Lompat ke konten

Dua Puluh Tahun Reformasi, Mau Dibawa Kemana?

Oleh: Ahmad Zaki*

Sudah dua dua dekade lamanya bangsa Indonesia mengalami proses reformasi sejak tahun 1998-2018. Pertanyaannya adalah, akan dibawa ke mana arah reformasi Indonesia? Tentu pertanyaan tersebut terdengar sedikit minor dalam wacana dominan yang terlanjur larut dalam perdebatan kosong tidak bermakna di ruang publik yang sudah semakin massif antara kubu “kecebong” (sebutan bagi partisan Jokowi) dan kubu “kampret” (sebutan bagi partisan Prabowo).

Menurut hemat penulis, pertanyaan diatas untuk sementara ini memang masih menjadi pertanyaan klise yang tidak memiliki jawaban pasti. Alasannya adalah karena hingga saat ini, masyarakat Indonesia, terlebih politisi, belum terlihat memiliki pijakan maupun referensi dalam memaknai reformasi. Terutama dalam sikap bagaimana seharusnya berdemokrasi. Aspek demokrasi ini menjadi penting dalam melihat perjalanan reformasi di Indonesia karena menjadi bingkai besar bagaimana sistem politik seharusnya bekerja.

Kegamangan dalam berdemokrasi di Indonesia bisa dilihat dalam beberapa hal. Pertama, sejak pasca reformasi kita tidak pernah mendefenisikan idiologi politik yang menjadi pijakan dalam berkontestasi. Sebagaimana tesis Miztner (2004) yang menjelaskan kutub idiologi politik pasca pemilu 1999 justru kembali seperti semula pada awal pemilu pertama tahun 1955, yaitu ideologi agama (Islam) dan ideologi sekuler namun dengan corak yang lebih ketengah. Tentu pertarungan ideologi semacam ini tidak banyak membantu dalam proses perdebatan kebijakan di parlemen. Sebagaiamana perdebatan isu kebijakan tentang BBM yang tidak pernah jelas posisi diantara partai. Saat menjadi oposisi pro subsidi BBM. Namun, saat menjadi pemerintah, berganti menjadi pro pencabutan subsidi BBM.

Kedua, akibat tidak ada kejelasan ideologi yang bisa dipertentangkan satu sama lain, maka tidak ada kejelasan mengenai posisi kelompok rezim pemerintah dan kelompok oposisi. Hasilnya, sebagaiamana tesis Slatter (2004) ada kecenderungan semua partai untuk menjadi bagian dari rezim pemerintahan sehingga hampir tidak ada yang bersedia menjadi partai oposisi. Dalam kondisi seperti ini, demokratisasi di Indonesia akan rentan terjebak oleh sistem demokrasi korup karena tidak bekerjanya checks and balances. Atau dalam istilah Ambardi (2009) menyebutnya dengan istilah sistem kartel.

Ketidak jelasan posisi partai juga terlihat dalam rangkaian pilpres secara langsung mulai tahun 2004 hingga 2014, semakin tidak jelas posisi antara kelompok reformis dan kelompok rezim orba. Kedua kelompok tersebut saling bertukar tempat. PKB sebagai partai reformis berkoalisi dengan partai warisan Soeharto mengusung Wiranto sebagai Capres. Pada pilpres 2009, Megawati yang dikenal tokoh oposisi sekaligus reformis justru bersandingan dengan Prabowo yang dikenal pemain kunci dalam bangunan rezim orde baru. Namun saat Pilpres 2014 keduanya berbalik saling berseteru. Begitu juga dengan Amin Rais yang dikenal sebagai tokoh reformis, namun pada pilpres terakhir Tahun 2014 juga berkoalisi dengan tokoh-tokoh Orba.

Ketiga, ketidak jelasan posisi partai dalam kontestasi demokrasi menyebabkan kegamangan konsituen dalam menentukan partai pilihannya. Hal inilah yang menyebabkan tingginya derajat volatilitas (perpindahan dukungan secara massif dari satu partai kepartai lain dalam beberapa periode pemilu) sehingga tidak terbentuk party id atau identitas kepartaian. Kegagalan membentuk identitas kepartaian sebagaimana tesis Mainwairing (1999) menyebabkan gagalnya proses pelembagaan sistem kepartaian sehingga harapan penyederhaan partai dalam mewujudkan efektifitas presidensialisme mustahil terjadi.

Keempat, seluruh rangkaian narasi di atas, pada akhirnya menyebabkan sentiment identitas dan politisasi agama justru menjadi pijakan dalam berdemokrasi di Indonesia. Gerakan massa turun ke jalan yang seharusnya menjadi gerakan alternatif extra parlementer, justru dipolitisasi menjadi kampanye sara untuk kepentingan kontestasi politik. Perdebatan kebijakan paradigmatik yang seharusnya dibangun di ruang publik seperti media sosial, justru yang terjadi adalah saling perang isu hoax dengan bingkai sentimen identitas dan politisasi agama.

Jika cara berdemokrasi terus terjadi sedemikian rupa, maka tidak ada perubahan mendasar pasca reformasi kecuali desentralisasi kekuasaan. Era Orde Baru kekuasaan tersentralisasi di tangan Soeharto. Era Reformasi terdesentralisasi ke banyak aktor kekuasaan. Maka, tidak perlu heran jika wajah demokrasi Indonesia kontemporer  sebagaimana kesimpulan Vedi hadis (2017) dalam forum diskusi tahunan yang diselenggarakan Australian Nasional University (ANU) yang bertajuk Indonesia Update menujukkan bahwa pelembagaan demokrasi Indonesia menuju illiberal democracy.

Penulis Merupakan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya

(Visited 269 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?