Oleh: Arliza Wardani*
“Em… Reval,” aku menelan ludah, sedangkan kakiku yang berada di bawah meja seperti menolak diam. Sulit untuk mengatakan apa yang diperintahkan Jenie kepada laki-laki di depanku ini. Padahal tidak hanya satu-dua hari aku mengenalnya, tetapi suasana di antara kami sekarang terasa sangat canggung.
Tatapanku hanya bertahan dua detik saat bertemu iris hitam milik Reval. Aku lebih banyak memfokuskan pandangan ke buku karangan Andrea Hirata yang tergeletak di atas meja di hadapannya.
“Itu… kata Jenie…” sekali lagi aku menelan ludah. Mungkin setelah keluar dari perpustakaan perutku akan kembung karena kebanyakan meminum ludah.
“Kenapa?” suara berat seorang Reval yang selama satu bulan ke belakang jarang kudengarkan akhirnya muncul juga.
“Kata dia… kamu bantu biaya nge-print aja buat tugas komik,” jelasku akhirnya, “semuanya udah di-handle anak-anak kok, jadi kamu tinggal bayarin biaya nge-print aja.”
“Saya harus bayar berapa?”
Pandanganku ke mata Reval akhirnya jatuh lebih lama. Kali ini aku harus benar-benar memantapkan hati untuk menyebutkan nominal uang yang diminta Jenie selaku ketua kelompok proyek komik kami. Semua ini karena sejak sebulan lalu, pemikiranku tentang Reval berubah. Bukan benci seperti teman-teman sekelasku yang lain, tapi aku semakin tidak tega padanya. Yang aku yakini, alasan Reval mencuri ponsel dan uang bukanlah karena ia ingin membeli ponsel baru, meski ia bersikeras bahwa itu alasan sebenarnya.
Reval Hanafi yang selama ini kukenal adalah seorang laki-laki ramah dengan tinggi badan seratus tujuh lima senti yang membuatku merasa seperti kurcaci ketika berdiri di sebelahnya. Gaya bicaranya yang mirip Rangga di film AADC atau Maya di Webtoon Lara(s) Hati yang kemudian membuatnya semakin populer meski tanpa harus menjadi anggota OSIS. Hampir tiga tahun sekelas dengannya, membuatku sedikit banyak tahu tentang kehidupan berat di balik puluhan senyum manis yang tiap hari ia lukiskan.
Ayah Reval meninggal sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Ia dibesarkan oleh seorang ibu yang selalu berusaha mengakhiri hidup sejak kepergian suaminya. Dan yang sejauh ini aku tahu, ibu Reval berakhir di rumah sakit jiwa karena kondisinya yang semakin parah. Kakak perempuan Reval memilih menikah muda. Ia juga lah yang kemudian merawat Reval dan adik perempuannya.
Di sisi lain, keadaan keluarga kakaknya tidak mejamin Reval bisa hidup berkecukupan, apalagi semenjak kakaknya memiliki dua orang anak. Aku cukup mengenal Reval untuk sekadar tahu bahwa mencuri adalah pilihan terakhirnya untuk bertahan hidup. Pasti satu bulan yang lalu Reval sangat membutuhkan uang dan hasil pekerjaan sambilannya tidak bisa memenuhi kebutuhan itu.
Aku tidak ingin menjauhi Reval seperti yang anak-anak lain atau bahkan guru-guruku lakukan. Semakin saling tatap dengannya seperti ini, membuatku makin marah pada pengucilan yang dilakukan anak-anak kelas sebelas IPS. Bahkan mereka tega mengeluarkan Reval dari grup kelas.
“Lena?” suara Reval membuatku mengerjap. “Jadi saya harus bayar berapa?”
Dan… ya, aku menelan ludah sekali lagi sebelum berdeham lalu berkata, “lima puluh ribu.”
Reval kemudian merogoh saku celana. Ia mengeluarkan gumpalan uang sebelum memisahkannya lalu menarik selembar uang berwarna biru. Tangannya terulur di atas meja untuk mengarahkan uang tersebut padaku.
“Makasih,” ucapku sesaat setelah meraih uang Reval, dan aku tidak mendapat balasan apapun setelahnya.
Karena merasa semua kecanggungan ini akhirnya selesai, aku beranjak berdiri. Berniat meninggalkan perpustakaan serta Reval yang mengasingkan diri dari hiruk-pikuk acara classmeet di lapangan dalam. Namun, sebelum aku benar-benar melangkah, suara berat Reval kembali menyusup ke telingaku.
“Lena!”
Aku menoleh. Mata kami bertemu.
“Saya minta maaf,” tatapan mata Reval menunjukkan ribuan beban yang aku pribadi mustahil bisa menanggungnya sendirian, “saya butuh uang untuk adik saya.”
Terkutuklah takdir dan semua orang yang membenci Reval Hanafi.
***
PENULIS MERUPAKAN MAHASISWa ilmu komunikasi 2017, UNIVERSITAS BRAWIJAYA. saat ini aktif di divisi sastra lpm perspektif