Oleh: Ana Widiawati*
dari Merah untuk kehidupan,
apabila aku sempat menuntaskan satu malam dengan lelap,
aku tidak khawatir pada adik-adikku yang menggigil
aku tidak peduli pada tuan-tuan tanpa kutahu namanya
yang berserang kata
kulihat tanpa minat di televisi tetangga
aku hanya bisa menggambar
tentang esok yang mengerikan bila adik-adikku kelaparan
atau mereka menyudut di kamar tanpa jendela
ketika aku tak berdaya membelikan permen atau mainan
harga dua ribuan
dari Merah untuk kehidupan,
aku ini jalang
berkeliaran
ketika sebayaku berbaris dan berseragam di senin pagi
aku memilih jalan sunyi
dengan keberanian yang kadang dikebiri tuntas oleh kemalangan
tetapi aku terus menumbuh
untuk menggugat
dan tidak ada jalan bagiku untuk kecut atau bertekuk
sebab adik-adik harus kuperjuangkan bebas
dari sesak-sesak yang mencekam
dari Merah untuk kehidupan,
aku tetap jalang yang nyalang setiap malam datang,
pagi menjelang, dan malam kembali menampakkan wajahnya yang kelam
aku, Merah,
lahir ketika kehidupan ini mencekik bapak-ibu di depan mataku
dan adik-adikku hampir sekarat bila aku tidak menjadi jalang
berkeliaran
dari Merah
si jalang yang berkeliaran
kehilangan
dan dihinakan
*Penulis merupakan mahasiswa program studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini sedang aktif sebagai pimpinan divisi penelitian dan pengembangan LPM Perspektif 2017.
**Untuk seorang teman yang mengabarkan dirinya sebagai Merah dan berdiri dengan gagah meski kehidupan begitu enak disumpahserapah