Oleh: Lalu Imaduddin*
Tuhan diam saja dan tidak menjawab apapun sewaktu Adam Susano bertanya “apa gunanya kesenian?” saat formasi mulutnya baru saja sampai pada bentukan gigi seri, dan keisengan tuhan untuk tidak memberikan tulang kepada lidah. Sehari sesudahnya, Adam Susano memakan buah khuldi. Lalu ia turun ke bumi. Bersama Hawa Dingin, yang boleh dibilang artis dangdut dari Semar-angts.
Pertanyaan itu juga kamu ajukan padaku sewaktu kamu baru saja menamatkan ad astra il scipio, sebuah buku filsafat tentang hakikat kesenian terhadap metabolisme beruang pesisir sewaktu proses oksidasi massa saat surf dive dan hell pit.
Aku jadi kepikiran dan duduk di depan komputerku. Pelan tapi semakin pelan. Aku mulai menulis surat kepadamu. Tenang saja. Surat ini kutulis menggunakan huruf Times New Roman, size 12; marjin custom 4343; juga ditulis dalam sebuah kertas portrait berukuran A4. Atau singkatnya, aku menulis ini sebagai attachment yang nantinya akan aku kirimkan via surat elektronik; menggunakan aplikasi elektronik tulis menulis serba serbi populer bernama Microshaft Word.
Sebagai awalan, ingat baik-baik, aku menulis ini bukan karena iseng, atau menganggur dan tidak ada kerjaan; aku menjawab pertanyaanmu sebab aku tahu betul apa sebenarnya guna kesenian. Aku serius betul. Alasannya kenapa aku menjawab pertanyaanmu sudah sangat jelas dan sahih, kira-kira begini: jawabanku ini dapat kamu lihat sebagai sebentuk protes terhadap tidak adanya turut campur atau intervensi “ketuhanan” dalam proses pendefinisian yang jelas mengenai kegunaan-fungsionalitas kesenian. Bukannya tuhan itu yang mencipta dan manusia yang menentukan? Yang demikian tersebut lumayan sering juga didengungkan seniman cum intelektual self-claim liberal muda-mudi disko ibukota yang masih tidak bisa membedakan mana itu open mind, open access, open sitik joss, dan ketololan.
Baeklah, tidak usah bercingcang-cingcong lebih lama. Sejauh pemahamanku, setidaknya aku bisa membagi menjadi tiga macam penjelasan, apa itu guna-guna dan fungsi kesenian. Ketiganya tentu saja bukan pendapatku, ketiganya merupakan pendapat tiga orang figur ternama dari dunia kacang keledai dan cerebral palsy intergalaksi.
Yang pertama dan yang paling ringkas dari ketiganya, yakni sebuah catatan dari Herr Himmler Rich Man (Aufklärung von Der Mannigfachen des Ard, hal. 457), beliau menyatakan guna kesenian itu sebenarnya berasal dari “seorang atau lebih tepatnya sebuah patung yang dibuat dari menghantamkan kapak perimbas kepada sebuah batu berbentuk kubus sempurna, dan semenit kemudian disambar petir yang terpanggil oleh suara adzan yang muncul dari pori-pori teripang darat”. Dari sambaran petir itu, lanjutnya, lahir sebuah inkripsi tunggal bertuliskan “sapta marga panca dhahara”.
Usut semakin kusut, inskripsi tersebut berasal dari bahasa proto-melayu awal, atau boleh dibilang sebagai bahasa pertama yang diciptakan oleh spesies kurang kerjaan homo sapiens–homo ludens yang kawin dengan ular belitong. Artinya kurang lebih dapat kamu terjemahkan sebagai “ing madya mangun bale kambang” atau dalam bahasa ibukota berarti “you know, its such a which is…i mean, at least…” atau dalam bahasa indonesia kebumen berarti “makan tidak minum, lupa tidak ingat”. Kalau mau disederhanakan lagi, inskripsi tersebut secara khusus merujuk kepada “kesenian” dimana frase “ing madya” berarti “dear art..”. Sehingga kemudian, agaknya kesenian dapat dijelaskan gunanya sebagai penyambung ingatan untuk lupa makan. Demikian, Herr Himmler Nu Agung menyimpulkan bahwa guna kesenian adalah untuk membiasakan diri terhadap kondisi pos-transens “windy inside/masuk angin” dari kelalaian terhadap menyisihkan uang untuk empat sehat lima sempurna. Jangan lupa makan, kamu.
Sementara lagi dalam L’Pastiche Pour Odour la Amour (Joseph Commie, 1964, hal. 87), seorang dokter bedah saraf simpatisan marxist dan juga seorang relawan nazi anti-jesuit dan kaum yahudi non-papa, yang concern penelitiannya adalah menciptakan zombie-zombie komunis dengan cara mengawetkan beberapa figur Bolshevik untuk difrankeinstein-nisasikan, merumuskan guna kesenian dalam sembilan pakta, yakni; (1) Rasan-rasan (Membicarakan keburukan orang lain); (2) Memaki-maki; (3) Agar atheis; (4) Agar atheis; (5) Agar atheis; (6) Agar atheis; (7) Senioritas; (8) Senioritas; (9) Senioritas.
Lebih jauh lagi, Uda Marizki dalam Van Madangi: Quo Vadis Nasi Padang (1998, hal. 7), terang-terangan dalam pengantar kuratorialnya tersebut memaparkan, bahwa guna kesenian hanyalah sebagai alat tipu-tipu dan opium massa untuk membuat muda-mudi disko dan remaja-remaja cacat pikir menolak kelurusan dan faedah berpikir yang baik.
Demikian, tulisku padamu panjang lebar.
Aku membayangkan, maaf, lebih tepatnya menginginkan dan berharap, nanti sesudah kamu membaca suratku ini yang tertanggal bulan kedua puluh, tahun 70 UC (Universal Century). Kamu akan motoran sepanjang Cikini-Suzuran meneriakkan “weci! weci! kacang panjang katsudon!!!”
Hehe. Air liurku jatuh menyentuh dagu. Beberapa helai janggut yang tumbuh; basah dan lunglai. Beberapa percik liurku, hinggap pada tuts-tuts keyboard; Por Una Cabeza mulai terdengar. Suara-suara major dari dentuman piano yang saling-silang dengan nada-nada minor; berjalan di permukaan ice ring. Sochi, Desember 2016, Mao Asada pensiun dari dunia figure skating.
Aku yang membayangkan kamu kelabakan karena jualan wecimu yang tidak laku-laku itu jadi teringat sebuah cerita, yang dahulu pernah diceritakan temanku. Namanya Maman, panggilannya Bung Montage. Ya. Benar. Montage yang dibacanya “montej” atau montase dalam bahasa manusianya. Kenapa Montage?
Alkisah, Ujar Maman Bung Montage mengawali ceritanya. Tidak lupa batuk yang diberat-beratkan dua kali: Uhuk! Uhuk!
Dahulu kala di penghujung tahun Golgota, sejuta tahun sesudah kiamat, pada bulan terakhir pemerintahan Raja Garon. Zinahmata, sebuah negara indie yang dibangun oleh tujuh pahlawan indie untuk menyelamatkan umat manusia dari kiamat kultur akibat dari meledaknya sumbu mesiu milyaran low-culture di seluruh dunia, geger nasional. Persoalannya adalah ditemukannya artefak kesenian yang diduga level artsynya itu adalah ‘ Ultra SS’ atau Ultra Super Sambel. Artefak tersebut adalah sebuah selebaran digital tentang parade film ghibli (dibacanya bukan gibli, tapi goblog) di sebuah negara bernama Indoensihfaijhioeaoa (yang bisa dibaca indon saja).
Menurut catatan Bapakda Gunawan Guntur dalam 1000 Tahun Manikebu (Manifesto Kebumen Indie, Balai Pus-Pus Sini Pus-Pus Main Sama Abang, 1962, h.35), sejuta satu tahun yang lalu, negara bernama Zinahmata tersebut tenggelam dan hilang dalam perang sipil. Diduga, hilangnya Zinahmata dari peradaban manusia itu penyebabnya adalah parade film ghibli (yang bisa dibaca goblog, bukan gibli) itu sendiri. Parade tersebut dianggap oleh segelintir fanatis loser di real life; loser di internet, sebagai puncak dari segala omong kosong yang diproduksi oleh highborn kultur media-media massa independek-akal yang tidak bosan-bosan mengawali paragrafnya dengan one liner “we’re so excited” (Oh ya? Sungguh? Wow mindblowing super real facts) terhadap parade tersebut.
Dalam sebuah catatan lain yang berjudul At The Door of Hell We’ve Seen More Hentais Than Ghibli-Produced Anime: But Hayao Miyazaki Doesn’t Consider His Works As An Anime But As A Movie So Screw That Old Man Why Don’t You Just Retired For Real And Then Die! yang ditulis oleh seorang anonim bernama Capong, dan juga sepertinya ditulis dengan penuh amarah dan sangat tergesa-gesa. Pada halaman 789 terdapat satu kalimat yang diduga menjadi pemicu bacok-bacokan yang kemudian berlangsung selama satu tahun dan mengakhiri riwayat negara bernama Indoenspojfalga;jafa (dibacanya indon saja). Kalimat tersebut berbunyi: “ghibli ke laut aja! Hentai jauh lebih better ketimbang humanisme movie you punya bullshitt”.
Sejuta satu tahun sesudahnya, saat ini, sewaktu aku bercerita padamu. Maman Bung Montage berkata padaku, kalau artefak berupa selebaran digital ini sekarang berada di sebuah negara yang mengakui “selera indie” sebagai satu-satunya agama nasional. “Selain agama seleraindie, agama-agama lainnya kafir, bigot, monster tak beradab, dan tentu saja sampah. Negara itu tidak ada di peta. Sama seperti Zinahmata saat ini,” kata Maman Bung Montage. “Warga negara itu ada dimana-mana, lanjutnya. Mereka seperti sekumpulan secret society yang menjadikan artefak tersebut semacam warisan tuhan dalam agama seleraindie,” ujar Maman Bung Montage.
Tidak lama, lanjut Maman Bung Montage, sepuluh ribu tahun sebelum sekarang; ada sebuah negara bernama Society For The Religious Human Beings (SFTRHB) yang menemukan sebuah fosil berukuran folio A4 dalam format digital. Ternyata fosil tersebut merupakan sisa-sisa selebaran digital parade film ghibli (yang bisa dibaca goblog, bukan ghibli) di sebuah negara indie bernama Zinahmata itu. Konon, dengar-dengar kabar, lanjut Maman Bung Montage, kabar ini masih seperti kabar angin, belum tentu ada benernya, pungkasnya. Kemudian beliau mengambil nafas cukup panjang; ada sekitar dua sampai tiga belas pulau terlampaui.
Lewat keterangan SFTRHB, kita ada mengetahui kabar lain. Kalau waktu ditemukannya artefak tersebut di Zinahmata, seluruh rakyat indie mereka bunuh diri massal. Bunuh diri tersebut, kata Maman Bung Montage, adalah sebuah protes terhadap tidak adilnya nasib terhadap nenek moyang indie mereka di Indoenajghgksajgia (bisa dibaca indon saja) pada saat parade film ghibli (yang boleh dibaca goblog, bukan gibli) itu berlangsung di Zinahmata. Sehingga konon, dengar-dengar kabar, sekali lagi kabar ini kabar angin, ujar Maman Bung Montage: “masih belum tentu kebenerannya”.
“Warga-warga itu mati dalam perang sipil. Bukan perang sabil,” lanjut Maman Bung Montage. “Bunuh diri rakyat indie Zinahmata ini adalah protes skala masif terhadap nasib,” seru Maman Bung Montage kepada angin yang tak ada kabarnya. “Sebuah solidaritas!” Lanjut Maman Bung Montage, semakin berapi-api. Protes itu melampai selang waktu sejuta tahun. Sehari sesudah protes, tidak ada lagi negara indie bernama Zinahmata.
“Betapa mindblowing bukan?” Tanya Maman Bung Montage kepadaku. Aku manggut-manggut saja tidak peduli. Sementara Maman kawanku, Bung Montage panggilannya, belum menuntaskan ceritanya.
Kembali lagi ke SFTRHB (Society For The Religious Human Being), sekitar 19 tahun yang lalu, kata Maman Bung Montage, para ulama dan tabi’in mereka membakar fosil ghibli (yang bisa dibaca goblog bukan gibli) di halaman waqaf milik negara. Peristiwa itu disiarkan besar-besaran. Live seantero negeri. Tutur Maman Bung Montage. Para ulamanya, kata Maman Bung Montage, juga mengingatkan kalau kita harus belajar dari kesalahan masa lalu, bahwa benda-benda dan kesenangan fana seperti fosil ghibli (yang bisa dibaca goblog, bukan gibli) ini lebih banyak membawa mudharat ketimbang faedahnya.
Perjalanan dua juta tahun fosil tersebut menjadi abu dan api di udara, tulis Maman Bung Montage pada caption sebuah post instameter (instameter adalah sebuah aplikasi digital yang mendorong penggunanya untuk mengukur seberapa lebar lingkaran otak mereka setiap harinya) miliknya. Sampai sekarang, jutaan tahun sesudah tragedi parade pertama, tidak ada yang pernah benar-benar tahu, memangnya apa yang bagus dari ghibli (yang bisa dibaca goblog, bukan gibli) sehingga film-filmnya harus diparadekan?
Wallahualam. Tuntas Maman Bung Montage padaku. Aku manggut-manggut saja tidak peduli. Yang kulihat siang itu di pelataran mesjid masih terbakar di kepalaku. Aku melihat dua puluh juta kepala nuklir jatuh di tanah yang malang kerena perang informasi ini. Ajaibnya, mungkin karena aku seorang yang agamis dan sehari-harinya menghabiskan waktu di mesjid, aku dan beberapa orang yang kebetulan baru menuntaskan solat dzuhur, tidak kena ledakan nuklir yang terjadi kurang lebih dua puluh meter dari mesjid tempatku solat.
Seminggu kemudian sesudah aku menjawab pertanyaanmu yang menyoal apa guna kesenian dan cerita Zinahmataku padamu, ada laporan berita khusus dari Detektif News. Detektif News mengabarkan kalau serangan nuklir itu berasal dari seorang pembuat film yang dikarenakan kalah judi dan debat di arpanet ia ngambek dan mengamuk. Sehingga ia memutuskan untuk pergi ke Kroya Utara dan menyabotase kompleks militer milik sahabatnya: presiden dan pemimpin tunggal Yang Mulia Kim Kim-Kim.
Belakangan ini banyak yang gampang marah pikirku mengingat Maman Bung Montage. Bagaimana kabarnya kawanku satu itu? Pikirku membayangkan mukanya yang seperti kobokan lalapan: kotor namun pristine. Juga hitam seperti sunsilk, serentetan giginya seputih pantene, dan rimbun rambutnya bagai cagar alam sungai Amazon.
“Oh ya? Sudah ada lewat seminggu. Bagaimana kabarmu? Apa kamu sudah mengerti lewat suratku, apa sebenernya guna kesenian buat kita-kita orang?”
Wallahualam.
Jawabku pada angin yang tak ada kabar. Suara meriam meledak terdengar dari jauh. Di hadapanku jatuh sepasang kulkas lima belas pintu. Ada dua puluh juta mayat manusia dan kotoran binatang berhimpitan di dalamnya. Tiba-tiba dari kulkas itu terdengar suara perempuan, sebuah suara yang akrab dan kukenal:
“Seperti apa masa depan nanti?”
Loop forever. Pengulangan selamanya.
Penulis merupakan mahasiswa ilmu komunikasi fisip universitas brawijaya