Bara nyaris tidak pernah mengingat mimpi-mimpi yang menghiasi tidurnya tiap malam. Namun, yang selalu terbayang tiap dia hendak bangun adalah desau angin yang menentramkan, bau asin dari laut, dan sebuah usapan tangan di kepala yang tidak ia kenal tapi sangat ia rindukan.
“Pak, kata Bu Ana, Bara harus belajar lagi soal hitung-hitungan. Nilai Matematika Bara semester kemarin jelek, Pak.”
Suara polos dari anak laki-laki bercelana merah pendek itu memecahkan keheningan. Sementara lampu 5 watt di langit-langit berkedap-kedip mengeluarkan suara statis yang tidak enak didengar. Mengisi hening yang sepertinya tidak berniat diusir oleh sesosok pria paruh baya di pojokan–yang sejak tadi sibuk membenarkan jala tanpa memberikan atensinya sedikitpun pada sang anak.
“Pak, Bapak nggak bisa bantuin Bara belajar ya?”
Anak laki-laki itu kembali mencoba, menggenggam ujung celana pendeknya seolah hal itu memberikannya keberanian untuk kembali bertanya pada sang Bapak. Tapi lagi-lagi, hanya diam yang ia dapat.
Hingga menit-menit kosong berlalu, akhirnya Bara mendengar suara ayahnya yang berat dan dalam. “Bapak mau melaut, belajar sendiri saja, ya.” Orang tua tunggal dari anak laki-laki itu beranjak dari duduknya, melangkahkan kaki di atas kayu rapuh yang menjadi lantai rumah panggung reyot itu. Pergi keluar membawa jala, dan meninggalkan Bara dengan hati setengah sesak menatap punggung bapaknya.
Anak laki-laki yang baru saja naik kelas dua sekolah dasar itu terdiam menatap langit-langit. Menahan sesak yang selalu datang tiap kali dirinya memulai obrolan dengan sang Bapak. Dulu Bapak tidak seperti ini, tapi sejak Mak Ayuk–tetangga mereka–datang tergopoh-gopoh sebulan lalu, dan Bapak pergi entah kemana seharian itu, perlakuan beginilah yang ia dapat. Tidak ada lagi senyum hangat Bapak yang membangunkannya tiap pagi, tidak ada lagi sesi mandi di laut tiap sore, dan tidak ada lagi cerita-cerita bapak tentang ibu Bara yang saat ini sedang mencari nafkah di luar negeri. Tidak ada lagi, selain kekosongan yang mengisi rumah panggung kecil di pinggiran pesisir ini.
***
“Bara! Kamu udah ngerjain PR dari Bu Ana?” Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang menyamakan langkah riangnya dengan Bara. Sedang yang ditanya hanya mengangguk dengan lesu, tidak membalas senyum temannya yang kini berganti tatapan heran.
“Hei, kenapa? Bapak kamu nggak bales omongan kamu lagi?” Gadis kecil itu, Nana, menyenggol bahu Bara pelan. Berharap temannya mau mengangkat wajah dan menjawab. Namun Bara malas menjawab hal yang sudah pasti. Ya, Nana sudah tahu banyak tentangnya. Mereka berdua memang kawan baik, terlebih karena ibu mereka sama-sama menjadi TKI dan keduanya hanya hidup dengan bapak mereka. Bara masih penasaran sampai saat ini, kenapa semua orang miskin di kampungnya menganggap bahwa menjadi TKI dapat menyelesaikan masalah keuangan mereka? Dia sampai pusing memikirkan jawabannya saat pertama kali tahu hal itu. Namun sayangnya, Bara masih terlalu kecil untuk mengerti.
“Bara! Oi, Bara!”
Teriakan yang tepat di telinga itu membuatnya terlonjak kaget. “Suara kamu cepreng banget, tau!” Dia akhirnya membuka mulut, meski hanya kata-kata kesal yang keluar. Nana justru malah tertawa, “kamu udah dapet surat bulan ini?” Bara mengangkat wajah dan tertegun. Surat? Benar juga! Harusnya tanggal segini surat dari ibunya sudah datang. Raut wajah Bara seketika berubah cerah.
“Nana, makasih ya!”
***
Bara memeluk buku pelajaran hari ini erat-erat dalam perjalan pulang menuju rumah. Dia memang tidak pernah membawa tas, dan tidak pernah punya. Tidak seperti Nana yang selalu mendapat kiriman tas, sepatu, atau baju baru dari ibunya. Tapi Bara tidak peduli itu, surat-surat ibunya sudah lebih dari cukup. Begitu menaiki tangga rumah panggung, dia membuka pintu dan menyapa bapaknya dengan riang, lupa kalau biasanya sapaan itu hanya dibalas tolehan wajah atau tatapan datar.
“Pak, surat dari Ibu mana? Harusnya dateng kemarin ‘kan?”
Bara meletakkan tumpukan buku di atas lantai kayu beralas karpet lusuh, berjalan sedikit cepat menghampiri sang Bapak yang masih harus merapikan jala miliknya setiap pulang melaut.
“Pak, dengerin Bara dong. Surat dari ibu mana?”
Meski diabaikan, anak laki-laki itu berusaha mendapatkan jawaban dari sang Bapak. Semenit hening, sebelum bapaknya mengangkat wajah dan berkata, “Ibu nggak sempet kirim surat.”
Satu kalimat singkat itu menghapus antusiasme Bara seketika, meredupkan keriangan di wajah anak laki-laki yang baru saja pulang sekolah itu. Bara tidak mengerti kenapa dadanya mendadak penuh, jauh lebih sesak dibanding sebelum-sebelumnya. Selama ini dia sudah mencoba diam ketika bapaknya tidak mengatakan apapun, menahan diri tiap kali diabaikan, dan bahkan tidak meminta apapun seperti barang-barang yang diterima Nana. Tapi kenapa sekedar surat saja tidak bisa ia dapatkan?
Bara menatap bapaknya dengan dada bergemuruh, lantas entah darimana keberanian datang, membuatnya berdiri dan berkata pada sang Bapak, “Kenapa sih harus Ibu yang pergi kerja? Kenapa nggak Bapak aja? Toh, Bapak di sini juga nggak bisa jagain Bara, nggak bisa nemenin Bara ngerjain PR, nggak bisa gantiin peran Ibu buat Bara.”
Kali ini, tidak ada alasan bagi sang Bapak untuk tidak menatap anaknya. Bara mendapat perhatian seratus persen dari bapaknya yang tertegun mendengar teriakan protes itu.
“Bara ‘kan nggak minta apa-apa Pak. Kenapa sih Bapak nggak ngomong lagi ke Bara?” Anak laki-laki itu setengah menangis melihat bapaknya yang diam meski menatapnya, tidak mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan dada yang sesak dan bergemuruh, Bara mengusap tangisnya, menatap sekali lagi wajah bapak di hadapannya itu sebelum kemudian berlari keluar, menuruni tangga rumah kayu dan pergi.
Bara masih 8 tahun, dia tidak mengerti kenapa dirinya harus diabaikan oleh bapaknya sendiri.
***
“Bara Gustira dari kelas 10 IPS! Siapa yang nyuruh kamu telat di hari pertama sekolah?”
Sepagi ini, suara lantang dari guru BP sudah terdengar tepat di telinga Bara. Salah sendiri, dia telat setengah jam dari bel masuk, datang dengan santai tanpa merapikan bajunya yang keluar dari celana dan kancing yang tidak terpasang sepenuhnya. Tidak ada lagi Bara yang penurut seperti saat ia kecil. Semua berubah sejak bapaknya hanya diam ketika anak itu memutuskan meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang awalnya hanya ia pendam. Kalau Bapak sudah tidak peduli, tidak ada gunanya lagi dia jadi anak baik ‘bukan?
“Kamu udah telat terus gak dengerin omongan guru ya? Mau saya hukum?!”
Bara mendesah malas mendengar teriakan berisik itu. Tanpa rasa bersalah, remaja tanggung itu membalas perkataan gurunya, “emangnya kalo saya dengerin omongan Ibu, saya gak jadi dihukum gitu?”
Sontak lima orang lainnya yang juga terlambat, menoleh kaget karena ucapan Bara. Dan habislah mereka semua, lari keliling lapangan dua kali lipat dibanding biasanya hanya karena ucapan satu orang.
***
Bara baru bisa masuk kelas ketika jam pelajaran ketiga dimulai. Kebetulan, guru pengajar masih belum masuk kelas. Bara tidak berusaha menunjukkan keramahan ketika ia memasuki kelas yang berisi murid-murid yang juga baru berkenalan satu sama lain. Matanya sudah mengincar bangku di pojokan dan ia melangkah pasti ke sana. Begitu duduk, teriakan lainnya kembali ia dengar.
“Baraaaaa! Kita satu kelas lagi!”
Seorang gadis, yang kali ini dikuncir satu dengan rapi, menghambur ke arahnya dan duduk begitu saja di sebelah Bara. Di badge namanya tertulis, Raina Putri.Bara seketika menepuk dahi, “astaga Na! Seneng sih boleh, tapi ini kuping sakit dengerin kamu teriak.”
Raina, alias Nana temannya sejak kecil, hanya nyengir tanpa menjawab. Dia justru berdiri dan berjalan menuju baris terdepan, mengambil tas miliknya, dan kembali ke bangku di sebelah Bara.
“Na, kita udah gede masa duduk berdua? Udah sana duduk sama temen cewek di depan! Ntar kita malah diketawain!“
Nana pura-pura tidak mendengar ucapan Bara, padahal dalam hatinya dia ingin tertawa melihat Bara terus-terusan membujuknya agar pindah tempat duduk. Gadis itu akhirnya angkat bicara ketika guru memasuki kelas mereka. “Udah ada guru, diem dulu Bara!” Bara berdecak kesal dan memutuskan diam.
“Selamat pagi anak-anak! Karena ini hari pertama kalian masuk kelas. Ibu ingin mengenal tulisan kalian dan kemampuan dasar kalian dalam berbahasa. Kita akan gunakan satu jam pertama membuat puisi dan satu jam berikutnya membaca puisi yang kalian buat.”
Seketika berbagai keluhan keluar dari mulut para siswa. Tapi guru Bahasa Indonesia mereka, yang bahkan belum mengenalkan nama, sudah kembali berkata, “oke anak-anak, silahkan ditulis di kertas kosong. Kalian punya 45 menit, puisi dengan minimal 12 baris, bertema Ibu.”
Raut malas Bara seketika menegang, Nana masih tidak menyadari hal itu dan membagi selembar kertas pada temannya itu. Namun begitu Bara berdecak, gadis itu tersadar, tapi terlambat karena Bara sudah berdiri dan berteriak.
“Kenapa harus soal ibu sih? Mentang-mentang Bu guru ini seorang ibu ya? Jadi pengen dipuji-puji lewat puisi, ‘gitu?”
Seisi kelas menoleh kaget, termasuk guru mereka yang tidak menyangka seorang murid akan berkata begitu padanya. Sementara Nana berusaha menarik lengan Bara agar kembali duduk.
“Kenapa pada heran? Nggak pernah mikir kalo ada orang yang nggak punya ibu? Bahkan untuk sekedar ditulis dalam puisi, dia nggak ingat.”
Bara menarik lengannya dari genggaman Nana, meraih tas usang miliknya dengan kasar, dan pergi keluar diiringi tatapan kaget bercampur bingung dari seisi kelas.
***
“Sialan! Sialan!” Bara menendang-nendang pasir tanpa ampun seolah mereka adalah musuh bebuyutan yang harus ia musnahkan. Meski percuma, pasir-pasir itu tidak bisa meredakan apa yang ada di dalam dada Bara. Bertahun-tahun, Bara hanya ingin sebuah jawaban, kenapa surat-surat itu tidak pernah datang lagi? Kenapa bapaknya terus-menerus diam? Kenapa dirinya seolah hidup tanpa keluarga? Anak kecil yang kini sudah menjadi remaja tanggung itu mati-matian menahan air mata. Dia sudah dewasa, pikirnya. Tidak pantas lagi menangisi hal cengeng begini. Bara lantas hanya berbaring di atas pasir, membiarkan kedua kakinya terkena air laut yang dibawa ombak mendekat. Dan kedua matanya menutup, mencari tentram.
“Bara, tadi sekolah kirim surat peringatan ke rumah kamu.” Suara Nana menbuyarkan konsentrasinya, namun dia tidak merasa terganggu, hanya sedikit mengernyit.
“Percuma, buang-buang kertas aja. Bapak gak bakal peduli.” Bara menjawab dengan nada yang lebih tenang, tanpa marah-marah. Beberapa saat kemudian, tanpa membuka mata, dia bisa merasakan Nana duduk di sebelahnya. “Tadi aku juga ke rumah kamu, kata Bapak kamu, dia pengen bicara sama kamu.”
Bara akhirnya membuka mata, duduk menghadap Nana dan menatapnya serius. “Dia mau bicara apa?” Nana menelan ludah ditatap begitu, tampak tidak begitu yakin. “Katanya, dia mau jawab semua pertanyaan kamu, asal kamu pulang.”
Bara kali ini nyaris melompat agar kembali berdiri, meraih tas miliknya yang ia jadikan bantal, dan menarik lengan Nana. Bara setengah berlari di atas pasir. Dia mencoba untuk tidak senang dengan kabar itu. Tapi sesak di dadanya harus segera dibenahi, tidak peduli seperti apa jawaban Bapak, semua kegelisahan itu harus tuntas!
“Bara! Pelan-pelan!”
Dia sama sekali tidak mendengarkan protes Nana, mereka sudah tiba di perkampungan nelayan, Bara bisa melihat keramaian dari posisinya berlari. “Na? Itu rumah kamu ‘kan?” Langkah mereka terhenti, tepat di depan kerumunan orang yang kemudian menyadari kedatangan dua murid SMA itu. Tanpa disuruh, kerumunan itu membuka, memperlihatkan teras rumah panggung Nana. Seketika lengan yang Bara genggam melemas.
“Ibuk?!”
Bara menoleh dan dia bisa melihat tatapan Nana yang terkejut bercampur senang melihat seorang wanita berusia 40 tahunan sedang berdiri di sebelah bapak Nana. Wanita itu setengah berlari turun dari rumah panggung dan memeluk Nana. Bara tercekat menyadari hal ini; Ibu Nana sudah pulang.
Wanita yang sudah Bara lupa namanya itu mengurai pelukannya dengan Nana, lalu menoleh pada remaja tanggung yang melihatnya dengan tatapan rumit. Dia membaca badge nam di seragam anak itu, Bara Gustira. “Astaga! Kamu anak Bani dan Muara? Sudah sebesar ini? Terima kasih sudah mau menjaga Nana ya.” Ibu Nana tersenyum haru kepadanya, dan Bara tiba-tiba ingin menangis saat itu juga. Tapi apa yang dikatakan Ibu Nana selanjutnya, membuat Bara terkena serangan jantung tiba-tiba.
“Maaf ya, enggak datang ke pemakaman Ibu kamu. Kapan-kapan temenin Bude nyekar ke sana.”
Bara terhenyak, begitu juga seluruh kerumunan di rumah itu. Nana menoleh dan tersadar kalau temannya menjatuhkan air mata tanpa bersuara. Dia juga terkejut namun berusaha meraih bahu kawannya, yang segera ditepis oleh Bara sendiri.
“Maksud Bude, i-ibu saya… sudah meninggal?”
Bara setengah mati mengeluarkan nada suara yang paling stabil. Bertepatan dengan itu, bapaknya baru saja tiba di depan rumah panggung. “Kamu… tidak tahu ‘nak?” Ibu Nana menatapnya setengah simpati, setengah merasa bersalah. Dan Bara merasa seluruh dunianya runtuh. Dia melirik bapaknya penuh kebencian, sebelum berbalik dan lari dari sana.
“Bara! Bara!” Dia terus berlari seolah tuli pada panggilan Nana, maupun bapaknya sendiri. Bara tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia ternyata tidak siap mendengar jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dia ternyata takut mendengar hal ini dari bapaknya sendiri. Tapi semuanya makin mengerikan ketika dirinya justru mendengar hal ini dari orang lain.
Bara berlari menuju jalan yang baru saja dibangun di kampung mereka. Jalan yang sekarang menjadi akses truk-truk besar mengangkut ikan segar tiap pagi. Jalan yang sangat baru. Tapi sebaru apapun, tidak ada yang bisa mencegah sebuah truk menabrak orang yang tiba-tiba berlari mendekat. Tidak bisa meski rem telah ditarik sekuat tenaga. Tidak bisa, jika memang sudah takdirnya.
***
Untuk Bara, anak Bapak satu-satunya.
Kamu tahu ‘nak? Satu kata yang ingin Bapak katakan berulang kali hingga kamu lelah mendengarnya adalah, maaf. Maaf karena Bapak tidak pernah mengatakan kalau Ibumu sudah tiada, maaf karena Bapak tidak menjawab kenapa Ibu tidak pernah mengirim surat lagi. Maaf Bapak tidak pernah membelikan kamu keperluan sekolah. Maaf Bapak mengabaikan kamu. Maaf karena Bapak sudah berbohong.
Bapak sadar kalau Bapak sudah sangat egois ketika memutuskan tidak memberitahukan kematian Ibumu sendiri padamu. Bapak hanya takut akan reaksimu yang masih sangat kecil. Bapak tidak yakin kamu bisa mengatasi kesedihan itu sendiri. Nyatanya, Bapaklah yang tidak bisa mengatasi kesedihan itu. Maaf sudah egois dengan membuatmu tidak mengetahui apa-apa. Bapak janji setelah ini, Bapak akan menceritakan semuanya. Semuanya. Dan kita akan sama-sama menemui Ibu.
Dari Bapakmu yang ingin minta maaf.
Bara meremas kertas itu kuat-kuat. Tetes demi tetes air-matanya turun, membasahi secarik surat yang ditulis Bapak pagi tadi. Ketika surat dari sekolah sampai di rumahnya. Rasa takut dan menyesal menyelimuti Bara. Membuatnya menggigil selagi dirinya duduk bersandar di lorong bercat putih itu. Truk yang nyaris menabraknya itu justru menabrak bapaknya, yang tiba-tiba mendorong Bara menjauh dan memberikan tubuhnya sebagai samsak. Dan 6 jam setelahnya, anak laki-laki yang kini tahu dirinya piatu itu terduduk di luar ruang operasi dengan lampu masih menyala merah, ia kelelahan menangis dalam diam.
Sesaat kemudian Bara dapat merasakan seseorang duduk di sebelahnya dan menatap ke arahnya. Dan dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Nana juga tidak mengatakan apapun. Gadis itu tahu kalau tidak ada kata yang tepat untuk meredakan apa yang ada di dalam dada Bara. Sebagai gantinya, ia menjulurkan tangan dan mengusap kepala teman baiknya itu dengan pelan. Berulang kali, sampai Bara menutup matanya dan mengistirahatkan pikiran.
Bara memang tidak pernah mengingat mimpi-mimpi yang menghiasi tidurnya tiap malam. Tapi tiap kali dia hendak bangun, bersama dengan desau angin yang menentramkan, bau asin dari laut, dia akhirnya mengenali sebuah usapan tangan di kepala yang sangat ia rindukan.
Itu adalah usapan tangan bapaknya.