Oleh: Sari Rimayanti*
Seorang pria yang mengenakan setelan hitam dengan membawa sebuah kartu yang digenggamnya berjalan dengan tenang menuju ke arah kepanikan di tengah jalan. Tidak ada yang menyadarinya saat ia menerobos kerumunan itu dengan sangat mudah. Hingga dia terduduk di depan orang yang mungkin telah di ambang batasnya. Ia memandang ke arah orang tersebut dan berkata disertai seringai, “waktumu habis, saatnya pulang.”
Ia kembali berdiri seraya memandang ke arah orang yang menjadi lawan bicara sepihaknya. Dia membaca tulisan dalam sebuah kartu yang digenggamnya. “Lahir 20 Juli 1986 di Whitechapel, Inggris. Mati pada usia 32 tahun pada 3 Agustus 2018 karena kecelakaan mobil. Kevin Willcroix, waktumu habis pada pukul 4 sore waktu setempat,” ujarnya seraya melempar kartu tersebut ke hadapan orang yang disebut Kevin.
Kartu tersebut melayang di atas Kevin, tubuhnya telah berhenti bergerak, kelopak matanya telah menutup serta rekaman memori berputar di sekitar tubuhnya hingga bola cahaya keluar dari tubuhnya dan masuk ke dalam kartu tersebut. Pria itu mengambil kartunya dan segera melangkah pergi dari kerumunan orang yang semakin panik karena sang korban telah berpulang.
***
Seorang pria memandang kearah gelapnya malam, menghembuskan nafas dinginnya serta memejamkan matanya menikamati angin malam. Tepukan ringan menyadarkannya, ia menoleh ke arah wanita yang memandang ke arahnya dengan menyodorkan segelas kopi yang dibawanya. Ia menerima kopi tersebut dan mulai menyesapnya perlahan. Inilah kebiasaanya sejak lama, berdiri sepanjang malam hanya untuk memandang langit malam di dekat sungai.
“Bagaimana pekerjaanmu di sini?” tanya wanita itu seraya menatap sang pria.
Dia melirik ke arah lawan bicaranya dan mengeluarkan sebuah kartu. Dia menyodorkan kartu tersebut kepada sang wanita. “Lancar, seperti biasanya. Inggris mungkin akan masuk ke dalam favortiku,” jawabnya.
Sang wanita mengambil kartu tersebut dan membacanya. “Tidak biasanya kau dapat korban kecelakaan,” celetuk wanita itu.
Pria itu menggeleng, “dia bunuh diri, menabrakkan diri kearah mobil yang melaju cepat. Jiwa orang bunuh diri lebih mudah daripada jiwa orang kecelakaan. Mereka merepotkan, sering sekali melawan,” jawabnya.
Wanita itu mengangguk dan mengembalikan kartu tersebut ke sang pria. “Itu masih untung dibanding saat perang dunia. Bayangkan saja, aku harus lembur gara-gara banyak jiwa pergi, apalagi tidak sedikit yang memberontak,” gerutunya.
Pria itu memandang datar ke arah wanita yang tengah berdiri di sampingnya. “Lakukan pekerjaanmu dengan baik, Elly. Atasan akan marah jika kau menggerutu,” ujarnya mengingatkan wanita tersebut seraya menghembuskan nafas dan pergi meninggalkan sungai itu. Meninggalkan wanita bernama Elly yang kini tengah menatap sebal kearahnya.
Pria itu berjalan di tengah gelapnya malam hingga ia menghilang beserta angin malam. Tidak ada manusia yang menyadari itu, karena dia sendiri memang bukan manusia. Dia kegelapan yang bertugas mengambil jiwa sesorang dan mengantarkannya menuju neraka.
***
Tempat itu sangat gelap, benar-benar gelap. Seakan cahaya tidak ingin menyinarinya kecuali lilin yang bertebaran di sekitarnya hingga menampilkan sebuah sungai tak berujung dengan gondola dan sosok bertudung yang akan menjadi pendayung.
Pria itu melangkah santai menuju sosok bertudung tersebut. “Kharon!” panggil pria tersebut. Sosok bertudung itu menoleh ke arahnya dengan senyuman yang sungguh mengerikan.
“Tuanku si malaikat maut, apa yang Anda lakukan di sini?” tanya sosok yang dipanggil Kharon tersebut. Kharon, sosok bertudung hitam lusuh yang merupakan penjaga sungai kematian ini, ia adalah iblis tamak dan menjadikan harta sebagai dewanya.
Pria itu mendekat, mengambil kartu yang di bawanya dan menjatuhkannya di tanah hingga kartu itu mendatangkan sosok lain di sana. “Bawa jiwa itu ke Tartaros!” perintahnya.
Kharon hanya diam dan memandang kearah jiwa yang telah berbentuk manusia itu ketakutan. “Ah, jiwa pendosa benar-benar indah,” ucapnya seraya menyeringai kembali.
Pria itu menuntun sang jiwa menuju kearah perahu, sayangnya jiwa itu memandang ke arahnya memohon. “Tuan, tolong aku. Jangan bawa aku ke sana,” pintanya. Pria itu mengernyit, memandang jiwa pendosa ini. Kemudian pandangan itu berganti menjadi meremehkan dan menampilkan seringai.
Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan satu keping koin obolos dan menyerahkannya kepada Kharon. “Bawa pergi pendosa ini secepatnya!” perintahnya. Kharon hanya menangguk serta kembali menampilkan senyuman khasnya. Dia menjentikkan jari dan jiwa itu terseret hingga duduk di atas perahunya. “Mari kita mulai perjalananmu.” Kharon mendayung perahunya menjauh dari sang pria.
Kharon melirik ke arah pria itu. “Setelah kau kesana, aku menunggumu di sini.” Kharon menyeringai dibalik tudungnya. “Menaiki perahuku menuju Hades,” lanjutnya.
Pria itu hanya menatap kepergian Kharon dengan datar dan kembali menatap kartu yang entah dari mana telah berada di genggamannya. Matanya menyipit kala melihat lokasi pekerjaan barunya, “Denmark?”
***
Lagi-lagi dia menghela nafas mendapati lokernya di sekolah dipenuhi coretan-coretan yang menghinanya. Ia menutup pintu lokernya dan berjalan santai menuju kelasnya. Ini bahkan masih pagi, tapi senang sekali teman-temannya menjahilinya.
Ini nasibnya, nasib buruknya sejak kepindahannya ke Denmark. Tempat ini adalah tempat yang menurutnya sangat indah, tidak kalah indah dengan Belanda—tempat tinggalnya dulu. Namun, keadaan tidak bersahabat dengannya, kerap kali dia mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari teman maupun keluarganya. Semua itu dimulai sejak sang ayah meninggal dunia dan menyebabkannya menjadi seorang yatim. Ibunya pindah ke Denmark mengikuti suami barunya dan dia mendapatkan kakak tiri bernama Olivia.
Olivia sering menumpahkan kekesalannya kepada anak berumur 12 tahun seperti dirinya. Ia tidak tahu apa kesalahannya, tapi yang ia tahu pasti, Olivia tidak menyukainya—atau bahkan membencinya. Bagaimana ibunya? Ibunya seakan tidak peduli lagi dengannya, ia lebih sibuk bermesraan dengan suami barunya.
Kejam memang, tapi mau bagaimana lagi? Sekolah dan rumah sama dengan neraka baginya. Keadaan mentalnya pun seakan mendorong dirinya menuju hal-hal berbau bunuh diri, tapi dia tidak akan melakukannya. Dia akan merasa kalah jika melakukannya, dia benci kalah. Dia ingin balasan setimpal, bukan kekalahan.
Kelas pagi itu selesai, dia bergegas pergi dari mejanya. Berjalan cepat menghindari lirikan serta cemooh dari teman sekelasnya. Sungguh dia tidak paham, apa kesalahannya sehingga mereka berbuat kejam.
Dia berjalan menelusuri lorong yang akan membawanya menuju perpustakaan, di mana ia menyembunyikan diri dari kejahilan mereka. Ia memasuki ruangan sunyi itu dan menatap sekitar, masih sepi. Tanpa pikir panjang, dia segera melangkah ke arah rak buku paling pojok yang menyimpan berbagai karya sastra. Mengambil beberapa buku yang menurutnya menarik dan membacanya di sana seraya duduk dan menyandarkan dirinya di tembok.
“Hamlet?” ujarnya.
“Kau membaca itu?”
Ia terkesiap, menengok ke arah suara yang berada di sampingnya. Ia mengerjap, “kau siapa?” tanyanya sembari mengernyitkan alis.
Pria itu duduk di sampingnya sembari menyandar di tembok. “Kau suka itu?” Pria itu kembali bertanya. Anak lelaki tersebut hanya menggeleng dan mengalihkan pemandangannya kembali ke buku tersebut.
“Kenapa kau diam?” tanya pria itu.
Anak laki-laki itu tidak menggubris, dia tetap membaca karya sastra Shakespeare itu dengan khidmat. Tidak memperdulikan pria di sampingnya, dia merasa terbawa oleh jalan cerita buku itu.
Sungguh kisah tragis yang paling dia sukai. Balas dendam yang menjadi konflik utama, hingga sang Hamlet terbunuh karna kecurangan dari sang lawan. Oh, dan jangan lupa kisah cintanya bersama Ophelia. Tunggu, Ophelia? Namanya terdengar mirip dengan Olivia, sayangnya Olivia tidak berakhir tragis seperti kekasih Hamlet. Malah dia yang semakin terpuruk karna kehadiran kakak tirinya itu.
Dia menutup buku itu setelah selesai membacanya. Menghela nafas dan beranjak dari duduknya. Mengambil buku yang ia bawa tadi dan mulai berjalan, hingga langkahnya terhenti. Anak lelaki itu memandang datar pada sesosok yang di depannya. “Paman, tidak pergi?” tanyanya datar.
Pria itu, yang mengajak ngobrol dirinya tidak beranjak dari sisi sang anak laki-laki sejak tadi. “Tidak, aku ingin tanya saja. Kenapa kau tidak suka Hamlet?” tanyanya.
Anak laki-laki itu mengernyit. “Ah, tadi itu tidak suka karna aku belum baca. Tapi sekarang aku takjub,” jawabnya sembari berjalan melewati pria tersebut. Tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi, buku yang ia bawa tidak sedikit. Dia kelelahan membawa buku sebanyak itu dan diajak mengobrol di tempat.
Pria itu mengikuti langkah anak lelaki tersebut hingga dia meletakkan buku yang dibawanya di atas meja. “Jadi kau suka, Andre?” tanya pria itu membuat tubuh anak laki-laki bernama Andre tersebut terdiam.
Andre memandang ke arah sosok pria tersebut, “bagaimana paman tahu namaku?” tanyanya heran.
Pria itu hanya tersenyum, “apa kau percaya jika cerita Hamlet itu nyata sama halnya Jack The Ripper?” tanya pria itu mengalihkan pembicaraan.
Andre mengernyit bingung kepada sosok di depannya. Dia tidak menjawab pertanyaannya. Andre hanya menggeleng sebagai jawaban. Pria itu menarik kursi yang berada di dekat meja. Dia memberi arahan kepada Andre untuk mengikutinya duduk. Andre hanya mengikuti arahan itu dan memandang pria misterius ini.
“Aku akan mengisahkan cerita asli dari Hamlet, kisah selanjutnya dari dirinya. Kau mau?” tanyanya. Andre hanya mengangguk, dia penasaran akan pria ini. Pria tersebut menyeringai dan mengulurkan tangan yang diterima oleh Andre. “Namaku Gill.” Ujar pria misterius bernama Gill tersebut.
Gill menarik kursi disebelahnya, “Duduklah,” ujarnya. Andre segera duduk di kursi yang ditawarkan dan menghadap Gill. Gill tersenyum kearahnya, “apa kau tahu kisah lanjutan Hamlet?” tanyanya.
Andre menggeleng seraya memperhatikannya, “Bagaimana bisa ada lanjutannya? Bukannya itu fiksi?” Andre mengernyitkan alisnya saat memandang lelaki yang tengah menyeringai tersebut.
“Jadi kau berpikir begitu?” ia kembali bertanya. “Akan kuberitahu sebuah rahasia. Hamlet itu nyata. Pangeran Denmark yang membantai seluruh keluarganya itu nyata, sayangnya itu hanya dipandang fiksi karangan Shakespeare saat ini.”
Andre hanya dia memperhatikan pria itu. Meminta kejelasan dari ucapannya. Pria itu kembali tersenyum. Memerhatikan Andre dan mulai menjelaskan kelanjutan dari Hamlet—versinya.
Hamlet dikenal sebagai Pangeran Denmark yang terhasut oleh nafsu balas dendam kepada pamannya. Dia meninggal karena tertusuk pedang beracun saat bertarung dengan kaki tangan pamannya. Keluarga bangsawan tersebut tidak ada yang selamat, sehingga tahta diberikan kepada Raja Norwegia yang berhasil mengambil alih Denmark.
Tetapi, mati bukan berarti berakhir, itu adalah saat di mana jiwa memulai perjalanannya tanpa jiwa. Jiwa Hamlet tersesat dalam perjalanan menuju neraka, jiwanya dipanggil menuju atasan. Menebus seluruh dosanya dengan cara lain yang lebih menyedihkan, bahkan dia tidak mendapatkan kesempatan reinkarnasi.
Menyesal pun percuma, dia telah mati dengan menggenggam erat seluruh dosanya. Tak ada kata ampun baginya, dunia bawah adalah tempatnya, bersanding bersama Hades menuju kematian terakhirnya. Memento mori, ingatlah bahwa kau akan mati.
Andre mengenyit, “Malaikat maut?” tanyanya, “maksudmu Hamlet menebus dosanya dengan menjadi malaikat maut?” lanjutnya.
Gill hanya mengangguk. “Ya, itu hal yang setimpal untuknya,” dia menghela nafas perlahan. “Hidup dalam kesepian dan kematian tanpa mengetahui kenapa dia menjadi malaikat maut, bukankah itu menyedihkan,” lanjutnya.
“Kenapa?”
Gill memandang bocah itu. “Hal itu lebih mengerikan daripada yang kita bayangkan. Tak ingat apapun, bahkan dosa apa yang kita perbuat pun tak dapat diingat. Mereka tak bisa menebus dosanya sebelum mengetahui apa yang telah mereka perbuat,” jelasnya.
Dan akhirnya aku bisa menebus dosaku, menghilang dan menuju kematian keduaku.
Andre memandang sendu pria di depannya. “Itu terdengar sangat menyedihkan. Tapi, kenapa paman tahu kisah itu?” tanyanya dengan raut penasaran.
Gill menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ini hari terakhirnya. “Entahlah, aku hanya mengingatnya saja.”
Bocah itu semakin mengerutkan alisnya tak mengerti. Pria itu memandang ke arah Andre. “Hilangkan perasaan bencimu kepada keluargamu. Jiwamu masih murni, hilangkan niatan itu, Andre,” ujarnya seraya beranjak dari kursinya menuju rak-rak buku yang lebih jauh dari tempatnya.
“Maksud paman?”
Gill hanya tersenyum kecil dan melanjutkan langkahnya. Sebelum dia menghilang di balik rak, pria itu berbisik kepada angin untuk menyampaikan pesannya ke Andre.
“Memento mori, bocah!”
***
Anak laki-laki berusia 12 tahun tersebut melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah. Berjalan perlahan menelusuri trotoar untuk sampai ke rumahnya dengan perasaan linglung. Sesuatu seperti membayangi pikirannya, sesuatu yang seakan memperingatinya dan membuatnya melamun memikirkan hal tersebut.
“Nak, jangan main jauh-jauh!”
Lamunannya terpecah saat mendengar suara ibu-ibu yang berada di taman yang berada di pinggir jalan. Ah, tidak terasa kakinya telah membawanya menuju taman dekat rumahnya. Andre melirik ke arah taman tersebut, dua orang wanita dewasa yang tengah berbincang tanpa memperhatikan anak mereka yang tengah bermain bola bersama.
Ia tetap melangkahkan kakinya dengan tenang. Rumahnya berada di depan, tinggal beberapa langkah lagi dia akan berada di depan gerbang rumahnya, hingga suara klakson menghentikan langkahnya.
Dia menoleh ke belakang, membulatkan matanya lebar dan berlari ke tengah jalan raya. Andre tidak menyadari apa yang telah dia lakukan, semuanya bergerak karena insting. Ia menyelamatkan salah satu anak dari wanita yang ia lihat tadi.
Anak kecil itu berlari mengambil bola yang menggelinding ke jalan raya tanpa tahu ada sebuah mobil yang melaju kencang. Kecelakaan itu terlalu cepat, dia tidak sampai menggapai tubuh anak kecil tersebut membuatnya mendorong tubuh mungil itu dan menggantikannya mengalami hal tragis ini.
Sungguh bodoh dirinya, rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya, dia hanya perlu mengabaikan klakson mobil itu dan terus berjalan tanpa menengok ke belakang, maka dia akan selamat, bukannya terkapar di jalan dengan darah yang tak kunjung berhenti mengalir dari kepalanya.
Ha~ memento mori, ya.
Andre tersenyum kecil, cahaya matanya telah meredup perlahan. Ini akhir hidupnya dan dia tidak menyesali hal ini. Ia tidak perlu mati dengan cara hina, ini adalah hal terbaik selama hidupnya. Menyelamatkan seseorang sebelum kematian itu menyelamatkannya dari kehidupan.
Pupilnya bergerak perlahan, memfokuskannya ke arah pria yang tidak asing baginya. Ah, paman di perpustakaan. Dia tidak bisa bergerak lagi saat sebuah kartu melayang di atasnya, kartu itu seperti membawa lari seluruh hidupnya hingga ia tidak bisa menahan nafasnya untuk tetap ada.
***
Andre membuka matanya perlahan. Dia memandang sekeliling dan hanya mendapati sebuah kegelapan yang diterangi oleh lilin kecil. Ia mendudukkan tubuhnya dan mencoba memokuskan pandangannya. Di mana dia? Apa ini neraka?
“Andre..”
Dia menoleh kearah sumber suara yang memanggilnya. “Ah, paman Gill,” sapanya kepada pria yang entah sejak kapan berada di sampingnya. Gill membantu anak kecil itu untuk berdiri dan memapahnya mendekati sebuah sungai dengan sebuah perahu yang nampak reyot.
“Apa kau sudah tahu, apa yang telah terjadi padamu?”
Andre hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Gill. Mereka berdiri di tepi sungai seraya memandang ke arah sesosok yang menaiki perahu reyot tersebut. “Apa ini neraka, paman?” tanyanya polos.
Gill menggeleng, “tidak, ini gerbang menuju dunia bawah. Kau harus diadili untuk mempertanggung jawabkan dosamu.”
Andre mengangguk mengerti. Dia hanya memandang sendu ke arah sungai yang beriak tenang. Dia telah mati, ia tidak berhak hidup lagi. Ah! Apa ini arti dari memento mori?
“Apa kau menyesal?” Gill kembali bertanya. Andre terdiam sejenak kemudian menggelengkan kepala. “Kenapa?” lanjut Gill.
Andre menghela nafas, “Aku tidak menyesali apapun, hidup itu untuk mati. Apa yang harus kusesalkan, semua pastinya akan mati. Memento mori. Bukankah kau mengatakan itu?” jawab anak laki-laki itu. Gill tersenyum. Andre lebih dewasa dari yang terlihat, sayang sekali anak ini harus mati muda.
Sesosok yang berada di atas perahu bernama Kharon tersebut menoleh kearah Gill. Di balik tudungnya dia menyeringai. “Dia jiwa terakhirmu yang sangat bersih, Gill,” katanya, “Hades menunggumu di sana, mari kita pergi untuk mengakhiri penderitaanmu.”
Anak lelaki tersebut mengernyit. Sepertinya dia baru sadar situasi di sini, apa paman yang ditemui di perpustakaannya dalah malaikat mautnya? Jika iya, tidak heran memandangnya di tempat ini.
Gill menggenggam erat tangan Andre, menuntun bocah itu untuk menaiki perahu bersamanya. Gill mengeluarkan dua keping obolos pada sakunya dan memberikannya pada sosok tamak yang akan mengantarnya menuju tempat terakhirnya.
Anak laki-laki itu tersenyum kecil dalam perjalanan mereka. Memento mori, dia tidak akan melupakan istilah itu. Kematian akan menjemputmu di saat tiba untuk merenggut kehidupanmu. Tidak ada yang abadi di dunia ini, semuanya hanyalah karangan fana sang pencipta, dan ingatlah suatu hari nanti kau akan mati.
-END-
PENULIS MERUPAKAN MAHASISWA JURUSAN ILMU KOMUNIKASI ANGKATAN 2017 UNIVERSITAS BRAWIJAYA.