Oleh: Sara Salim*
Hari begitu mentereng teriknya, sampai-sampai peluh telah membasahi sekujur badan bagai diguyur air. Memang telah jadi lumrah kalau kota B dikenal sebagai kota dengan suhu tinggi. Siapa pun yang baru datang ke B bakal mandi minimal lima kali sehari dan punya perilaku minum seperti unta ketemu oasis. Tak jarang pula akan punya masalah gata-gatal karena keringat berlebihan.
Kata orang kota B adalah miniatur Indonesia. Setiap tahun berbondong-bondong orang datang untuk mencari penghidupan. Tidak heran kalau dalam pergaulan orang-orang terbiasa dengan keberagaman. Pada saat duduk di café tak ada yang bicara dalam satu bahasa daerah, semuanya berbahasa Indonesia. Meskipun orang yang satu dengan lainnya saling tahu asal nenek moyang mereka, semuanya cenderung meredupkan kefanatikan identitas asal muasal. Lebih-lebih kalau memang dilahirkan di B dari orangtua perantau.
Lebih dari setengah juta orang dari satu juta lebih penduduk, semuanya berangkat dari harapan B akan memberi kehidupan yang lebih baik. Baru pada awal 90-an sebuah kawasan industri dibangun. Satu dekade kemudian B telah menunjukkan geliat pembangunan dan satu dekade berikutnya orang-orang telah takjub melihat pertumbuhan dan perkembangan B. Tidak salah kalau generasi yang lahir selanjutnya adalah mereka yang familiar pada perubahan, tak lupa sejarah merantau yang telah dulu dilakukan ibu bapak..
Namanya Nels. Anak laki-laki yang merasa terik B kurang ajar. Sudah beberapa bulan pindah dari kota kelahirannya, daerah Timur Indonesia. Perantau konon. Dia merantau sebagaimana orang lain juga, membawa harapan. Kalau dalam pelajaran antropologi dan sejenisnya, ada istilah cultural shock yang bisa menggambarkan kondisi Nels.
Lumrahnya anak SMA dengan pikiran polosnya, Nels menjadi bahan perhatian karena secara fisik dan cara komunikasi tampak lain. Dia tidak dirundung, bukan. Tapi orang-orang memerhatikannya lebih karena memang peduli. Tidak dipungkiri bahwa mereka sesekali menjadikan cara bicaranya sebagai bahan gurauan. Terlepas dari semua itu, Nels memang diperhatikan oleh dewan guru dan teman-teman kelasnya.
Pada satu mata pelajaran yang semua anak memang deg-degan kalau bertemu gurunya, yaitu Bahasa Prancis, Nels pun demikian. Kesulitan berbahasa Indonesia saja menjadi satu masalah, belajar Bahasa Prancis adalah masalah lain. Tidak heran kalau dia kaget. Dia pernah bercerita tentang potret pendidikan di kelahirannya, “Dulu sekolah cuma bawa satu buku tulis, di sini tiap pelajaran ada bukunya. Di sana guru juga jarang masuk, di sini selalu hadir.”
Sepenuhnya sebuah potret. Di saat teman-teman sekelasnya sudah mahir dengan membaca efektif, Nels masih berjibaku dengan cara membaca yang benar. Kesalahan pembacaan titik koma tak jarang memberi kesalahan pemahaman pula. Jadi, awalnya Nels sering salah memahami dan jadilah salah soal salah jawab. Ini berdampak pada semua mata pelajaran. Dewan guru memahami lebih daripada teman sekelasnya yang sering kesal kalau sedang kerja kelompok. Meski kadang mereka juga sebagaimana sifatnya manusia hampir-hampir putus asa menghadapi Nels.
Namun, ada satu pendapat guru Prancis yang menggelitik. Mungkin pada saat itu dia keburu sebal oleh Nels yang tak juga menunjukkan kemajuan. “Kalian semua yang ada di kelas ini belum pernah belajar Prancis sebelumnya, kan?” tanyanya. “Beluuuuum, Madame,” jawab anak-anak serentak. “Dengan start yang sama hasil kalian berbeda-beda. Maka saya berpikir, bukan masalah pintar atau bodoh, tapi masalah rajin dan malas. Tentang usaha dan kesungguhan yang membuat hasilnya berbeda.”
Anak-anak diam. Hening. Seperti sikap pada wejangan pada umumnya. Tepat momen setelah dia menegur Nels. Jadi, ya, ada unsur sindiran pada kalimatnya.
Seorang anak kelas mengambil satu benang merah pada Nels. Mungkin dia bukan menolak maju tapi dia memang butuh adaptasi. Bukan dia tak tekun hanya saja motivasinya tidak sebesar kawan-kawannya. Dia bukan tidak bekerja keras tapi besar usahanya yang beda. Nels bukan malas tapi memang begitu rajin versinya.
Lalu, apakah semua salah Nels? Tentu, bukan. Ada andil di luar dirinya yang berjalan tak semestinya. Bagaimana bisa mengharap bunga mekar kalau ia jarang disirami? Bagaimana bisa mengharap membentuk besi kalau tempaannya tak mumpuni?
Pada akhir masa sekolah, kontan Nels tak memilih Bahasa Prancis sebagai mata pelajaran peminatan untuk ujian nasional. Ia mungkin menduga kenyamanannya ada pada mata pelajaran lain. Semua orang menghormati keputusan tersebut meski menduga hasilnya tak sama jauh kalau pun dia ambil Prancis.
Ketika masa sekolah benar-benar berakhir, hari perpisahan betul menjadi akhir pertemuan dengan Nels bagi banyak kawannya. Nels bukan yang pertama menghilang, tak berkabar, dan lepas bagai burung bermigrasi tanpa suara. Ia hanya satu dari sekian orang yang memutuskan hal demikian demi sebuah tujuan yang hanya dia dan Tuhan yang tahu. Mungkin agar fokus atau demi kenyamanan. Dengan menghormati keputusannya, kawan-kawannya tetap berharap akan ada masa Nels kembali ke tengah tongkrongan.
Nels telah buktikan bahwa sekali pun dia datang dari daerah yang tak seorang pun tahu tempat itu, dia tetap bawa harapan. Mengingat dia telah menjajaki dunia kerja sejak SMA karena kondisi. “Nels pasti masih bekerja keras sampai hari ini,” kata seorang teman mengenang masa-masa sekolah bersama Nels. Bagaimana pun segala sesuatu pasti selalu dihargai pada tempat yang sesuai. Nels pun demikian.
*)Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai Pimpinan Divisi Sastra LPM Perspektif.