Lompat ke konten

Menelusuri Suara Buruh Perempuan di Indonesia

Illustrator: Shofi Islami
Oleh: Ulina Artha E. Panjaitan*

Berbicara mengenai kesetaraan gender merupakan hal yang menarik untuk dikaji dan ditelaah terutama di Negara Indonesia. Bukan tanpa alasan, hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat kesetaraan gender di Indonesia yang masih tergolong rendah.

Pernyataan tersebut didukung oleh indeks kesetaraan gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) yang mengatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-ASEAN dalam hal kesetaraan gender. Data lain juga menunjukkan menurut Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia per 2018 berada di angka 90,99 dan berdasarkan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) berada pada angka 72,1. Dari data tersebut menunjukkan bahwa realitanya secara eksplisit kesetaraan gender di Indonesia masih jauh tertinggal.

‘Ada asap ada api’, peribahasa itu seolah cocok untuk menggambarkan kesetaraan gender yang masih rendah di Indonesia, ini karena tidak mungkin hal tersebut ada jika tidak ada penyebabnya. Beberapa penyebabnya adalah masih adanya budaya patriarki dan stereotip gender masyarakat Indonesia yang mana hal tesebut seolah lekat dalam tatanan masyarakat di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia seperti bidang pendidikan, pekerjaan, ekonomi, sosial budaya, dan politik pemerintahan.

Jika kita kilas balik perjuangan Raden Ajeng Kartini yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita, seharusnya budaya patriarki dan stereotip masyarakat itu sudah tidak ada lagi. Namun secara praktek, mengapa hal tersebut seolah menjamur? “Ah emang bisa kamu (perempuan) dapat bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang besar seperti itu?”, “Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi jika nanti ujung ujungnya akan di dapur saja”, “Kamu (perempuan) sepertinya tidak bisa berpartisipasi dalam dunia kerja, itu cukup bagian laki-laki saja, ya”. Ucapan seperti itu tak jarang masih terdengar sampai sekarang. Perempuan digambarkan seperti kaum yang lemah dan tidak berdaya. Bukannya laki-laki dan perempuan itu sama?

Seperti adanya ketimpangan dalam hal profesi, perempuan yang memilih dan memberikan sumbangsih sebagai tenaga kerja tak jarang mendapat perilaku tak adil. Kekerasan, diskriminasi dan pelecehan seksual adalah ancaman bagi buruh perempuan di Indonesia, bukan hanya satu atau dua kasus saja yang menimpa para buruh perempuan.

Setidaknya tindakan diskriminasi terhadap para pekerja di Indonesia berkisar 30 persen, hal ini dikatakan oleh Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Angka 30 persen bukan angka yang kecil, ini merupakan angka yang cukup tinggi. Dari angka tersebut, para buruh perempuan mendapatkan gaji yang lebih rendah dari laki-laki, mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual, serta partisipasi buruh perempuan yang juga masih rendah.

Secara jelas dapat dilihat bahwa sampai sekarang, ruang bagi buruh perempuan masih minim. Dari sini lah dipertanyakan status buruh perempuan dalam ketenagakerjaan. Masih ada kah? Atau seolah-olah ada, namun tak dianggap?

Perlu juga dicatat bahwa buruh perempuan memiliki peraturan yang menjamin haknya sebagai perempuan, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 bahwa perempuan memiliki hak cuti menstruasi, hak cuti hamil dan melahirkan, hak perlindungan selama hamil, hak biaya persalinan, hak cuti keguguran, hak menyusui, larangan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena menikah, hamil dan melahirkan, dan hak fasilitas khusus pada jam kerja tertentu. Berdasarkan Undang-Undang ini seharusnya para buruh perempuan juga dibekali ilmu bahwa mereka memiliki hak, karena mungkin saja ada buruh yang tidak mengetahui apa haknya. Jangan karena ketidaktahuan akan haknya, para “monster” tetap berlaku seenaknya. Sangat penting bagi para buruh perempuan mengetahui apa yang menjadi haknya. Dan jika ada buruh yang meminta haknya, maka harus ditindak secara cepat agar permasalahan yang ada dapat diatasi bersama, bukan diatasi secara pribadi.

Masalah ini seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak. Perjuangan untuk mendapatkan hak malah dibungkam. Sebagai negara hukum, seharusnya hukum benar-benar ditindak tegas. HAM bukan hanya milik beberapa kepentingan. HAM adalah hak semua orang, dan tidak ada yang bisa melarang hal tersebut. Seharusnya pemberdayaan perempuan harus terus dilanjutkan secara nyata, bukan semata-mata terlaksana di selembar kertas. Masalah ini tidak boleh terus dibiarkan. Perempuan juga layak mendapatkan apa yang menjadi haknya. Perempuan bukan manusia yang lemah tak berdaya. Secara tegas budaya patriarki harus segera dihilangkan.

Kesetaraan gender harus dimaknai sebagai perempuan dan laki-laki yang memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan hak dan kewajiban dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Ruang aman bagi buruh harus tetap ada, jangan sampai sunyi dan gelap karena kita hidup di negara demokratis bukan di gua.

(Visited 356 times, 1 visits today)
*) PENULIS MERUPAKAN MAHASISWI ILMU PEMERINTAHAN ANGKATAN 2020 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA. SAAT INI AKTIF SEBAGAI ANGGOTA DIVISI REDAKSI LPM PERSPEKTIF

1 tanggapan pada “Menelusuri Suara Buruh Perempuan di Indonesia”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?