Oleh : Petani Aksara
“Sekarang giliranmu. Ayo cerita.”
Bangsat, pikirku. Apa pula yang harus kuceritakan? Aku bukan orang yang menarik, pun kisah-kisah hidupku. Semuanya terasa biasa saja, bagiku—setidaknya demikian, bila pertumpahan air mataku selama semester-semester lalu tak terhitung, yang menjadi saksi bisu munculnya angka empat pada IP-ku dua semester terakhir. Namun, siapa yang mau dengar tentang itu? IP itu omongan jorok, tidak ada yang sudi mendengar.
Karena kebanyakan mikir, teman-temanku pun mulai ribut mendesakku. Ada yang menendang-nendang kakiku. Ada yang melotot. Ada pula yang memukul-mukul “Meja Pengakuan” hanya demi aku bicara. Anjir. Kayak di gereja aja, kudu ada pengakuan segala.
“Oke, oke. Guys, tenang dulu dong. Lagi mikirin cara cerita yang paling enak, nih,” kataku. Ngeles. Lalu, aku berdeham.
Saat itu juga, sekitar enam orang di sekeliling “Meja Pengakuan” menatapku. Mereka menunggu kisah paling tragis yang bisa kuceritakan. Meski demikian, meski detik-detik telah berlalu dalam keheningan, aku masih saja belum tahu hendak bercerita apa. Hingga akhirnya, sebersit kisah “jenaka” muncul di kepala.
“Sebelum aku cerita, janji sama aku, apa yang terjadi di meja ini enggak akan keluar dari sini. Ya?” kataku, memastikan sembari memandang sekelilingku dengan was-was.
“JANJI!” seru mereka serempak sembari menatapku dengan antusiasme yang tak dibuat-buat. Semua orang tahu, aku ini laki-laki paling banyak bacot kalau sudah soal bertutur. Sebenarnya aku bukan manusia paling cerewet di dunia, tetapi aku mencintai kisah yang kronologis dan runut, bahkan mendetil, bila sudah bicara tentang cerita. Jadi, bisa dikatakan, aku pandai bercerita. Yah, pantas saja nilai story telling-ku dari SMP selalu paling juara.
“Oke.” Aku kembali berdeham sambil menegakkan tubuhku. “Kisah ini soal aku dan tendensiku melukai diri sendiri.”
Baru permulaan, dan seluruh bunyi—termasuk tarikan napas dan denting gelas kopi—berhenti hingga suasana sungguh hening. Atensi terpaku padaku. Ada yang menatap iba. Ada yang penasaran. Ada pula yang seolah was-was.
Sedang aku? Aku hanya nyengir dan melanjutkan cerita.
“Kalian bukan orang pertama yang tahu. Ibuku dan beberapa kawan lamaku tahu soal ini. Jadi, bisa dibilang, aku sudah punya tendensi ini sejak lama,” tuturku sambil manggedikkan bahu, berusaha membawa suasana agar menjadi ringan—dan kawan-kawan kembali lebih rileks dengan mulai melakukan aktivitas kecil mereka (minum kopi atau makan cireng) sembari terus memerhatikanku. “Singkatnya, sih, aku ini didiagnosis punya BPD—silakan cari di Google—dan kecenderungan ini sebenarnya nggak terlalu parah, tapi aku nyatanya bukan orang paling kuat di dunia.”
Lalu, tangan cewek-cewek di sebelahku mulai menepuk-nepuk pundakku penuh rasa simpati, sementara aku hanya terkekeh sambil berkata “nggak apa-apa” tanpa suara.
“Aku gampang banget kena breakdown, mulai dari yang paling sederhana sampai yang bisa bikin aku ngurung diri berhari-hari di kamar,” kataku sambil mengangguk-angguk santai. “Dan ketika hal itu terlalu menyakitkan untukku,” tanganku menyentuh dada, untuk menggambarkan di mana rasa sakit yang kumaksud, “aku berusaha mengalihkan otakku dengan memberikan rasa sakit di tempat lain.”
“Meja Pengakuan” pun kembali hening, tetapi kali ini dengan bertemankan isak tangis dari beberapa anak gadis di tepi-tepi meja. Aku sengaja tak berbicara dulu karena aku tak mau suasana semakin keruh. Rasa tak enak pun menjalar di dalam dada. Kisah jenaka yang kujanjikan pada diriku sendiri mengapa berakhir seperti ini? Akhirnya, aku kembali berdeham.
“Kalian gak perlu khawatir, apalagi sampai nangis,” kataku sambil tersenyum menenangkan kepada kawan-kawanku ketika suasana hening itu mulai berlangsung terlalu lama bagiku.
Kusesap kopi hitam panas yang kupesan dan kuletakkan kembali di atas “Meja Pengakuan” untuk sesaat.
“Kalian gak perlu khawatir,” kataku lagi dengan nada yang terdengar sedikit hambar, tetapi kutambahkan dengan cengiran lebar di wajah, “karena kalian baru aja kubodohi dengan cerita bohongku.”
Ucapan itu pun kususulkan dengan tawa lebar yang seolah mengejek teman-temanku yang tadi menangis. Mereka pun mendelik kesal padaku, beberapa anak gadis bahkan memukul pundak dan lenganku dengan keji. Sedangkan aku? Aku hanya tertawa-tawa.
Kudengar mereka mengomel dalam sisa-sisa isakan mereka yang baru saja kubatalkan. Ada yang berkata aku jahat karena sudah memainkan kisah tentang penyakit mental. Ada yang berkata aku penipu. Ada pula yang berkata aku tak punya hati.
Aku? Aku masih tertawa-tawa.
“Ayo lanjut yang lain, tapi jangan kayak Andre yang ngibul ah. Gak suka, aku,” ujar salah satu anak yang mengelilingi “Meja Pengakuan” sembari mendelik sebal ke arahku yang kini hanya nyengir tanpa dosa.
Maka, sesi di “Meja Pengakuan” kembali berlanjut. Mereka mulai menuturkan kisah-kisah mereka, dari yang jenaka hingga yang paling nestapa. Aku di sana hanya mendengarkan, hingga lampu di warung kopi tempat kami saling mengaku mulai dipadamkan dan kami pulang ke rumah masing-masing.
Kisah-kisah mereka masih tertancap di kepala hingga aku tiba di kamar kosku. Hingga aku menghidupkan lampu kamarku yang gelap, lalu mengelap tetesan darah di lantai sisa semalam.
Selesai.
Penulis saat ini masih berproses di LPM Perspektif