Tak terasa sebentar lagi kita akan menyambut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka sendiri secara bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti suatu kondisi individu atau negara yang bebas dari segala bentuk perhambaan dan penjajahan. Hari Kemerdekaan tidak hanya diisi dengan agenda-agenda suka cita, tetapi juga dengan perenungan, “sudah merdeka kah kita?”. Menyoal sambut kemerdekaan, ternyata masih banyak terdapat tradisi-tradisi para penjajah dulu yang terus dilakukan. Yang mana, tradisi itu yang dulu pernah merugikan rakyat Indonesia dan mencoreng nilai dari merdeka itu sendiri. Nama tradisi itu adalah Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) atau bisa dengan nama lain di tiap kampus, PKKMABA (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) jika di Universitas Brawijaya.
Ospek sendiri merupakan sebuah acara yang diselenggarakan kampus untuk menyambut kedatangan mahasiswa baru (maba). Agenda dalam acara tersebut sebenarnya hanya mengenalkan kehidupan di kampus, mulai dari hal akademik hingga non-akademik. Tetapi kemudian hampir di setiap kampus, memiliki tradisi nirfaedah dalam rangkaian acara ospek, yang bisa mencapai 1 tahun. Tradisi nirfaedah ini bisa berupa pengaturan pada rambut mahasiswa yang baru masuk, pakaian serempak, serta penugasan dan atribut yang aneh. Itu masih dalam hal pengaturan mahasiswa baru, belum berbicara jalannya acara “penjagalan” mahasiswa baru yang tidak mengikuti aturan. Celaan dan bentakan tentu menjadi santapan yang harus diterima oleh mahasiswa baru di acara “penjagalan”. Tentu ini nirfaedah, sebab tidak pernah ada kehidupan kampus yang seperti itu. Alih-alih ingin mengajarkan disiplin malah terkesan berlebihan karena bahan ajar yang tidak jujur. Meski kekerasan fisik dalam Ospek mulai hilang sejak banyak disorot, tetapi tradisi nirfaedah itu tetap eksis dan dengan semangat digalakkan oleh para mahasiswa yang berambisi dianggap senior.
Jika ditinjau dari sejarah, tradisi-tradisi nirfaedah dalam Ospek itu merupakan tradisi warisan dari zaman penjajahan. Mohamad Roem dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai dari Sejarah 3 memaparkan bagaimana kondisi tradisi menyambut pelajar atau mahasiswa baru di suatu kampus. Ia menjelaskan bahwa di STOVIA, kata-kata keras biasa keluar, dalam tiga bulan selama masa penyambutan mahasiswa baru. Hal ini pun terjadi di sekolah tinggi lainnya. Ia juga menjelaskan bahwa selain teriakan kata kasar, terdapat tradisi yang sangat menyusahkan mahasiswa baru di STOVIA. Terdapat tradisi, yakni menanyakan tentang asal daerah siswa. Ketika Roem menjawab orang Jawa, dia harus mengucapkan bahasa jawa, tapi kemudian disuruh untuk mengucapkannya secara terbalik. Hal itu sangat sulit, tapi ia diperintahkan untuk megucapkannya berulang hingga lancar (Nurjanah, 2015). Tradisi pengaturan rambut untuk mahasiswa baru menurut Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam buku yang berjudul Tradisi kehidupan akademik ada pada zaman penjajahan Jepang. Kondisi ini bisa terjadi karena Militer Jepang berkepala gundul dan sangat terobsesi menggunduli kepala laki-laki lain. Hal itu didasari dengan nilai yang dianut rakyat Jepang mengenai rambut, standar kepala laki-laki adalah botak. Militer Jepang menganggap bahwa hanya Kaisar keturunan Dewa Matahari saja yang boleh terlihat ada rambut (Petrik, 2019). Protes penolakan pun sering terjadi dari kalangan mahasiswa atas adanya peraturan mengenai rambut itu.
Berdasarkan catatan sejarah di atas, kita dapat memetik pelajaran bahwa tujuan dari penyelenggaran tradisi nirfaedah dalam ospek diadakan hanya untuk menunjukkan derajat dan status sosial di suatu lingkungan (kampus). Mahasiswa baru menyandang status yang lemah, bisa dikekang dengan aturan dan perlakuan dalam tradisi nirfaedah ospek. Hal tersebut sangat bersifat arogan dan gila hormat, bahwa ada pihak yang memaksa untuk dihormati dan diakui lebih tinggi statusnya oleh mahasiswa baru, dengan cara memberikan aturan dan perlakuan konyol (di luar realitas kehidupan kampus). Haruskah sebuah kehormatan diperoleh dengan cara-cara demikian di era kemerdekaan ini? Sudah berlagak seperti penjajah saja.
Memang secara administratif menyatakan bahwa Indonesia telah merdeka, tapi jika kita melihat masih didapati tradisi penjajahan dalam bentuk Ospek yang dilakukan di Indonesia, tentu tidak bisa dikatakan Indonesia telah merdeka sepenuhnya. Ini menjadi permasalahan prinsip; kita bahkan belum bisa bebas berdaulat atas tradisi menyambut mahasiswa baru. Seharusnya, para pemegang otoritas di kampus lebih memerhatikan aspek filosofis ketika membuat aturan (baik secara formil maupun materiil) terkait menyambut mahasiswa baru, yang tidak sekadar menyalin ulang aturan dari kepengurusan sebelumnya. Aturan dalam menyambut mahasiswa baru itu seharusnya dibuat sebagai implementasi prinsip pro kedaulatan Indonesia dari belenggu tradisi buruk penjajah, yang tidak sekedar membuat dan mencantumkan logo atau simbol berbau budaya Indonesia dalam rangkaian ospek. Bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan, ketika menyambut kemerdakaan dengan masih adanya penggunaan tradisi penjajahan.
Zulfikar Hardiansyah, Staf Divisi Litbang LPM Perspektif dan
penikmat surya.