Semilir angin di pagi buta mencekam tubuh gempalku, membuat bulu roma ini berdiri. Kutarik selimut yang berbahan kain kusam itu. Robek di permukaannya tak bisa menghangatkan tubuh, bahkan sempat kucium aroma tak sedap meski mataku tengah terpejam. “Kukkuuruyuuukkk,” Si jago merah milik tetanggaku lebih dulu bangun daripada aku, lantas tetap tak kupedulikan. Mataku sangat sembab, membentuk kantong Doraemon. Bekas tangis kemarin sore belum bisa menghilang, itulah sebabnya aku sangat ingin memejamkan mata. Lapuknya bantal yang juga berpeta ini menenangkan jiwa dan pikiranku walau hanya sejenak.
Tiba-tiba udara yang sebelumnya sejuk berubah menjadi hangat. Namun, yang kurasa bukanlah hangat terik matahari, melainkan cairan hangat yang mengalir membasahi tubuhku. Dengan mata tetap terpejam, aku meraba kakiku dan dengan spontan mencium hasil rabaanku tadi. Baunya sangat tidak asing menurutku, karena memang benar cairan hangat itu ternyata cairan kencing kakak perempuanku.
“Kak Shimaaaa, kakak ngompol lagi?!” teriakku sembari membangunkan kakakku yang masih pulas di sampingku. Ini memang bukan pertama kali kakakku melakukan hal konyol seperti itu, usianya yang sudah menginjak remaja tetap tidak menjadi pantangan. Sedangkan aku yang masih belia harus menikmati aroma khas kasur bekasnya mengompol setiap hari. Bukan tanpa sengaja aku tidak membersihkan kasur itu, hanya saja aku tidak mengerti harus ku apakan kasurnya. Kak Shima hanya mencuci bila dia sempat, kalau tidak, terpaksa kami harus menahan penciuman kami. Banyak orang bertanya, ibu kami kemana sampai-sampai tak sempat mengurus kami segala. Sedih rasanya jika mendengar kalimat tersebut terlontar dari mulut orang lain yang memang benar-benar tidak mengetahui kehidupanku.
“Ratih, Shima, nasinya sudah ibu siapkan di dapur. Sebelum sekolah sarapan dulu, jangan lupa juga urus kasur kalian itu. Ibu banyak pesanan di tempat kerja jadi ibu harus berangkat sekarang.” Wanita setengah baya melintas di depan kamarku, tak sempat menolehkan pandangannya. Ia terbiasa langsung pergi. Semenit baru kusadari bahwa ibuku telah pergi. Bunyi gas sepeda motor yang bising memenuhi halaman rumah, menyisakan kepulan asap di wajahku ketika aku berlari mengejarnya.
“Tak bisakah sehari saja kau mementingkan anakmu, sekedar memberi salam manis serta kecupan kasih sayang di kening.” bibirku gemetar, mataku merah berair, hatiku menangis tapi tak bersuara. Keinginan yang hanya bisa kudzikirkan dalam hati, tidak akan pernah terealisasikan. Aku pun kembali ke kamarku. Belum sampai di depan pintu kamar, kudengar isak tangis penuh kebingungan. Bergegas aku menghampiri sumber suara itu.
“Ratih kaos kaki hitamku di mana? Apa kamu melihatnya?” ujar kak Shima sambil tersedu-sedu. Hampir setiap hari, ketika hendak berangkat sekolah dia panik dan menangis. Entah bagaimana mengatakannya, bahkan akupun tidak tahu siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Aku hanya diam menatap matanya yang lugu dengan deraian air mata yang sudah tidak bisa terbendung lagi. Kak Shima tetap mondar-mandir mencari kaos kaki sebelahnya yang hilang.
“Ratih, cepat bantu kakak waktunya sudah hampir mepet, sebentar lagi kakak pasti akan terlambat. Bagaimana ini?” dia kembali melontarkan celotehnya. Dengan tanggap aku pun ikut membantu mencari kaos kaki milik saudariku. Lima menit kami mengobrak-abrik isi rumah tetap saja kaos kaki hitam yang sudah lusuh dan berlubang itu tidak bisa kami temukan. Kak Shima semakin menangis menjadi-jadi. Aku juga bingung harus bagaimana. Belum lagi sebenarnya aku juga harus bersiap ke sekolah, tapi aku tidak mungkin berangkat dengan keadaan mandi keringat dengan rambut acak-acakan seperti ini. Coba ingat kembali, setelah terkena ompol tadi aku belum sempat membersihkan diri, belum lagi harus mencari kaos kaki kakakku. Kepalaku hampir pecah, tiap hari harus berada dalam keadaan seperti ini. Sudah tidak ada cara lagi untuk menenangkan kakakku. Kalau tidak berkaos kaki dia tidak mau pergi ke sekolah.
Astaga, setelah kulihat Kak Shima, ternyata dia juga masih belum berseragam sekolah. Aku langsung ingat, kemarin sore seragam itu baru saja kakak cuci. Aku bergegas ke halaman belakang untuk melihat keberadaan baju itu, ternyata setelah sampai aku sangat terkejut. Bajunya basah, mungkin karena lupa tak kuambil saat turun hujan tadi malam.
“Ratih, kakakmu kenapa lagi? Apa tidak bisa kalau sehari saja kalian tidak membuat bising kampung ini?” Mak Yus tetangga sebelah rumahku menggerutu.
Tak perlu menunggu lama, aku pun menjawabnya, “Mak Yus, baju seragam Kak Shima basah, kaos kakinya juga hilang entah kemana. Makanya dia menangis—”
“Tiap hari ada saja yang hilang, kenapa kalian tidak pernah mengadu pada ibu kalian? Kasian tetangga yang lain terganggu sama tangis kakakmu.” dengan nada sedikit kesal Mak Yus mengomel lalu beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Mendengar perkataan itu, hatiku terasa teriris kembali. Mak Yus orangnya memang sedikit kasar, tapi sebenarnya dia baik. Aku mencoba tidak mengambil hati perkataan Mak Yus tadi dan kembali menemui Kak Shima.
“Kakak tidak usah masuk sekolah dulu hari ini, seragam dan kaos kakinya kan’ tidak ada.” aku mencoba memberi solusi, walau mungkin itu bukan solusi yang terbaik. Kak Shima semakin marah dan menangis. Ia berkata, jika dia tidak masuk sekolah hari ini dia tidak bisa mengikuti ujian semester, belum lagi kepala sekolah juga akan memanggil orang tua kami. Itu karena sudah terlalu sering Kak Shima tidak masuk sekolah. Alasannya bukan karena dia ingin bolos, tetapi karena ada saja masalah di rumah kami.
“Ini, pakai saja kaos kaki punya suami Amak.” Mak Yus tiba-tiba datang dengan membawa kaos kaki yang ukurannya tidak sekecil ukuran kaki Kak Shima. Jelas saja, dia sudah bilang kalau itu punya suaminya.
“Makasih Mak Yus, benar ini boleh dipinjam?” sahut kakakku sembari bertanya.
“Sudah pakai saja, itu sudah tidak terpakai lagi kok. Setelah ini cepat berangkat sekolah. Nanti kamu terlambat, Shima.” dengan sigap Kak Shima langsung memakai kaos kaki yang diberikan Mak Yus. Cepat-ccepat dia berlari keluar menginjak sepatu hitam yang sudah kecoklatan.
“Seragamnya belum dipakai kak?” teriakku mengingatkan Kak Shima dari jauh. Namun, dia enggan menoleh dan terus berlari menuju sekolah. Dalam hati aku berdoa semoga Kak Shima bisa tepat waktu sampai sekolah dan tidak ditegur oleh guru karena tidak mengenakan seragam sekolah.
Saat aku menoleh ke arah jam dinding, aku berpikir sia-sia juga kalau aku tetap sekolah hari ini. Jadi aku memutuskan untuk tidak sekolah. Sebenarnya di usia sekolah dasar sepertiku bukan tidak menjadi masalah jika kita bolos. Namun, keadaan yang memaksaku seperti ini. Yah, lebih baik kuputuskan untuk tetap di rumah dan membereskan pekerjaan yang mebuat kepalaku kacau seperti ini.
***
Lima detik lagi jarum jam menunjukkan angka pukul 07.00. “Bapak, Bapak! Stop, tunggu bapak jangan ditutup dulu! Saya mau masuk,” dengan suara yang tergesa-gesa, tangan Kak Shima menahan pagar agar tidak tertutup rapat.
Pak satpam penjaga gerbang sekolah lantas membuka gerbang dan bertanya, “Adek ini sekolah di sini? Kok tidak pakai seragam?”
“Tidak apa, Pak. Saya masuk dulu,” sahut Kak Shima dengan acuh terhadap pertanyaan satpam tadi. Lantas ia segera masuk menuju kelasnya.
Di depan kelas rupanya seorang guru telah berdiri dengan memandangi Kak Shima dari kejauhan. Tidak lain lagi beliau adalah Pak Santrani, guru pengajar di sekolah Kak Shima. Langkah Kak Shima yang awalnya berderap sangat semangat, perlahan berubah menjadi langkah penuh keraguan. Hatinya bergemuruh merasa takut bila tidak diperbolehkan masuk karena tidak mengenakan seragam. Pak Santrani kemudian melangkah mendekati Kak Shima. Hatinya semakin tak menentu, buru-buru berpikir akan menjawab apa setelah nanti ditanya oleh Pak Santrani. Pak Santrani memang dikenal sebagai guru yang lumayan disiplin dan tegas di sekolah Kak Shima.
“Shima ini waktunya sudah mepet sekali, dan kamu baru datang, untung tidak telat.” Pak Santrani mulai menegur Kak Shima dengan nada sedikit tegas.
“Maaf, Pak! Tadi saya masih mencari kaos kaki saya yang hilang.” wajah Kak Shima terlihat sangat ketakutan, ia tidak bisa memalingkan wajahnya dari pandangan menunduk. Tangannya gemetaran dan berpeluh.
“Shima, Shima. Kamu ini sudah SMP, masa menjaga kaos kaki saja tidak bisa. Seragam juga tidak dipakai. Anak PAUD saja punya seragam sekolah. Kamu kira di sini tempat main?” Pak Santrani kembali mengeluarkan perkataan pedasnya.
Kak Shima semakin emosional, dia menangis sambil menjawab. “Maaf Pak, baju seragam saya baru dicuci tadi malam, ditambah lagi terkena hujan jadi tidak sempat kering.”
Kring kring. Bunyi bel masuk kelas sudah terdengar. Murid-murid lain yang tadinya sebagian memandangi kejadian antara Kak Shima dan Pak Santrani bergegas masuk ke dalam kelas.
“Ya sudah, kali ini kamu bapak maafkan. Tapi ingat, jangan diulangi lagi.” dengan mengontrol emosi, Pak Santrani memilih untuk memaafkan Kak Shima. “Sekarang cepat masuk, ujian sudah akan dimulai!”
***
Saat di dapur, aku melihat ada dua piring di atas meja. Aku baru ingat kami tak sempat memakan nasi yang Ibu siapkan untuk kami. Ketika aku menghampiri nasi itu, aku berharap Ibu memasak nasi goreng kesukaanku. Namun, yang kulihat bukanlah nasi goreng, melainkan dua piring nasi jagung tanpa lauk. Dalam hati aku hanya bisa menghela nafas, bersyukur setidaknya hari ini Tuhan masih memberi kami makan untuk bertahan hidup.
Cacing-cacing di perutku sebenarnya sudah berteriak dari tadi. “Lebih baik aku makan dulu, baru kulanjutkan pekerjaanku,” pikirku sambil menyuap segumpal nasi jagung itu. Seketika aku langsung teringat Ayah. Ayah yang biasanya paling bahagia jika Ibu menyiapkan nasi jagung. Di mana dia saat ini aku pun tak tahu. Yang kutahu dia memang sedang di luar kota untuk bekerja. Tapi sudah setahun ini dia tidak memberi kabar pada kami. Rindu, rindu menyesak dalam dadaku. Seandainya Ibu dan Ayahku tidak sibuk di luar, aku dan Kak Shima pasti akan sangat bahagia, tidak kesepian.
Kreek, kreek. Suara itu seperti bunyi kayu yang sudah lapuk. Namun, aku tidak tahu dari mana asalnya. Tidak lama kemudian sebatang kayu jatuh dari atas. Aku sangat terkejut. Ternyata salah satu penyangga atap rumahku sudah rusak dan mirisnya seperti akan roboh. Bergegas aku meminta bantuan Mak Yus di rumahnya, “Mak Yus, Mak, buka pintunya, rumah Ratih mau roboh.” Astaga, hampir sepuluh menit aku mendobarak-dobrak pintunya, tetap saja tidak ada yang keluar. Aku merasa ketakutan, bagaimana kalu rumahku nanti benar-benar roboh.
“Ratih ngapain kamu di rumah Amak?” dengan menenteng tas belanja dari pasar Mak Yus akhirnya datang juga.
“Amak, rumah Ratih mau roboh! Bantu Ratih, Amak,” ujarku dengan tersedu-sedu.
“Roboh bagaimana?” Mak Yus kaget dan langsung pergi melihat keadaan rumahku. Setelah melihat kayu yang tersungkur di atas lantai dengan penuh kotoran yang jatuh dari atas atap, Mak Yus merasa prihatin, dia bilang kalau lebih baik aku di rumahnya saja dulu untuk sementara. Apa boleh buat, menurutku itu ide yang cukup baik. Namun, bagaimana setelah ibu mengetahuinya nanti.
“Ratih, Ratih! Ayo main,” suara melengking terdengar dari depan rumah memanggil namaku. Aku lekas keluar dari rumah Mak Yus untuk melihatnya. Tidak salah lagi, itu adalah Nabil, temanku.
“Hey, kemari, aku di sini,” teriakku dari rumah Mak Yus. “Kok kamu di rumah Nenek Yus? Ini kan rumah nenekku?” Nabil bertanya. Nabil adalah cucu dari saudara Mak Yus.
“Rumahku mau roboh, jadi tadi Amak mengajakku di sini untuk sementara agar tidak terkena robohan kayu.”
”Rumahmu mau roboh? Astaga, kasihan sekali. Lebih baik kamu di rumahku saja. Kita bisa main bersama tiap hari, kan’?” dengan polos dia mengajakku.
Setelah berbincang agak lama, kami akhirnya bermain di rumah Nabil. Aku berjalan dengan sangat susah. Itu karena aku harus menutupi sebagian tubuhku yang kelihatan. Hal itu karena bajuku sudah sangat sobek hingga ke atas lututku. Keadaannya pun sudah tak elok lagi untuk dipandang. Namun, aku tetap semangat bermain dengan temanku. Saat tiba di rumah Nabil, terkadang aku merasa iri, Nabil mempunyai orang tua yang sangat perhatian, mainannya juga sangat banyak, dan bajunya juga cantik-cantik. Berbeda denganku, bajuku sudah lusuh, kusam, bahkan tak layak pakai.
“Bajumu tidak ada lagi Ratih?” tanya seorang perempuan dewasa kepadaku, yang tak lain adalah Ibu Nabil. Melihat pandangannya kepadaku aku merasa dia sangat cengang. Tapi aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya.
“Ada tante, tapi masih dicuci,” kujawab saja begitu.
Ibu Nabil kemudian masuk ke dalam rumahnya. Setelah keluar dia membawa sesuatu di tangannya dan memberikannya padaku. “Ini, pakai baju Nabil. Ini sudah tidak terpakai, lebih baik kamu ganti baju dulu agar nyaman mainnya.”
Sungguh aku sangat bahagia, bajunya masih sangat cantik dan bagus. “Makasih Tante, Ratih akan pakai,” sahutku dengan senang sembari berjingkrak pulang ke rumah.
Buru-buru aku tak sabar untuk cepat sampai ke rumah. Di depan rumah ternyata Kak Shima sedang berdiri. Aku jadi semakin tak sabar untuk memberitahunya bahwa aku mendapat baju. Namun, setelah kulihat betul, ada yang aneh dari wajah kakak. Sepertinya dia sedang menangis. Saat kuhampiri dan kutanya apa yang terjadi, dia hanya tetap menangis dan tidak menjawab. Tangannya tiba-tiba mengisyaratkan padaku untuk melihatnya sendiri ke dalam rumah. Sebelum aku masuk, memang mendengar kebisingan dan itu sepertinya suara ayah dan Ibu.
“Apa jangan-jangan Ayah sudah datang? Bagus dong kalau Ayah datang, tapi kenapa Kak Shima malah menangis?” ujarku dalam hati. Untuk memastikannya aku perlahan masuk dan mengintip, sebenarnya apa yang terjadi di dalam.
“Selama ini kamu kemana saja? Satu tahun kamu tidak pernah pulang,” suara lantang dari ibuku menggema membuat suasana sangat kacau.
Ayahku juga tidak mau kalah. Ia juga menjawab lantang pertanyaan Ibu, “Bukankah kamu tahu aku ini mencari uang untuk keluarga kita. Kamu kira ini hal mudah apa?”
“Uang? Kerja? Hasilnya saja kamu bahkan tidak pernah kirim sepeser uangpun selama setahun ini untuk aku dan anakmu. Dan sekarang kamu pulang juga dengan tangan kosong. Kerja apa yang kamu maksud ha?” emosi Ibuku semakin meledak. Bahkan, di akhir pertengkaran mereka sempat melontarkan kata cerai.
Aku benar-benar shock saat itu, air mataku mengalir deras. Kalau orang tuaku benar-benar akan berpisah, bagaimana nasibku dan juga kakakku? Harusnya aku memeluk Ayah, mencium, mengobati kerinduanku selama ini saat Ayah pulang. Tapi mengapa masalah semakin banyak menghampiri kehidupan kami.
Dia keluar dari rumah lantas pergi. Aku memegangi tangannya dengan erat, memintanya untuk tetap bersama kami. Namun, dia hendak melepaskan pegangan itu. Berlalu dia pergi tanpa menghiraukanku dan kakakku.
Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Mengapa begitu banyak masalah yang harus kami terima. Setelah sekian lama aku mengharapkan kehadiran Ayah dan perhatian Ibu, mengapa justru sekarang mereka harus berpisah meninggalkan kami. Baju yang tadinya ingin segera kupakai, tidak terasa sudah terjatuh dari genggamanku. Sontak aku langsung memeluk Kak Shima. Kami saling memeluk erat sambil menangis sejadi-jadinya.
“Ya Allah, kenapa kalian malah menangis di luar. Ayo masuk, malu dengan tetangga. Sebenarnya ada apa ini?” Mak Yus tiba-tiba berlari menghampiri kami dan bertanya. Bibirku terasa sulit untuk menjawab pertanyaannya. Aku hanya tetap menangis. Mak Yus mencoba menenangkan kami berulang-ulang, namun sulit rasanya untuk berhasil.
“Kurang ajar! Dia kira aku tidak tahu dengan kelakuannya. Dia kira dia siapa, bermain wanita di belakang dan mengelak padaku dengan alasan bekerja. Aku tidak sebodoh itu!” Kegaduhan dari dalam rumah semakin terdengar. Bahkan sempat terdengar pula pecahan-pecahan piring di lantai. Mak Yus bergegas menghampiri Ibuku. Dia menahan amarah Ibuku, namun usahanya tidak berhasil.
“Istighfar Dwi, istighfar. Jangan sampai kamu termakan dengan emosimu,” Mak Yus mencoba merayu Ibuku sambil menahan tubuhnya untuk berhenti melemparkan barang-barang.
“Dia laki-laki biadab, sekarang dia minta kami bercerai. Seharusnya aku yang marah bukan dia,” emosi Ibuku sudah tidak bisa terbendung lagi, hingga akhirnya dia jatuh pingsan.
Aku dan Kak Shima buru-buru menghampiri Ibu sambil menangis, “Ibu, Ibu kenapa? Bangun, Ibu!”
Setelah beberapa menit kemudian, Mak Yus memanggil bantuan warga untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Di rumah sakit, aku sempat mengintip pembicaraan Mak Yus dengan dokter. Dokter bilang bahwa Ibuku terserang penyakit jantung, dan mengalami stroke ringan hingga tak bisa bangun dari tempat tidur. Mendengar semua itu, aku semakin terpukul. Masalah menjadi sangat banyak, belum lagi sekarang aku harus memikirkan tentang biaya rumah sakit Ibu.
“Ratih, Shima, kalian yang sabar, ya. Amak yakin Allah memberi ujian pada kalian karena sebenarnya Allah sayang. Jadi kalian tidak perlu khawatir.” Mak Yus berpesan sembari menenangkan hatiku dan Kak Shima.
“Tapi bagaimana dengan biaya perawatan Ibu, Mak? Kami sudah tidak punya apa-apa lagi,” sahutku dengan sedih dan bimbang.
“Untuk hal itu, Amak juga sedang mencari bantuan, Amak hanya bisa memberi kalian ini, amak juga tidak punya uang lagi. Maafkan Amak ya,” kata Mak Yus sembari menjulurkan sebuah gelang emas. Mak Yus juga meneteskan air mata. Ia lalu beranjak pamit, banyak yang harus dia kerjakan. Aku dan Kak Shima juga tidak bisa menahannya untuk bersama kami. Karena memang dia hanya sebatas tetangga kami.
Setelah Mak Yus pergi, aku dan Kak Shima berembuk tentang keadaan yang harus kami hadapi. Kami berpikir cara untuk mendapatkan tambahan uang untuk biaya perawatan Ibu, namun dengan sikapnya yang polos Kak Shima belum bisa menangani permasalahan itu. Oleh karena itu, aku putuskan untuk menangani sendiri masalah uang, sedangkan Kak Shima aku tugaskan untuk menjaga Ibu di rumah sakit. Kak Shima memang kakakku, tapi aku tahu dia masih sangat lugu dan bisa jadi lebih kekanak-kanakan dibanding aku.
“Untuk hari ini, kakak di sini dulu temani Ibu, aku akan pergi keluar untuk mencari bantuan,” ujarku kepada kakak. Aku langsung bergegas pergi sambil memikirkan apa yang harus kulakukan untuk mendapat uang.
Di tengah perjalanan, aku melihat seorang pengemis. Aku sempat berpikir untuk menjadi seperti pengemis itu, namun hatiku merasa sangat berat. Menurutku, menjadi seorang peminta-minta itu bukan pekerjaan yang patut dilakukan. Badanku masih sehat, aku masih sanggup melakukan pekerjaan lain tanpa meminta kepada orang lain, jadi mengapa aku harus mengemis. Akhirnya kuurungkan niatku untuk mengemis, dan kembali berjalan sambil berpikir pekerjaan lainnya.
Kakiku sangat lelah, sudah cukup lama aku berjalan tanpa henti. Perutku juga sangat lapar, lebih baik aku duduk sebentar saja dulu, kataku dalam hati. Dengan memegang perut ini aku berharap bisa menahan lapar. Saat aku mencoba untuk berbaring sejenak, tiba-tiba aku melihat orang kaya yang mebuang sisa makanannya ke tong sampah. Bergegas aku ambil makanan itu kembali. Isinya juga masih sangat banyak dan sepertinya masih layak makan. “Mereka punya banyak rezeki dari Tuhan tapi malah dibuang semena-mena,” aku berkata dengan sangat heran. Mereka tidak berpikir, seharusnya mereka merasa beruntung dan bersyukur bisa hidup layak, sementara di luar sana masih banyak orang yang kesusahan mencari makan, seperti halnya aku saat ini. Langsung saja kulahap makanan tadi, akhirnya perutku merasa lebih baik.
Beberapa menit kemudian, aku melihat lagi orang membuang sesuatu sembarangan. Kali ini yang dibuang adalah sisa botol air minum. Aku berpikir, daripada menjadi sampah dan merusak lingkungan kenapa tidak aku ambil saja botol-botol itu, lalu aku kumpulkan kepada pengepul. Lumayan bisa memberiku sedikit uang. Akhirnya otakku mulai cair, dan memutuskan untuk mencari kaleng-kaleng dan barang tak terpakai lainnya.
Hari sudah mulai petang, karung di tanganku sudah lumayan terisi banyak. Aku memutuskan untuk menyudahi pekerjaan hari ini, dan memberikan kaleng-kaleng ini kepada pengepul.
“Assalamualaikum, Pak! Boleh saya menukar kaleng-kaleng ini dengan uang?” Aku bertanya kepada seorang pengepul.
“Oh, boleh-boleh, Nak. Mari saya timbang dulu. Wah, ini lumayan sekitar 3kg. Ini uangnya,” Pak pengepul itu memberikan uang sekitar Rp.100.000,00. Alhamdulillah, akhirnya usahaku tidak sia-sia. Tiba-tiba aku ingat dengan gelang yang diberikan Mak Yus tadi. Buru-buru aku menjualnya ke toko perhiasan dan uangnya aku gabungkan dengan hasil kerjaku saat ini. Setelah itu aku langsung bergegas ke rumah sakit, tidak sabar untuk cepat-cepat membayar biaya rumah sakit Ibu.
“Suster saya mau bayar uang rumah sakit Ibu saya, ini uangnya,” dengan polos aku memberikan uang dari tanganku kepada seorang yang ada di bangku administrasi itu.
“Iya Adek, dengan pasien bernama siapa ya?” tanya orang itu.
“Ibu Dwi, Dwi Hartatik.”
”Baik sebentar saya cek dulu ya. Maaf Adek, biayanya baru terbayar lima ratus ribu rupiah. Tapi tidak apa-apa, untuk kekurangannya bisa dicicil.”
Aku terkejut, ternyata uangku belum cukup untuk melunasinya. “Memangnya kekurangannya berapa?” tanyaku.
“Sekitar lima juta, dek,” mendengar ucapan suster itu aku semakin terkejut, ternyata masih banyak uang yang harus kubayar lagi.
Di kamar perawatan Ibuku, Kak Shima membujuk Ibu untuk makan. Namun, nampaknya Ibu sangat kesulitan untuk menerima suapan dari Kak Shima. Itu karena keadaannya yang tidak stabil lagi. Melihat keadaan itu aku merasa sangat sedih, ditambah lagi tiba-tiba ayah datang mengantarkan surat pengadilan perceraian kepada Ibu. Aku membujuk Ayah untuk membatalkan keputusannya menceraikan Ibu, namun Ayah tetap saja tak menghiraukannya.
Keesokan harinya aku kembali memulung demi mendapatkan uang biaya perawatan Ibu dan juga sebagai pemenuhan kebutuhanku dan Kak Shima untuk bertahan hidup. Aku tidak boleh mengeluh, dan harus semangat. Kalau kita berusaha dengan bersungguh-sungguh Allah pasti akan memberikan jalan yang terbaik untuk kita.
Ketika hendak memulung kaleng di jalan, aku melihat seorang nenek yang ingin menyebrang. Ketika kuperhatikan sepertinya nenek itu tunanetra, oleh karena itu kubantu saja dia untuk menyebrang. Tak disangka-sangka seorang pria dewasa menghampiriku dan berkata “Makasih ya nak, sudah membantu Ibu saya. Tadi saya sangat panik mencari Ibu saya yang hilang saat saya tinggal sebentar mencari minum. Ternyata dia di sini bersama kamu.”
Ternyata, Nenek itu adalah Ibu dari Bapak ini, kelihatannya Bapak ini sangat kaya dan baik. Kami lalu saling berbagi cerita hidup kami yang saling bertentangan. Rupanya Bapak ini sudah menikah selama lima tahun, namun belum dikaruniai seorang anak. Kasihan sekali nasibnya, sementara aku yang mempunyai Ayah ditinggal begitu saja. Setelah lama berbincang Bapak dan Nenek tua itu akhirnya pulang, aku pun juga bergegas untuk kembali ke rumah sakit.
Keesokan harinya saat hendak menyicil biaya rumah sakit, aku dibuat terkejut kembali. Kali ini, aku menerima informasi bahwa biaya rumah sakit Ibu telah dibayar lunas oleh seseorang. Penjaga administrasi itu berkata bahwa ada seorang Bapak yang membayarkannya, namanya Pak Hermawan. Setelah mengingat kembali, ternyata Pak Hermawan itu adalah Bapak yang aku temui kemarin di jalan. Subhanallah ternyata masih banyak orang baik di dunia ini. Aku sangat senang akhirnya tanggunagan rumah sakit sudah lunas semua.
Setelah aku kembali ke kamar Ibu, nampak seseorang berdiri di samping kasur ibu, ia tak lain adalah Pak Hermawan. Ternyata kedatangannya kemari tidak lain adalah untuk memintaku menjadi anak angkatnya. Aku sangat terkejut sekaligus senang mendapatkan ayah angkat sebaik Pak Hermawan. Sejak itulah, kehidupanku kemudian berubah, aku mendapat perhatian orang tua yang sesungguhnya dari orang tua angkatku, bahkan kini aku sudah mendapat pendidikan yang layak. Tidak hanya itu, biaya hidup Ibu dan Kakakku juga dibantu oleh pak Hermawan.
Itulah akhir ceritaku yang mengharukan, memang betul bahwa tidak ada usaha yang menghianati hasil. Kalau kita sabar dan ingin berusaha, Tuhan pasti akan berikan jalan yang terbaik.