saja tanpa berpikir. Apapun yang kamu mau akan kuberi jika dirimu memuaskan. Dunia memang seperti ini, kamu tidak punya kekuatan sehingga datang kepadaku,” ujar singkat yang akan mengubah segalanya.
–Sungguh bukan ini yang aku inginkan, tapi kenapa berakhir sangat menyedihkan.
***
para muka dua yang juga keledai
rupaku dilayar orang-orang itu
mereka melihat tidak dengan mata
menikmati semuanya
semua keindahanku
milikku yang berakhir juga milik bersama
terpampang jelas secara sukarela
mereka melihatku, menjijikkan
semua yang menaruh perhatian
menjilat mata kalian atas apa yang terlihat
para insan tak peduli kenyataan
terpenting adalah angka angka itu
apa isinya aku tak peduli
pelaku dan korban tak lagi terlihat
aku, mereka atau konten itu?
tak ada yang peduli
aku hanya butuh kebodohan itu semua
mereka puas dengan segala kenikmatan itu
atau aku yang terpuaskan dengan angka-angka itu
tak ada yang peduli
pikiranku yang sudah tak lagi jernih
terbawa fatamorgana
semua fantasi aku bangun bersama
tak peduli apalagi kata kata mereka para keledai
hubungan yang saling menguntungkan
masyarakat yang tak lagi bisa melihat atau mendengar
setelah aku sadar tidak hanya para keledai
diriku ternyata tidak lagi merasa
habis segala harga diri
aku yang tidak lagi berpikir
layaknya otak yang tidak lagi bekerja
aku yang membawa raga ini
aku manusia paling benar diatas penderitaan yang kubuat sendiri
tidak ada yang bisa menyalahkanku
begitu juga dengan aku
semua yang memanggilku indah berbisa
tapi halaman lain mereka juga keledai yang buta bisu juga tuli
masyarakat dunia simulakra bertameng kebebasan basi
the other side:
Mimpi begitu mahal, ketika hidup normal sepertimu adalah mimpi yang begitu mahal aku hanya mengambil jalan pintas untuk merasakan secuil atau bahkan tidak sama sekali.
***
Bergetar aku ketika membaca buku harian salah satu teman terbaik. Dia si cantik jelita, baik hatinya, tak pernah berkeluh kesah tentang apapun. Menangis aku tersedu-sedu melihat perempuan yang duduk di pojokan tembok sambil menunduk berbalut baju putih. Matanya yang selalu bercahaya kini redup termakan lara. Berdiam tanpa berucap, bergumam sesuatu yang tidak jelas. Wajahnya ketakutan penuh dengan kerutan, dia yang menatapku dengan wajah memelas. Malang nasibnya dibuang oleh keluarga, tersingkirkan dari pergaulan.
Tak berani aku menatapnya lama-lama, langkahku perlahan-lahan mundur kebelakang. Dengan perasaan ragu, aku berbalik mencari sesuatu yang bisa menenangkan dia. Kulihat darah yang mengucur hingga kaki perempuan itu, takut seandainya aku tak bisa menyelamatkannya. Aku berlari mencari siapapun yang bisa menolong kami, aku yang sangat terguncang, juga teman sekarat termakan kesedihan.
Sepanjang kakiku menapak, aku berpikir tidak semua orang dapat menemukan jawaban atas permasalahnnya, mereka yang seharusnya membutuhkan pertolongan dan dukungan dari sekitarnya. Namun, banyak dari kita hidup di antara masyarakat yang memilih untuk tidak peduli. Jikalau ada, mereka hanya bersimpati tetapi takut jika terseret masalah. Terkadang kita tertipu dengan segala sesuatunya, hal yang buruk tidak terlihat walau sudah jelas terpampang di depan mata. Orang-orang merasa adalah yang paling sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk menolong sesamanya. Hal itu sudah sangat jelas, aku tau karena dengan melihat sesuatu yang kecil dapat mencerminkan bagaimana mereka menyikapi hal yang besar. Sungguh malang temanku, punya keluarga hanya sebatas hubungan darah, memiliki teman hanya tempat singgah. Rupanya dia tidak lagi percaya dengan siapapun, termasuk dirinya sendiri.
***
Cerita ini hanya fiktif, akan tetapi situasinya benar-benar nyata. Mereka perempuan yang terjerumus memiliki situasi yang tidak biasa, tidak lagi bisa berpikir dengan jernih dan perasaan hancur yang tidak terelakkan.
Sebuah kabar yang menggegerkan pengguna Twitter di awal tahun 2020. Nth room, sebuah grup yang memperlihatkan eksploitasi wanita ataupun perempuan dibawah umur. Mereka yang terjerumus dipaksa dan diancam jika rekaman atau foto mereka akan disebarkan. Dengan keterpaksaan juga rasa malu para perempuan itu harus melakukannya. Para admin yang mengatur grup tersebut tidak hanya satu, mereka semua sudah ditangkap. Akan tetapi, grup tersebut tidak akan pernah bisa dihapus, dan dapat diakses secara bebas di Telegram. Pandangan saya terhadap hal itu sangat buruk tentunya, tetapi saya memiliki simpati dalam kasus ini.
Tulisan ini adalah sebuah tantangan untuk saya, dimana saya memiliki keresahan jika berpendapat terlalu jauh. Ada rasa empati ketika mempelajari kasus Nth Room, saya seorang perempuan memiliki resiko yang sama seperti mereka. Anggap saya memiliki ketakutan yang tidak perlu, namun tidak ada yang tahu masa depan. “Poets” yang diselipkan disana adalah tokoh utama dalam cerita ini, yaitu keresahan yang bisa menghampiri siapapun. Mungkin saya tidak menceritakan Nth Room secara jelas. Tetapi, coba bayangkan bagaimana jika kita berada pada posisi yang sama. Bagaimana jika kita memiliki situasi yang tak pernah terduga, sehingga hal buruk selalu berdatangan. Begitu buruk, namun masyarakat terlalu buta, tuli, bisu.