Lompat ke konten

Di Bangku Kemudi

Illustrator: Karrencia L.

Oleh: Karrencia L*

Dari kaca spion, pantulan lampu kendaraan yang ada di belakangku tampak sedikit samar sore itu. Hari sudah petang, langit mulai mengubah warnanya menjadi gelap, dan hujan turun dengan sangat deras, menciptakan titik-titik air pada setiap bagian mobilku. Penyeka kaca bergerak lumayan cepat, membuat suara deritan yang cukup keras, yang menggerakkanku untuk memasang lagu, guna menyamarkan suara itu. Hari itu, jalanan macet, sama seperti beberapa hari sebelumnya. Pasalnya, jalan utama kota yang biasa menjadi pusat mobilisasi warga ditutup. Ada perbaikan besar-besaran. Aku sendiri kurang ingat pasti apa yang mau dibangun dan mengapa. Lebih tepatnya, aku tidak terlalu peduli. Menurutku perbaikan itu kurang perlu, karena selama bertahun-tahun aku melewati jalan itu setiap pagi dan sore hari, seingatku baik trotoar tempat pejalan kaki berjalan maupun aspal tempat kendaraan melaju itu baik-baik saja. Tidak ada lubang atau kerusakan apapun yang mengganggu. Tapi, apa boleh buat? Pejabat kota sudah menutup jalan dan memasang baliho pemberitahuan yang besar sejak jauh-jauh hari.

Lagu yang mengalun pelan, diiringi suara rintik hujan, ditambah dengan suara penyeka air. Tiga hal ini, untungnya, sedikit memperbaiki suasana hatiku. Aku menoleh keluar kaca sesekali, melihat keadaan sekitar. Ramai. Kedai-kedai kopi di pinggir jalan sudah banyak yang kembali beroperasi. Di depannya, banyak motor yang terparkir. Tampaknya, orang-orang memang sudah melalaikan pandemi dan segala tetek bengeknya. Mungkin karena bosan, mungkin untuk mengubur resah, atau mungkin karena memang tidak lagi kuat menahan kerinduan untuk berkumpul dengan orang tersayang atau teman.

“Kalau jalan ditutup gini, gimana ya kira-kira keadaan karyawan yang kerjanya di daerah situ?” tanya ibuku tiba-tiba, memecah keheningan.

Aku mengedikkan bahu, “terpaksa nggak kerja, mungkin?”

“Kasihan, ya. Sudah pandemi gini, jalan ditutup lagi. Usaha udah sepi, eh terpaksa harus tutup biar nggak rugi. Wong orang nggak ada yang lewat, siapa yang bakal beli?”

“Ya, mau gimana. Lah katanya sudah dimulai pembangunannya,” jawabku, “tapi menurutku, lebih kasihan tukang becak yang biasa mangkal di dekat sana, sama bapak-bapak tukang koran di lampu merah, sih.”

Ibuku mengangguk, setuju. Kemudian kembali hening. Mobil-mobil lain mulai bergerak, sehingga aku kembali memfokuskan diri untuk mengemudikan mobil. Kemudian selang beberapa meter, berhenti lagi. Aku menghembuskan napas berat. Jujur, kejenuhan yang kudapat dari menyetir mobil di kala macet ini sungguh membuat sekujur tubuhku ikut merasa letih.

“Duk.”

Suara ketukan pada kaca mobilku mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arah kanan, sumber munculnya suara. Seorang anak remaja, dengan rambut dan pakaian yang serba basah terguyur hujan, menunjukkan botol air mineral literan ke arahku. Botol tersebut berisi cairan berwarna putih pucat, yang kutebak adalah campuran dari air dan cairan pembersih. Aku menoleh ke arah ibuku. Biasanya, dia akan mengomandoku untuk menolak, karena sangsi dengan cairan yang digunakan. Tapi entah itu percakapan kami barusan atau memang hari itu ia sedikit emosional, ia mengangguk. Maka aku pun mganggukkan kepala ke anak remaja itu. Ia tertawa kegirangan. Dibersihkannya kaca mobilku, dan seusainya kuberikan padanya selembar uang sepuluh ribu. Anak remaja itu kemudian mengucap terima kasih dan berlari ke mobil-mobil lain.

Aku ikut tersenyum, melihat girangnya ia berlarian dari kaca spionku. ‘Semoga ia tidak sakit, hujan-hujanan begini,’ batinku dalam hati. Mobil di depanku kembali melaju. Aku melepas rem tangan, dan mobilku mulai bergerak maju. Agaknya, perjalanan ke depan sudah mulai lancar, karena mobil di depanku tidak lagi berhenti. Aku tak sabar untuk segera kembali ke rumah dan bebersih diri, lalu beristirahat. Hari ini terasa sedikit lebih panjang dari biasanya, itulah mengapa.

“Mau mampir ke mana-mana dulu, Ma?” tanyaku, sambil terus memerhatikan jalan. Biasanya, ibuku sering memintaku untuk mampir sebentar di salah satu restoran cepat saji, untuk membungkuskan makanan untuk ayah dan adik yang ada di rumah.

Tidak ada jawaban. Aku menoleh ke arah bangku penumpang. Kosong. Aku tertegun. Ah, terjadi lagi. Kurasa, aku benar-benar merindukan ibu. Aku rindu berdiskusi dengannya, dari hal sekecil apapun, seperti menu apa yang sebaiknya kita masak esok pagi, hingga hal yang lebih kompleks, seperti perubahan undang-undang atau siapa yang akan dipilih pada pemilihan umum. Kira-kira, ibu di mana sekarang, ya? Apa di sana, ibu punya teman untuk berdiskusi?

*)Penulis merupakan mahasiswi Psikologi angkatan 2019 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.

(Visited 26 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?