Oleh: Sara Salim*
Tepat seminggu lalu, aku masih sibuk membaca dan mempelajari peta pemikirannya. Berulang kali kubaca kembali tulisan-tulisannya dalam blog pribadinya. Ada dua hal yang kusadari, aku tertarik pada kecerdasan pemikiran itu dan aku mulai memerhatikannya sebagai sosok yang kukagumi.
Tetapi hari ini, di bawah mentari yang perlahan turun ke peraduannya. Aku melihat keluar jendela dengan pandangan berbeda. Ditemani segelas teh hangat dan roti isi. Aku telah berkecamuk dengan diriku sendiri. “Ah, tidak bisa,” keluhku untuk kesekian kali.
Tentu tidak ada yang kurutuki. Aku hanya sadar bahwa kekaguman itu perlu diakhiri bahkan sebelum sempat bersemi. Ketika kubayangkan lagi pertemuan kami siang tadi, langsung kuputuskan tidak ada yang perlu diteruskan. “Aku merokok dan tidak ada alasan untuk itu. Yang penting aku hidup untuk hari ini,” ucapnya. Seketika luluh lantak kekagumanku.
Aku jelas tahu ada jurang pemikiran di antara kami. Sebab aku hidup untuk hari-hari seterusnya juga. Dia terlalu fluktuatif dalam idealismenya, aku tidak paham arahnya. Sedang hidupku kebalikannya. Jadi bagaimana mungkin, aku mengagumi seseorang yang berdiri di seberang sana, berkabut pula?
Selama seminggu ini aku mungkin disuruh belajar. Apa saja bisa jadi sebab seorang dipertemukan pun dipisahkan. Bisa jadi mudah mengagumi juga gampang melupakan. Atau sebab sekecil apapun bisa menjadi sebuah alasan. Tidak ada yang benar tau hidup ini, tapi kita tahu benar dan untuk itu semua orang bisa tentukan langkah. “Kau hebat telah lebih memilih dirimu, Maryam,” aku membatin seraya menutup pencarianku tentang dia, Rafa.
*)Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2018 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai Pimpinan Divisi Sastra LPM Perspektif.