Oleh : Anastasia Anjani*
Mei, gadis cantik kembang desa Selamanya Bahagia. Parasnya rupawan, perilakunya menawan, tak heran banyak pemuda yang luluh dan jatuh cinta padanya. Sayangnya, setampan-tampan pemuda yang memujanya, tak ada satu pun hati Mei terketuk untuk menyukainya. Tetap saja Mei selalu menjadi gadis yang bersahaja dan ramah pada siapa pun warga desa Selamanya Bahagia. Sama halnya dengan Juna, pria tampan pujaan para wanita kota Canggih Sekali. Tampan dan cerdas, siapa wanita yang tidak kepincut padanya? Beda halnya dengan Mei, Juna sudah memiliki kekasih. Yang disayangkan, ia harus membina hubungan jarak jauh dengan pujaan hati, karena sang pujaan hati harus mengenyam pendidikan di negeri Sakura. Juna tetap setia dan tak ada wanita yang bisa menandingi pujaan hatinya, sekali sudah jatuh ia akan jatuh sedalam-dalamnya.
Mei adalah anak kepala desa Selamanya Bahagia. Ayah Mei bernama Pak Agustus dikenal sebagai sosok yang bijaksana, tegas tetapi tetap dekat dengan warganya. Banyak orang yang menyukai Pak Agus, karena kepribadiannya yang menyenangkan. Pak Agus juga dinilai sebagai orang yang sangat peduli terhadap lingkungan—bisa dikatakan, ia menjadi aktivis lingkungan. Ia telah berjasa menyelamatkan banyak ruang terbuka hijau di lahan-lahan yang hampir mau dibangun gedung-gedung kokoh raksasa. Mei dan Pak Agus adalah perpaduan ayah dan anak yang sempurna. Mei juga menjadi tokoh pemerhati lingkungan di desanya, selain menjadi pelukis dan fotografer amatir—Mei tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia tetap menyukai dan mencintai pekerjaannya walaupun tidak menghasilkan uang yang berlimpah ruah, karena menurut dirinya, kebahagian itu tidak melulu soal uang. Memang uang adalah media untuk menjadi bahagia.
“Ayah, Mei ada tawaran untuk memotret prewedding di kota Canggih Sekali, mungkin Mei akan menginap selama 3 hari, tidak apa-apa ‘kan, Yah?” tanya Mei sambil memotongkan buah Apel untuk sang Ayah.
“Tidak apa-apa, Mei, yang penting kamu kalau ada apa-apa, hubungi Ayah saja,” sahut Ayah sambil mengambil potongan buah Apel dari piring.
“Ya sudah, Yah, Mei siap-siap beresin barang ya. Besok Mei mau berangkat soalnya hehe,” ucap Mei sambil tertawa dengan lesung pipit khasnya.
“Iya Mei,” balas Ayah sambil mengusap kepala Mei.
Mei dan pak Agus memang hanya tinggal berdua, setelah kepergian Bu Juni, yaitu ibunda Mei. Rumah mereka hanya berisikan 2 orang. Walaupun telah kehilangan orang tercinta, hidup Mei dan pak Agus tetap baik-baik saja dan terlihat bahagia.
Matahari kembali menunjukkan auranya, waktu telah menunjukkan pukul 7. Mei bergegas ke stasiun untuk menuju tempat pemotretan. Mei selalu diantar oleh sang Ayah jika ingin berpergian jauh. Perjalanan ke stasiun memakan waktu sekitar 10 menit. Sesampainya di stasiun, Mei berpamitan dengan sang Ayah.
Mei duduk di kereta. Awalnya, ia sendiri, sampai 2 stasiun pertama, sampai pada stasiun ketiga duduklah pemuda di sebelah Mei. Awalnya Mei terlihat tidak mengacuhkan pemuda tersebut; terlihat cuek dan tidak peduli. Sampai pemuda itu mengeluarkan salah satu buku antologi puisi dari penulis favoritnya, yaitu “Sebelum Sendiri” karya Aan Manshur. Ia tidak bisa untuk tidak memulai percakapan dengan pemuda tersebut.
“Masnya suka Aan Manshur?” tanya Mei sambil melepas earphone dari kupingnya.
“Iya, Mbak, saya selalu baca karya-karyanya, dan kebetulan saya belum baca yang ini,” balas pemuda tersebut.
“Wah, saya juga penggemar Aan, Mas. Oh iya, nama saya Mei,” balas Mei sambil menjulurkan tangannya.
“Oh, saya Juna,” sahut pemuda tadi sambil menjulurkan balasan tangan Mei.
Kemudian mereka berdua terlihat memulai percakapan panjang satu sama lain. Keduanya sangat terlihat antusias dengan perbincangan penghilang jenuh di kereta. Mei menyadari satu hal, ia melihat tiket kereta api yang menjadi pembatas buku Juna dan tujuan mereka sama, menuju kota Canggih Sekali.
“Juna, kamu mau ke situ juga?” tanya Mei penasaran.
“Iya, aku tinggal di situ,” jawab Juna.
“Wah kebetulan aku mau ada pemotretan juga di Hotel Shine.”
“Itu hotel ibuku, aku juga bekerja di sana,” ucap Juna.
“Kamu pemilik hotel itu, kamu pasti kaya dong,” guyon Mei terhadap Juna.
“Itu hotel kecil kok, bukan bintang 5 juga. Aku gak kaya aku sederhana aja,” balas Juna sambil tersenyum kecil.
“Yaudah besok kamu jadi tourguide-ku ya, sehabis pemotretan aku ingin jalan-jalan sebentar,” ajak Mei.
“Ya bisa diaturlah itu,” balas Juna.
Setelah menikmati perjalanan selama hampir 7 jam lamanya, Mei dan Juna akhirnya sampai di Kota Canggih Sekali. Mei tidak mengetahui apa-apa soal kota Canggih Sekali. Ia beruntung menemukan Juna di kereta.
“Jun, kita naik apa Jun ke hotelnya?” tanya Mei.
“Ini aku menitipkan mobil di stasiun, santai aja,” jawab Juna.
“Oke baiklah.”
Mei dan Juna melanjutkan perjalanan menuju Hotel Shine. Perjalanan cukup sebentar karena lokasi stasiun dan hotel berdekatan. Di kepala Mei muncul banyak pertanyaan, ia merasakan kota ini sesak, tak ada ruang untuk bernapas, tak ada angin yang terasa sepoi-sepoi yang menyegarkan raga. Pohon-pohon terasa minim pada pandangan mata. Sesuatu yang bewarna hijau amat sangat asing di sini.
Sesampainya di hotel, Mei hanya termenung diam. Ia tak berbicara sepatah kata pun. Juna menjadi kebingungan, ia berpikir Mei sedang sakit. Juna bertanya kepada Mei, akankah dirinya baik-baik saja, Mei mengelabui Juna. Ia berkata tidak apa-apa, padahal dirinya merasa terasing dengan kota ini. Tak ada ruang untuk makhluk lain selain manusia untuk hidup. Hanya ada bangunan megah nan kokoh berjajar satu sama lain. Amat sangat kokoh hingga tak bisa diselipkan tumbuhan penyejuk udara di sela-selanya. Ah, sudahlah Mei, jangan terlalu naif terus-terusan. Ini bukan kotamu, mereka punya tempat sendiri, mungkin ini yang dinamakan dualisme.
Mei melakukan pekerjaan sebagai fotografer, memotret pasangan yang sudah menemukan rumahnya masing-masing. Terkadang Mei iri terhadap pasangan yang telah memiliki pelabuhan bagi hati setiap insan. Mei tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya. Juna melihat Mei dari kejauhan, senyum Mei sangat manis dilengkapi dengan lesung pipitnya dan poni depannya menambah nilai tambah dirinya yang sangat manis. Juna kemudian tersadar, ia tidak boleh berpikir seperti ini. Ia harusnya telah menemukan pelabuhan. Mei menegur Juna dari kejauhan mengajak untuk saling mendekat, dan Juna hanya melempar senyuman.
Setelah 3 hari berada di Kota Canggih sekali, Mei berpamitan dengan Juna. Mei merasa berat hati meninggalkan kota tersebut, seperti ada yang tertinggal. Mei sadar ia tak menyukai kota ini, tetapi ia merasa telah menemukan rumah di kota ini. Apakah itu Juna? Ah, Mei melamun terlalu jauh. Mei tetap harus pergi, karena ia tetap harus pulang ke rumah. Bagaimana pun caranya, ia tetap harus pulang ke rumah.
Mei sampai di rumah. Ia melemaskan badannya di atas kasur. Mei mendengar suara-suara alat berat yang cukup mengganggu telinganya. Ia kemudian membuka jendela kamarnya, melihat palang bertuliskan akan dibangun hotel, bertuliskan Juna hotel. Nama yang sangat tidak asing bagi dirinya. Mei mencoba untuk berpikir positif, mungkin itu bukan Juna yang membingungkan hatinya. Mei keluar dari kamar dan menemui ayahnya. Mei bertanya kenapa kebun Bu April tetangganya akan berubah menjadi Hotel. Sang Ayah kemudian bercerita secara detil. Mei tidak percaya, Mei merasa hatinya terkoyak, ia tidak menyukai dan tidak bisa membayangkan desanya akan sesak dengan bangunan-bangunan komersial. Mei ke luar rumah, tak sengaja ia melihat Juna.
“Juna, apa yang kamu lakukan disini?” tanya Mei penasaran.
“Setelah kamu pergi, aku pergi 10 menit kemudian untuk memantau proyekku Mei,” jawab Juna.
“Jadi, ini bangunan milikmu?” tanya Mei berapi-rapi.
“Iya, Mei. Memangnya kenapa, rumahmu ternyata di sini?” jawab Juna dengan nada yang lembut.
“Iya, rumahku di sini dan kamu seharusnya tidak memindahkan rumahmu ke sini Jun,” ujar Mei dengan nada membentak.
“Mei, tenang dulu,” balas Juna mencoba untuk menenangkan.
“Aku kira kamu berbeda, Jun. Aku awalnya berusaha ingin merebut ruang di hatimu, tetapi keadaannya sekarang berubah, aku lebih senang merebut ruang hidup dirumahku,” balas Mei.
Juna hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, tidak menyangka bahwa wanita yang membuat dirinya terpesona harus membencinya. Mei kemudian masuk ke rumah, air mata keluar dari kelopak matanya. Mei dilema apakah ia harus merebut ruang di hati Juna ataukah ruang hidup desa Bahagia Sekali.
*Penulis merupakan mahasiswa program studi ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini sedang aktif sebagai anggota LPM Perspektif divisi sastra.