Lompat ke konten

Seribu Hari yang Lalu, Seribu Hari yang Akan Datang

Oleh: Christanti Yosefa*

“Life’s a mess, Sara. It’s chaos personified.” – Serendipity (2001)

Nama samarannya Ari. Seorang laki-laki. Kupilih sebagai nama alias sebab aku suka saja dengan nama Ari. Dia teman satu jurusan dan satu angkatan, satu tongkrongan juga. Anaknya berbeda dengan kebanyakan orang yang pernah kutemui dalam hidupku.

Dia sangat suka membaca dan menulis, wawasannya luas dan menurutku dia cerdas sekali. Ia seringkali memberitahuku fakta-fakta menarik secara tiba-tiba, seperti asal mula kata ‘OK’, atau mengapa meski sabun berwarna-warni namun busanya pasti putih. Dia juga suka membuat puisi. Puisinya berbeda dari kebanyakan cowok indie-senja-kopi yang lain, kebanyakan tentang tema-tema yang jarang kupikirkan. Anaknya berjiwa pemimpin. Meskipun kadang menyebalkan, dia bukan orang yang suka bicara besar dengan omongan tak berisi. Kalau sedang serius, kau harus benar-benar mendengarkan perkataannya. Tentu saja, ada bagian dari dirinya yang kami berseberangan. Namun, ia tak pernah meremehkan orang lain.

Hari ini adalah hari keseribu satu. Hari yang harusnya jadi hari pertama kami keluar dari Indonesia, lalu berkelana ke seluruh penjuru dunia, dengan ransel besar dan kantong tidur, dengan identitas yang melebur hingga kami hanya bernama ‘manusia’. Hari yang telah kami rencanakan sejak pertama kali aku menyambutnya sehabis sidang seminar proposal. Saat itu, semua mimpi muda kami terasa dekat, terbayangkan, seolah hanya sejangkauan tangan. Ari adalah orang paling bersemangat yang aku kenal. Bersemangat dalam menggapai mimpinya, yang kebanyakan tidak biasa.

Namun sebagaimana sumbu, suatu ketika api itu padam pula ternyata. Tidak mudah dinyalakan kembali sebab basah. Sumbu itu jadi dingin dan lembab, mengubah Ari menjadi orang yang paling ditakutkannya; seorang yang putus asa.

Tentu saja bukan karena pekerjaan, nilai, atau uang. Ia tak terlalu peduli akan nilai atau jabatan. Ia berkata padaku, mengejar hal-hal itu sejatinya mudah. Kau hanya disuruh untuk mengikuti standar dan kau bisa. Kau didefinisikan melalui angka. Padahal, kecerdasan dan kemampuan yang kau punya lebih daripada itu, jauh lebih kompleks dan seringkali kau tak menyadarinya. Ia akan selalu berubah karena mau tak mau, sengaja atau tidak sengaja, kau akan selalu belajar. “Kaulah yang mendefinisikan sendiri angka-angka itu berarti apa bagimu. Dan karena kau yang memiliki kebebasan serta kemampuan untuk itu, seharusnya nilai dan angka bukanlah sesuatu yang paling kau khawatirkan.” katanya suatu hari, saat aku mengunci diri di kamar dan jatuh sakit karena stress memikirkan nilaiku yang turun.

Namun, meskipun tidak terlalu peduli, ia tak pernah main-main kuliah. Ia tahu bahwa perihal kuliah adalah bentuk pertanggungjawaban atas pilihan yang ia ambil secara tak main-main juga. Orang mungkin menafsirkannya sebagai jaminan akan kesuksesan bagi masa depan, namun bagi Ari, itu merupakan salah satu oleh-oleh yang bisa ia beri bagi orangtuanya di desa.

Selepas lulus, Ari tidak langsung mendapat pekerjaan. Ia kembali ke desanya dan membantu ibunya mengurus sebidang tanah, sekaligus bantu-bantu di kantor desa. Ia bertahan selama setahun, lalu kembali ke kota tahun sesudahnya, mencari pekerjaan sambil menyambi jadi penulis lepas. Hingga setahun kemudian aku bertemu dengannya di tepi gedung, sedang merenung menatap jalanan.

Ari sedang menimbang-nimbang untuk lompat.

Malam ini malam keseribu satu. Malam dimana seharusnya kami sekarang bersiap untuk tidur sebelum besok melangkah ke Angkor Wat. Malam dimana aku sedang sibuk menyantap samlor korko sembari mendengarkan celoteh Ari tentang bagaimana sup ini dulunya merupakan favorit raja dan resep khususnya berisi ratusan jenis sayuran dan buah-buahan. Malam dimana kami sibuk mengamati Lonely Planet, sembari berdebat perlu tidaknya mengunjungi satu tempat dan tempat lainnya.

Tapi malam ini kami masih disini. Kedinginan berdua di atas gedung sementara mobil polisi dan pemadam kebakaran bergerombol di bawah gedung. Orang-orang menontoni kami. Aku tidak tahu siapa yang peduli dan siapa yang tidak. Kebanyakan mengambil foto dan video yang entah untuk apa. Berjam-jam yang lalu pemadam kebakaran menyusul Ari, membujuknya untuk turun. Kini tugas itu diserahkan padaku, yang kuhabiskan duduk berlama-lama diatas sana bersama Ari dalam diam. Belum ada sepatah kata pun terucap. Aku tak tahu harus bicara apa, dan aku taky akin kata-kata dapat membantunya. Ari mungkin sudah ribuan kali mendengar kalimat yang terlintas di kepalaku namun tak kuucapkan.

Sebelas menit menuju hari yang baru. Hari keseribu dua. Hari dimana kami seharusnya sedang mencoba-coba bahasa Khmer seadanya, memohon-mohon diizinkan ikut truk menuju pasar subuh. Tapi Ari dan aku sekarang disini saja. Merenungi jalanan, rembulan, awan yang terlihat bergerak lembut menghiasi gelapnya malam. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Begitu juga pikiran polisi dan pemadam kebakaran yang baik hati itu. Anehnya aku cuma memikirkan hari ini. Detik ini, yang pelan-pelan merambati kami berdua seperti barisan semut. Yang dalam keriuhan kota mengantar kami menuju hari ke seribu dua.

Tiit. Jam tanganku berbunyi. Sudah pukul dua belas malam. Ari menoleh kepadaku.

“Terima kasih, Adnan, sudah menghabiskan sehari ini bersamaku.” katanya pelan diiringi senyum.

“Maaf ya, kita tidak jadi pergi.” kata Ari lagi, lalu terdiam.

Di bawah sana, polisi dan pemadam kebakaran bersiap-siap, seolah menyambut secercah harapan, sekaligus was-was apa yang kira-kira kami berdua bicarakan.

“Ari,”panggilku pelan. “Aku tidak akan menjanjikanmu apa-apa. Kecuali bahwa aku akan bersamamu. Di bawah sana segalanya mungkin akan bergerak seperti biasa. Tapi kita juga tidak tahu apa yang bergerak diatas sana.”

“Kalau diatas sana aku bisa bertemu Bapak, sudah kulakukan dari dulu, Nan.”jawab Ari. “Tapi kau benar. Jika aku jatuh, akankah aku terbang, menuju tempat diatas sana tanpa jaminan apa-apa? Tanpa jaminan aku akan bertemu Bapak?”

Ari tiba-tiba saja menangis. Menangis seperti yang tak pernah kubaca sebelumnya. Tangisan yang tak pernah kutemui pada siapapun. Tangisan yang anehnya, tak membuatku membenci diriku sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Tangisan yang walau tak sepenuhnya, namun dapat kupahami. Tangisan yang kumengerti dan kubiarkan saja. Bukan jenis tangisan yang ingin kau sela, “Sudah… sudah… Jangan menangis lagi,” tapi jenis tangisan yang menggerakkan tanganmu untuk menyentuh bahunya. Dan itu saja barangkali sudah cukup.

Ari memelukku kuat-kuat. Tangisannya membuat bajuku basah. Basah oleh tangisan yang sudah ditabungnya sejak dua tahun lalu. Sejak kebaktian tutup peti sederhana di rumahnya di desa. Sejak kali terakhir Ari mencium pipi bapaknya.

Seribu hari yang lalu Ari berfoto wisuda bersama kedua orangtuanya, dan kami mengikrarkan janji untuk bertualang seribu hari kemudian. Di hari keseribu satu, kami duduk di atas kota, merenungkan semua yang terjadi seribu hari yang lalu. Ari yang dengan berani kembali meski dunia tak menjanjikan apa-apa.

Ketika pada akhirnya kami beranjak dan aku menuntunnya menyusuri tangga, aku tahu apa yang kami tunggu seribu hari kemudian. Yang jelas, pada saat itu kami masih dan akan tetap bersama. Kembali ke titik nol. Rumah Ari di desa. Lalu dari sana, kami menarik garis itu ke sudut-sudut dunia. Meniti setapak demi setapak tanah di atas dunia yang tak menjanjikan apa-apa, namun selalu menyenangkan bersama mereka yang membersamai langkah itu. Hingga ketika kita diam dan merenungi segalanya, kita mengerti mengapa kita ada dan mengapa kita harus ada. Bahwa di tengah hidup ini kita berarti, dan tanpa kita segalanya tidak akan sama lagi.

*)Penulis merupakan mahasiswi Hubungan Internasional angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Sastra LPM Perspektif.

(Visited 95 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?