Malang, PERSPEKTIF – Kebijakan kartu parkir Universitas Brawijaya (UB) sudah diterapkan sekitar enam bulan terakhir, sejak berlakunya Surat Edaran Rektor Nomor 0862/UN.10/PS/2019 pada 28 Januari 2019 lalu. Kebijakan ini diperuntukkan bagi pengguna kendaraan bermotor khususnya roda dua yang akan parkir di area UB. Sejak pemberlakuannya, kebijakan ini menuai beberapa tanggapan dari mahasiswa.
Salah satunya datang dari Muhammad Ariz Pratama, mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) jurusan Administrasi Bisnis 2016. Ia menyayangkan penerapan kebijakan kartu parkir di UB yang masih tidak merata. “Kebijakan ini sebenarnya bagus untuk menjaga keamanan. Khususnya keamanan untuk kami yang menggunakan kendaraan bermotor. Namun kenyataannya tidak semua fakultas menerapkan. Contohnya di FIA sama sekali tidak diterapkan,” jelasnya (22/5).
Selain itu, kebijakan ini juga dinilai kurang efektif karena kartu parkir mudah hilang dan jumlahnya pun tidak banyak. Hal ini disampaikan oleh Putu Vania, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (FILKOM) program studi Teknik Informatika 2017. “Banyak teman saya yang kehilangan kartu. Jumlah kartu parkir juga tidak sebanyak jumlah mahasiswa di FILKOM, jadi kalau kartunya habis, ya kalau keluar menunjukkan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)” ungkap Putu (15/5).
Tidak hanya mahasiswa, keluhan terkait keefektifan kebijakan kartu parkir ini juga disampaikan oleh petugas parkir UB. Salah satu petugas parkir di zona parkir Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang menolak untuk disebutkan namanya mengatakan bahwa kebijakan kartu parkir ini masih dapat dikatakan kurang efektif (7/5). “Masih kurang soalnya satu sepeda motor hanya dapat satu kartu padahal seharusnya dua kartu. Disamping itu kalau hanya ada satu kartu, banyak kartu yang hilang soalnya mahasiswa sendiri banyak yang dibuat jadi gantungan kunci. Jadi tidak efektifnya disitu,” jelasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Syambodo Rahman selaku Komandan Markas Komando (MAKO) UB. “Sebetulnya kartu parkir itu harus ada dua, yaitu dipegang oleh pemiliknya dan diletakkan di motornya. Sehingga ketika pemilik kendaraan ini keluar, dia menyerahkan kartu parkir kemudian dicocokkan dengan yang digantungkan di motornya,” ungkapnya (26/4).
Sedangkan Wasono Aji (7/5), salah satu petugas parkir di zona parkir Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) mengeluhkan jumlah kartu yang terus berkurang dari jumlah yang seharusnya. “Awalnya dikasih kartu 400, sekarang tinggal 30. Tiap hari pasti ada kekurangan 50. Karena mungkin mahasiswa terburu-buru jadinya tidak dikembalikan, ada yang lupa juga, ada yang jatuh lalu hilang,” ungkapnya.
Menanggapi keluhan terkait jumlah kartu parkir yang tidak sesuai dengan jumlah mahasiswa, Muhammad Choiri, Koordinator Parkir UB (2/5) mengungkapkan bahwa pembuatan kartu parkir tidak didasarkan pada jumlah mahasiswa melainkan pada luas lahan parkir.
Selain itu, terkait jumlah kartu parkir yang semakin berkurang, Choiri mengungkapkan bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya kerjasama dengan mahasiswa. “Evaluasi kemarin ada kekurangan, kurangnya kerjasama yang baik dengan mahasiswa. Jadi mahasiswa menanggapi hal ini remeh. Mahasiswa yang kurang memahami, sampai bawa 3-4 kartu. Ini kan konyol, kenapa kok tidak dikembalikan,” ungkap Choiri (2/5).
Hal senada diungkapkan oleh Mardiantono, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Rumah Tangga UB (20/5). “Terkadang mahasiswa itu nakal. Saat petugasnya istirahat misalnya salat gitu kartunya dibawa, besok tidak dikembalikan,” ungkapnya.
Selain rendahnya kerjasama dari mahasiswa, kurangnya jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) atau personel juga menjadi faktor lain tidak efektifnya kebijakan ini. Kedua petugas parkir yang berhasil Perspektif wawancara diatas juga merasa keberatan karena di beberapa area parkir terkadang hanya ada satu orang yang menjaga sedangkan ada banyak area yang harus dipantau. Terkait hal ini, Choiri menanggapi singkat, “Jujur kami keterbatasan SDM.”
Meskipun keterbatasan SDM serta jumlah kartu parkir yang semakin sedikit setiap harinya, Choiri menegaskan bahwa kebijakan kartu parkir sampai saat ini masih berlaku. Menurutnya jika mahasiswa tidak menerima kartu pada saat parkir itu berarti ulah oknum, yaitu petugas parkir. “Masih berlaku, mahasiswa sendiri yang cuek, tidak meminta itu (red. Kartu parkir). Seharusnya minta, itu fasilitas untuk mahasiswa. Perintahnya belum saya cabut, masih berlaku. Kalau tidak dikasih kartu berarti itu ulah oknum,” tegasnya (21/5).
Ditemui terpisah, Sholeh Hadi Pramono selaku staff ahli Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan (WR II) mengungkapkan bahwa tujuan dari kebijakan kartu parkir ialah sebagai indikator seseorang merupakan civitas akademika UB atau tidak, serta sebagai pengurai kepadatan lalu lintas di UB. “Kartu parkir itu, kartu yang dipakai sebagai indikator bahwa dia civitas akademika. Alasan kartu parkir itu diadakan karena kepadatan lalu lintas di Universitas Brawijaya itu sangat tinggi sekali,” ujarnya (20/5).
Terkait dengan jumlah kartu parkir yang menipis, Choiri justru berencana menambah jumlahnya sebanyak kurang lebih 1000 hingga 2000 kartu. Hal ini diakuinya karena jumlah pengadaan awal kartu parkir, yaitu sekitar 6000 ternyata masih kurang. Ia menjelaskan penambahan kartu parkir tidak dilakukan di semua zona parkir. “Bahkan saya mau nambah lagi ini. Sesuai dengan kekurangan, sekitar 1000 hingga 2000. Tetapi tidak semua tempat, hanya beberapa tempat saja, salah satunya di FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,” tutupnya. (dip/dat/ptr)