Lompat ke konten

Revisi Perda RT/RW Kota Batu: Isi dan Kecaman di Baliknya

Ilustrator : Paricia Citraning

Malang, PERSPEKTIF Proses revisi Peraturan Daerah (Perda) Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT RW) yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Batu dan DPRD Kota Batu menuai kecaman dari banyak pihak. Revisi tersebut dianggap dapat mengancam eksistensi kawasan lindung dan sumber mata air yang ada di Kota Batu.

Aris Faudin salah satu pegiat Komunitas Nawakalam mengatakan bahwa poin krusial dari revisi tersebut yaitu perubahan status daerah Bumi Aji menjadi kawasan jasa, pariwisata, dan industri. Padahal daerah Bumi Aji merupakan penopang daerah aliran sungai (DAS) hulu brantas. ”Makanya ini menjadi ancaman paling serius. Daerah aliran sungai berantas ini kan kepalanya ada di daerah Bumi Aji, harusnya dilindungi,” ujar Aris.

Menurut Aris, revisi Perda RT RW sebenarnya belum sepenuhnya sempurna. Salah satunya belum adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). ”KLHS ini kan acuan untuk membuat Perda RT RW. Kalau KLHS nya aja masih belum sempurna, sama saja dengan bangun rumah tapi pondasinya belum ada,” ungkapnya.

Aris menambahkan bahwa masyarakat hampir tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi perda tersebut. Menurut dia yang dilibatkan hanyalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan. ”Kalau cuma pemangku kepentingan yang dihadirkan ya otomatis langsung disetujui. Coba kalau masyarakat ikut dihadirkan juga, dipaparkan dampak buruknya. Pasti mereka menolak,” tuturnya.

Sementara itu, Purnawan D. Nagara selaku Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur menuturkan bahwa tidak adanya KLHS membuat revisi perda RT RW ini cacat hukum. Sebab melanggar pasal 15 ayat 2 UU Lingkungan hidup No 3 tahun 2009. ”KLHS itu dokumen yang dibuat pemerintah untuk memetakan mana daerah bahaya, mana daerah konservasi, mana daerah yang aman untuk pemukiman. Perda tata ruang ini dibuat tidak berdasarkan KLHS, jadi perda ini harus dibuat KLHS nya dulu, baru dibuat perdanya,” ujarnya.

Pupung sapaan akrab Purnawan, mengatakan bahwa dalam revisi ini mengatur pembangunan geothermal (sumber energi dari panas bumi). Namun yang jadi masalah adalah pembangunan tersebut dilakukan di kawasan lindung. ” Pertambangan boleh dilakukan di kawasan hutan produksi dengan sistem pinjam pakai . Kalau sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, tidak boleh ada aktivitas untuk pertambangan, prinsipnya begitu,” kata Pupung.

Menurut dia pembangunan geothermal bakal mengancam ketersediaan air. Padahal sumber mata air di Kota Batu grafiknya terus menurun, sekarang hanya tinggal 57. ”Airnya harusnya untuk kehidupan tapi malah digunakan untuk penopang produksi listrik. Itulah mengapa saya bilang Pemkot Batu sedang merencanakan bencana bagi rakyatnya melalui revisi perda ini,” ujarnya.

Melalui revisi perda ini juga Pemkot Batu berencana mengendalikan perluasan pertanian pada kawasan rawan bencana dan kawasan yang berfungsi untuk memelihara keletarian lingkungan. Pupung mencontohkan daerah Cangar sebagai daerah yang vital sebab daerah tersebut masuk ke dalam kawasan lindung, kawasan rawan bencana, dan kawasan mata air. ”Jelas Cangar daerah yang vital. Tapi anehnya pembangunan geothermal justru dilakukan disitu,” tuturnya.

Dosen Ahli Hukum Agraria Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB), Imam Kuswahyono, menuturkan bahwa perda tata ruang boleh dirubah apabila telah berjalan selama 5 tahun. Selain itu, harus ada persetujuan dari menteri (Kementerian Agraria dan Tata Ruang) dan gubernur. ”Harus taat asas, tidak boleh buat acara sendiri. Sebab tata ruang itu menyangkut kepentingan semua orang,” kata Imam.

Menurut Imam, peran pemerintah hanya menjadi fasilitator, sementara yang menjadi inisiator adalah masyarakat. Pemerintah harus berpihak kepada masyarakat, bukan kepada investor. ”Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sudah jelas mengatur. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ungkapnya.

Imam juga mengatakan bahwa Kota Batu telah mengalami pergeseran yang semula berbasis pertanian. Beralih pada sektor pariwisata yang dibingkai dengan kata-kata green/eco. ”Menurut saya, itu cuman sekedar kamuflase sebab yang namanya sektor pariwisata itu pasti rakus ketersediaan tanah. Jadi dia pasti butuh tanah yang mudah, murah, dan cepat,” tuturnya.

Apabila revisi Perda RT RW Kota Batu dianggap merugikan, Imam menyarankan untuk menempuh jalur hukum melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Lewat judicial review, masyarakat memohon untuk menguji materi undang-undang. Substansi perda tersebut diuji dengan aturan yang lebih tinggi. ”Asas yang digunakan lex superior derogat legi inferiori, aturan yang lebih tinggi akan mengalahkan aturan yang lebih rendah. Jika bertentangan perda tersebut bakal digugurkan,” katanya.

Selain judicial review, langkah lain yang bisa diambil adalah gugatan secara public atau dikenal sebagai class action. Menurut Imam, gugatan tersebut harus dinisiasi oleh masyarakat. ”Kami hanya membantu cara membuat dan mengajukannya kepada Menteri Hukum dan HAM untuk di masukkan ke pengadilan,” pungkasnya. (sal/dmr/dat/dic)

(Visited 515 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?