Rekomendasi lagu; Kukira Kau Rumah, Amigdala.
Namaku Renjana. Aku biasa dipanggil Jana, tetapi Ibu selalu memanggilku dengan panggilan Ren. Kata Ibu, supaya berbeda dengan yang lainnya. Ibu memberikanku nama Renjana sebab kala itu rasa rindu beliau yang menggebu–gebu akan kehadiran Ayahku. Ayah—kemana dia? Ayah meninggalkan Ibu sewaktu aku masih dikandung Ibu. Ayah pergi bersama wanita yang ia cintai sejak masa sekolah menengah atas. Aku terluka ketika mengetahui fakta bahwa Ayah tak pernah mencintai Ibu, dan pernikahan mereka adalah hasil dari perjodohan. Aku kesal, amat kesal ketika mendengar cerita yang sesungguhnya saat usiaku sudah menginjak 17 tahun, hingga aku bertemu dengan seorang laki–laki yang kukira mampu membuatku sembuh dari rasa benciku selama bertahun–tahun. Dan, inilah ceritaku.
“Jana, Jana. Gawat!”
Sayup–sayup aku mendengar namaku dipanggil dengan nada kepanikan oleh gadis berkaca mata dengan rambut ikalnya yang sebahu, namanya adalah Mutia, biasa dipanggil Mumut. Anak teladan, kebanggaan para guru, dan manusia kutu buku. Dia adalah temanku sejak pertama kali menginjakkan kaki di SMA-ku ini.
“Kenapa, Mut?”
“Kamu—dipanggil Bu Diah ke ruangnya sekarang. Kamu ada buat masalah, kah?”
“Aku buat masalah?”
Mutia mengangguk dengan gerakan cepat dan menatapku dengan polos, aku merasa tak ada membuat salah apapun kepada Bu Diah dan hal ini lantas membuatku semakin kebingungan. Aku berjalan cepat melewati tiap–tiap koridor sekolah, hingga kakiku berhenti di depan salah satu ruangan, ruang kesiswaan. Ruang yang konon menjadi ruang yang menyeramkan di sekolah, penuh dengan anak–anak yang bermasalah dan dipanggil, hingga anak–anak yang terancam dikeluarkan dari sekolah.
Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan, berusaha untuk menetralkan dadaku yang mulai gemuruh, tenggorokanku yang kering dan membasahinya segera dengan salivaku. Lalu mengetuk ruang tersebut dan membukanya seraya mengucapkan salam.
“Assalammualaikum. Ibu memanggil saya kah?”
Bu Diah perlahan tersenyum kecil dan mengangguk kemudian mempersilakanku untuk masuk dan duduk di kursi yang telah disediakan tepat dihadapannya. Aku pun segera duduk di kursi yang biasa anak–anak sebut sebagai kursi panas, aku pun bingung mengapa kursi saja bisa dinamakan oleh mereka.
“Ibu telah melihat nilai–nilai kamu sejauh ini. Dan, jujur saya merasa kamu adalah orang yang pantas.”
“Pantas? Maksudnya, Bu?”
“Mengikuti olimpiade. Olimpiade mata pelajaran Ekonomi, bisa kan? Ibu sudah melihat rekap nilai kamu, prestasi kamu, bagaimana keaktifanmu di kelas. Hal ini bukan semata–mata pilihan saya, ini juga merupakan rekomendasi dari guru ekonomi kamu, dan juga teman kamu, Mutia.”
Sialan, Mutia.
Aku hanya menahan senyum dan merasa kegugupanku semakin bertambah karena menjadi orang pilihan untuk mengikuti olimpiade ini. Bu Diah menarik tanganku yang terkepal kemudian mengelus punggung tanganku dengan pelan sambil tersenyum, sebuah senyum tulus yang belum pernah terlihat dengan mataku selama dua tahun bersekolah.
“Saya mohon, kamu mau kan? Hanya kamu yang bisa saya andalkan, saya percaya untuk mengikuti olimpiade ini, Jana.” Aku menghela napas sejenak, “Namun bagaimana jikalau saya gagal, Bu?” tanyaku. Bu Diah menggeleng dengan senyum yang masih setia menempel dibibirnya. “Ibu yakin kamu bisa.”
Hari ini adalah hari dimana olimpiade berlangsung, aku sudah berlatih lebih kurang dua minggu dan tadi pagi aku sudah berangkat. Aku ditemani oleh guru pembimbingku, Pak Surya. Aku menahan degup jantung yang sedari tadi bergerak dengan ritme yang tak biasa, aku sangat gugup. Kami diarahkan untuk masuk ke dalam ruangan setelah melakukan registrasi. Di sana sudah ada banyak kursi dan meja. Aku mengambil tempat duduk sesuai dengan nomor urut pendaftaran. Kemudian, banyak peserta yang datang dan menduduki kursinya masing–masing. Seketika netraku bertemu dengan netra seorang laki–laki beperawakan tinggi, dan rambutnya acak–acakan, matanya teduh menatapku kemudian ia mengalihkan tatapannya dan duduk di kursinya.
Soal mulai dibagikan dan kami diperintahkan mengerjakan soal olimpiade Ekonomi yang terdiri dari 100 butir soal, 90 pilihan ganda dan 10 essay dalam waktu 120 menit atau setara dengan 2 jam. Aku mulai mengerjakan soal dari yang termudah dahulu hingga ke skala yang rumit. Aku berusaha menenangkan diri dan pikiranku untuk tetap tenang mengerjakan soal.
Aku berhasil menyelesaikan keseluruhan soal di waktu tepat 120 menit. Namun, saat ingin berjalan untuk mengumpulkan, lembar jawabanku terjatuh di dekat sepatu seseorang. Buru–buru aku mengambil lalu segera mengumpulkannya. Aku menghembuskan napas lega kemudian berjalan meninggalkan kursi menuju tempat dimana Pak Surya menungguku.
“Nomor 100 tadi jawabannya bukan rugi, tetapi laba.”
Aku terkejut dan menoleh kebelakang. Benar saja, lelaki yang tadi menatapku berbicara kepadaku. “Kamu lihat jawabanku?” tanyaku kepada lelaki tersebut. Ia tersenyum. “Lembar jawabanmu tadi di dekat kaki saya, saya tak sengaja melihat jawabanmu di nomor terakhir, kamu menjawabnya rugi.” ucapnya. Aku mengernyit bingung kemudian dia menunjukkan kertas coret–coretnya dan menunjukkan caranya kepadaku.
“Astaga, berarti aku salah. Ah, ceroboh sekali!”
Lelaki itu kembali tersenyum sambil berkata bahwa tak masalah untuk salah, yang penting aku sudah mencoba dan berusaha katanya. Aku pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu, kemudian kami berjalan keluar dari ruangan sambil berbincang.
“Saya Abyan.”
“Renjana.”
Abyan tersenyum dan mengangguk setelah berkenalan kepadaku, kemudian kami lanjut berbincang seraya makan siang bersama Pak Surya di dekat lokasi olimpiade berlangsung. Kemudian, Pak Surya ditelepon oleh pihak panitia untuk segera kembali karena pengumuman juara akan segera diumumkan. Jantungku berdegup saat namaku dipanggil menjadi juara 2. Tak masalah, ini adalah awal, bukan berarti aku harus menyerah. Tentu saja, lelaki itu yang menduduki juara 1, Abyan.
“Selamat ya?” ucapku kepadanya.
“Terima kasih, Jan. Kamu juga, selamat, ya. Hebat.” katanya.
Aku tersenyum dan mengangguk, sesaat sebelum pulang ia meminta nomor telepon yang sekiranya bisa dihubungi. Aku memberikan nomor teleponku kepadanya kemudian berpamitan pulang. “Jana, saya pamit. Kamu menyenangkan, membuatku ingin mengutuk waktu yang terlalu singkat ini. Terima kasih ya, sudah memberikanku banyak pelajaran singkat. Salam kenal, sampai bertemu kembali, ya.”
Setibanya di rumah, aku melihat Ibu yang sedang tertidur di sofa ruang televisi. Aku mengelus rambut Ibu dengan pelan.
“Ibu, aku juara.” Bisikku.
Ibu terbangun dan menatapku dengan sayu kemudian ia tersenyum dan bangun dari tidurnya. “Kamu baru pulang?” tanya Ibu. Aku mengangguk dan memperlihatkan piala dan sertifikatku kepada Ibu.
Ibu menangis terharu dan mendekapku ke pelukannya. “Ibu bangga, bangga sekali sama kamu, Ren. Terima kasih ya, nak. Meskipun kondisi keluarga kita sulit dan kamu hanya dibesarkan dengan Ibu sendiri, tapi kamu berhasil membuat Ibu bangga. Kamu sudah seharusnya mendapatkan ini semua, mendapatkan kebahagiaan dan menjadi anak yang sukses. Ibu bangga sekali.”
Aku menangis sambil memeluk ibu, berharap Ayah ada di sini, bersama kami mengusap tangis dan memberikanku selamat serta pelukan hangat. Tujuh belas tahunku sangat suram, aku tidak memiliki seseorang yang bisa kupanggil Ayah, seseorang yang kupikir adalah cinta pertama setiap anak perempuan, tapi ternyata tidak berlaku untukku.
Hari demi hari bahkan bulan demi bulan telah berlalu dan kini aku sudah duduk di kelas tiga SMA, aku pun berjalan menuju toko buku bekas langgananku. Aku ingin mencari bahan bacaan untuk tugas sejarah. Lelaki itu, si juara satu ia tak pernah menghubungiku setelah olimpiade. Setelah hari dimana ia dan diriku diumumkan menjadi juara, kami berbincang perihal kehidupan. Aku ingat sekali ia berkata begini kepadaku saat aku bertanya kepada dirinya.
“Menurutmu wajarkah jika kita membenci?”
Abyan menatapku dan tersenyum. “Jana, jangan menjadi pembenci, karena selamanya menjadi seorang pembenci itu tidak mengenakkan dan membebani perasaan. Maafkan dan lupakan. Hidup tak akan baik–baik saja jika dihabiskan hanya untuk membenci seseorang yang telah menyakiti. Biarkan mereka pergi dengan sendirinya. Kita harus bangkit dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu menjadi versi terbaik dari diri kita hingga akhirnya rasa benci akan tergantikan dengan rasa ikhlas dan menerima.”
Aku ingat sekali kata demi kata yang terucap dari bibir lelaki itu. Mataku berkaca–kaca mengingat perkataannya yang seketika mengingatkanku pula kepada Ayah, yang entah dimana keberadaannya sekarang. Begitu pula dengan Abyan, yang hilang begitu saja tak pernah terlihat dan bahkan menghubungiku.
Abyan; hadirmu sungguh singkat namun begitu membekas di ingatanku, terima kasih atas hadirmu, terima kasih karena aku pernah mengira kau adalah sosok yang bisa menjadi rumah untukku. Sosok yang bisa menjadi penyemangat dan pelipur dari segala gundah dan gulana.
Kau yang singgah tapi tak sungguh.
Mungkin, kita tak harusnya menggantungkan diri dengan harapan atau dengan ekspektasi, karena hal itu hanya menyakiti hati saja. Sudah seharusnya untuk mengurus dan menyelamatkan diri sendiri. Seharusnya begitu.