*Oleh: MUCHAMAD IQBAL MAULANA
Entah apa yang kurasa sekarang. Perasaan merana tiada tara telah melanda hatiku yang hampa. Kulihat begitu banyak orang memakai setelan jas rapi. Prajurit Jepang yang terpukul pasca kekalahannya masih tetap berdiri tegap menjaga acara penting ini. Aku yang diminta Cak Rom menjadi juru potret di acara ini begitu tersayat. Rin Amagai, gadis yang dahulu begitu kucinta, kini akan menikah! Celaka! Janji telah kita ikrarkan, namun harus kandas dalam penantian. Jinja di gementee Malang menjadi saksi bisu atas semua ini.
“Hans, Arda, kita sudah sampai. Lakukan tugas yang telah kuberikan dengan baik.”
“Arda, tunggu sebentar! Ingat nak, ini adalah sebuah ujian kehidupan. Semua orang harus meninggalkan apa yang telah ia cintai, sekalipun itu dalam waktu yang lama. Tabahkanlah hatimu, segera lupakan dia, nak!”
Cak Rom memberi aku sedikit dukungan perasaan agar aku tidak terganggu oleh keremukan hatiku ketika bekerja. Aku siap menerima pekerjaan ini, tetapi tidak dengan kenyataan ini. Rin akan menikah dengan seorang perwira militer Jepang, Hayate Sato.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Acara pemberkatan pernikahan Hayate Sato dengan Rin Amagai akan segera dimulai. Dengan bimbingan pendeta, Hayate berjalan dengan gagahnya menuju ke altar kemudian bersimpuh diatasnya. Kemdian, bidadariku muncul ke ranah kehidupan. Rin berjalan menuju samping Hayate. Ya Tuhan! Rin ibarat oase di gurun yang sangat tandus. Pesona wajah dan kelembutan hatinya seakan menyegarkan diri yang sedang dahaga akan kasih sayang. Sekilas secercah harapan nampak terlihat pada wajah ayunya. Tetapi, sinar harapan romansa yang telah kita bina berdua sekejap sirna dalam sekedipan mata. Mungkin api asmara ini akan padam selamanya. Andai aku kini berada pada posisi Hayate yang menggunakan seragam resmi militer perwira Jepang bersama pusaka katana yang tersingkap di samping pinggangnya, kiranya aku tak berpikir demikian.
Pendeta Kenichi telah memulai acara yang dibarengi kedatangan ayahanda dari masing-masing mempelai. Dan ini saat yang krusial, pemberkatan pernikahan. Jujur, aku tak kuasa menahan kesedihan yang tiada tara ini. Seakan aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Namun, mau tidak mau aku harus memotret ritual sakral tersebut lebih dekat –sedekat mungkin aku dengan Rin. Perlahan aku maju ke altar untuk mengabadikan momen yang menyesakkan hati kecilku.
“Saudara Sato Hayate dan saudari Amagai Rin, kalian bersimpuh di hadapan para dewa dan dewi untuk berikrar dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci. Saudara Hayate, apakah saudara bersedia menikahi saudari Rin atas dasar cinta yang tulus?”
“Saya bersedia.” Hayate menjawab dengan nada yang meyakinkan dunia.
“Saudari Rin, apakah saudari juga bersedia?”
Ketika Pendeta Kenichi bertanya demikian, aku berada didekat pujaan hatiku itu. Sejenak Rin terdiam seribu bahasa. Tetapi, raut wajah cantiknya berubah menjadi merengut bagai awan kelabu dalam sekejap. Dia memalingkan wajahnya kearahku. Raut wajahnya yang kemudian mulai bersedih membuatku semakin tak rela untuk melepaskannya. Namun, disinilah kejantananku diuji. Seberani apapun nyalimu, sekuat apa tubuhmu, namun jika kau tak bisa melepas kasihmu dengan senyuman, engkau bagai mangkuk kosong yang usang. Ketika Rin mulai mengucurkan dari mata indahnya. Aku tersenyum kecil dengan menganggukan kepala.
Sadar calon istrinya menangis, Hayate tiba-tiba memalingkan pandangannya kepadaku. Mengetahui hal itu, Hayate naik pitam. “Kau lagi! Apa yang kau lakukan sedekat itu dengan Rin?!”
Dengan penuh amarah, sang perwira Dai Nippon itu spontan menghunuskan Katana miliknya ke leherku. Sontak saja, semua undangan seisi jinja berdiri dengan kagetnya.
“Kau tahu apa acara ini?! Kau anggap Rin itu siapa?! Kau pikir pribumi murah sepertimu bisa bersanding dengan Rin?! Dasar juru potret bodoh! Tidak tahu diri!”
Kemudian ia menendangku hingga jatuh tersungkur kebawah altar. “Untuk kali ini kuampuni nyawamu! Tapi, jika aku melihatmu lagi, apalagi dengan Rin, maka aku tak segan memotong kepalamu! Kenta, Arashi, bawa orang gila ini keluar!”
Dengan nada tinggi yang menggelegar, Hayate menyuruh prajurit pribadinya untuk menyeretku keluar dari jinja. Seraya aku diseret keluar oleh mereka, aku mengatakan suatu kalimat yang meluluhkan jiwa Rin, “Sayonara, cintaku!” Aku tak tahu bagaimana perasaan Rin selepasnya. Yang jelas, dia hanya berteriak sembari memanggil namaku. Untungnya aku sempat memotretnya, walau hanya sekali kesempatan.
Aku ditendang keluar dari acara pernikahan Hayate dan Rin. Jika aku memaksa menerobos masuk kembali, maka nyawaku yang menjadi taruhannya. Aku tidak ingin melakukan hal bodoh lagi yang akan membunuh diriku sendiri. Sejenak aku berdiri sembari mengebas-ebaskan pakaianku. Kemudian, Hans dan Cak Rom menghampiriku.
“Ya ampun, Arda! Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Sudah kubilang tetap fokus pada pekerjaan ini! Kau mengacaukan segalanya, sadarlah! Kita hampir mati dibantai serdadu-serdadu Nippon itu!”
“Arda, anakku! Kau memang berani. Tetapi benar kata Hans, kau menghancurkan pekerjaan yang dibebankan kepada kita! Kau menghancurkan segalanya, Arda!”
Hans dan Cak Rom marah dan sangat kecewa akibat kesalahanku tadi. Aku hanya terdiam dan tertunduk lesu disamping perasaanku yang kacau. Sebenarnya ada alasauntuk menenangkan ketegangan ini. Semua ini kulakukan demi kebaikan Rin sendiri. Mungkin Rin akan menggelengkan kepala atas pertanyaan Pendeta Kenichi tadi. Aku tahu Rin adalah gadis jujur nan polos. Jelas kejujuran dan kepolosannya itu akan semakin memperkeruh keadaan.
Cak Rom akhirnya memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba, sirine bahaya serangan udara berdering dari menara markas kempetai.
“Ya Tuhan! Akan ada serangan udara! Oh tidak …. anak-anak, cepat menuju ke bunker umum disebelah sana!” Ajak Cak Rom yang sangat panik akan ancaman tersebut. Akan tetapi …
“Arda-kun!!!” Oh astaga, itu suara Rin! Dia keluar jinja seraya berlari kearahku.
“Arda, cepat masuk kemari! Kita bersembunyi di bunker ini! Ayolah nak, lupakan dia! Jinja dan sekitaran Idjen Straat akan menjadi target bombardir!” Cak Rom memperingatkanku dari pintu masuk bunker dengan suara lantang. Namun, aku tak memperdulikannya. Aku yang masih berlari demi sebuah pelukan telah terhipnotis dengan besarnya cintaku kepada Rin. Tetapi, mendadak langkahku terhenti di taman jinja. Kulihat bom telah dijatuhkan dari pesawat sekutu keatas jinja. “Rin, Tiaraap!” Aku berteriak kepada Rin untuk tiarap. Seketika wajah Rin berubah menjadi datar atas seruanku tadi. Tapi, semuanya telah terlambat.
Jeeeeddduuuaaarrrr
Bom itu meledak tepat diatas jinja dengan keras. Aku tersungkur tak sadarkan diri akibat ledakan dahsyat itu.
Kubuka mataku sekembalinya kesadaranku. Kemudian, kulihat sekelilingku. Kulihat jinja nan megah telah hancur. Banyak mayat bergeletakan diluar maupun didalam jinja. Tunggu, bagaimana dengan Rin sang pujaan hatiku? Dimanakah dia?
Tidak……
Aku melihat Rin tersungkur dengan darah merah yang menyelimuti gaun putihnya. Bergegas aku berlari mengampiri Rin kemudian memangkunya yang sedang sekarat. Setidaknya dia masih hidup. Tapi, bagaimanapun juga aku masih mengarapkannya.
“A… Arda-kun. Cintaku. Jangan bersedih dan tetaplah bersamaku selepas kepulanganku. Se… sem… sempurnakanlah aa….ku dalam koba…ran api cintamu! Sii… simpanlah abuku di…dekatmu, sayangku. Karena… aku selalu ada bersamamu. Daisukii… Arda-kun!”
Selepas berkata dengan nada yang terbata-bata, dia memejamkan mata dipelukanku dengan senyum manis diwajahnya. Tidaaak! Cintaku, belahan jiwaku, pujaan hatiku, Rin Amagai telah meninggal. Tak kuasa aku menahan air mata yang mengalir dari mataku begitu derasnya. Kupeluk jenazahnya dengan tangisan yang sejadi-jadinya. Tak kupedulikan hujan yang mulai turun membasahi kita berdua. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain meratapi kematian Rin. Cinta kasihku, permata hatiku, nafas hidupku kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Truth Love Won’t be Separated Each Other
PENULIS MERUPAKAN MAHASISWa hubungan internasional, UNIVERSITAS BRAWIJAYA ANGKATAN 2018. SAAT INI BERPROSES DI DIVISI redaksi LPM PERSPEKTIF.