Oleh: Patricia Citraning Hyang*
Aku adalah seorang penulis. Bukan pujangga menawan seperti Chairil Anwar, yang mampu mengguncangkan Bumi Pertiwi dengan karya-karyanya. Bukan pula seniman sajak ternama seperti Sapardi, yang mampu menggetarkan nurani para pembaca dengan Hujan Bulan Juni-nya. Apalagi seperti Yasunari Kawabata, yang menggambarkan api di wajah dara pujaan hingga habis satu halaman.
Aku hanyalah seorang penulis. Penulis yang lupa memberi judul. Yang gemar mengirimkan karya tanpa wajah, seolah menghendaki pembacanya meraba-raba sendiri apa maksudnya. Namun, alih-alih dipandang miring sebab tiada judul pada tiap prosa yang kutuliskan, aku dikata penuh misteri. Penulis yang filosofis, katanya.
Apaan?
Gila, yang berkata begitu.
Mereka tidak tahu bahwa aku suka pusing memikirkan judul apa yang pantas disandingkan dengan karyaku. Mereka tidak tahu bahwa semalam suntuk kuhabiskan hanya untuk memikirkan judul, lalu lelah, dan jatuh tertidur. Paginya, ketika kukirimkan karyaku, aku lupa memberi judul. Ingat pun saat sudah berjam-jam berlalu—saat karyaku sudah terbit. Terkadang kuberi judul, sih, tetapi aneh dan seringkali—setidaknya bagiku—tidak relevan.
Lantas apa yang dituliskan para editor majalah, atau koran, atau buletin tempat aku menjajakan karya ciptaku? Kadang ada yang menulis “Tanpa Judul”, kadang ada pula yang membiarkan kolom judul kosong melompong, bahkan melucu dengan menuliskan “(Title Cannot be Blank)”. Bah.
Reaksiku? Senyum-senyum saja. Apalagi jika ada yang berkomentar soal “kenapa unik sekali”, aku hanya manggut-manggut dan he-eh, ho-oh. Sok filosofis. Sok keren. Boleh dong. Mana mungkin, ‘kan, kubilang kalau aku tidak sengaja? Nanti reputasiku bisa hancur kalau aku ketahuan bego.
Aku, sejauh ini, menikmatinya. Menikmati titelku sebagai penulis unik yang tak pernah memberi judul pada karyanya, yang gemar memberikan pembacanya rasa penasaran. Memang, sih, karyaku tak bisa juga dibilang jelek. Boleh dibilang apa yang kutuliskan merupakan apa yang sejatinya sungguh ada di dalam hatiku, dan benar kutuangkan dengan perasaan. Tak jarang kudapati komentar “aku nangis” atau “gila, kocak banget”, atau “tajam dan menusuk; hebat”. Namun, tetap saja … tidak ada judulnya.
Aku memejamkan mata ketika kembali aku bergelut dengan pemikiran yang tak lain soal judul gubahan baruku. Napasku berderu seiring detik berlalu, dan tak jua satu judul muncul dalam benakku. Keningku berkerut. Hidungku mengernyit. Jejariku mengetuk-ngetuk permukaan meja. Pusing betul!
Ketika telah berniat aku menyilangkan kedua tangan di atas meja untuk kemudian kujadikan sandaran kepala, pintu kamarku membuka dengan suara keras. Aku melonjak, tentu saja. Terkejut bukan buatan. Siapa yang datang malam-malam begini?
“Ganendra!” Suara lain mengikuti, menyerukan namaku dengan lantang. Amarah terkandung dalam bicaranya yang menggelegar, mengisi selingkup kamar 4×4.
“Siapa?” tanyaku yang gemetar. Aku tak jadi menyandarkan kepala di atas meja. Kepalaku tertoleh penuh ke sumber suara, di pintu kamar.
Tampak sebuah bayangan besar di lantai, yang lambat laun memendek terkena cahaya lampu kamar. Seiring dengan menghilangnya bayangan hitam itu, tampak pula sosok yang telah lama tak kujumpai—sesosok pria dengan perawakan mirip denganku, yang berjalan mendekat dengan napas yang mendengus-dengus. Yang jadi pembeda antara kami hanyalah lebat janggutnya serta bajunya yang lusuh tak main-main, sedangkan wajahku kinclong dan bajuku rapi sekali meskipun seharian di rumah.
“Ganendra!” ia berseru pula. Dicengkeramnya pundakku dengan kuat hingga tubuhku merinding sekali. Diputarnya pula posisiku. Bulu tengkukku meremang dan aku hanya bisa menelan ludah, apalagi ketika ia mengguncangkan tubuhku sampai kepalaku terteleng ke depan dan ke belakang. “Jangan tidur!”
Siapa pria ini? Baiklah, mungkin tadi aku sempat mengatakan “yang telah lama tak kujumpai”, dan itu memang betul. Namun, hingga kini, setelah belasan temu kami yang lalu, aku tak tahu siapa gerangan namanya. Jika ditanya pun ia tak mau menjawab. Yang dikatakannya melulu soal:
“Judulmu! Ceritamu harus berjudul! Jangan seperti orang dungu, duduk diam-diam saja di sini!”
Nada seruannya pasti meningkat di tiap akhir kalimatnya. Tak lain, ia memerintahku. Memangnya dia siapa, menyuruh-nyuruh aku begitu? Kenal saja tidak. Namun, memang sial sekali aku, pesona magis pria itu selalu berhasil membuat aku terpekur dan merenungkan kata-katanya—caciannya.
“Akan kuremukkan lehermu kalau kau sampai tidur dan tidak ada judul di kertasmu itu,” ancamnya lagi, yang lagi-lagi tak gagal membuat aku membelalakkan mata.
Ia memutar tubuhku dengan kedua tangannya yang masih mencengkeram pundak, sampai-sampai kini wajahku tertunduk nyaris mencium layar komputer jinjingku yang masih menyala sejak sesiang tadi. Kekuatan pria ini tak main-main! Ia bahkan menjorokkan aku ke depan dan menyuruh aku melotot memandangi deretan aksara yang telah kuuntai menjadi sebuah gubahan prosa baru yang padu.
“Pikirkan! Gali otak begomu itu, Ganendra! Gali terus!” serunya berapi-api, hingga aku khawatir tetangga akan bangun mendengar seruannya yang aduhai berisiknya. Tak main-main. Tak hanya diteriakkannya makian dan perintah-perintah di telingaku, ia juga tiada hentinya mengguncang ragaku.
Guncangan dan seruannya tidak cepat berhenti. Suaranya menjelma bahana yang memekakkan telinga. Pun gerak tangannya seumpama gempa yang menggetar seisi bentala. Aku pusing. Aku pun mual. Puncaknya adalah ketika wajahku sungguh menghantam meja dan guncangan itu berhenti.
Aku membuka mata, lalu mengusap hidung yang terantuk permukaan kayu. Tidak ada lagi suara-suara yang mencaci Ganendra. Tidak ada pula getaran gempa yang memegang daulat atas sekujur raga. Aku mengangkat kepala dan mencari-cari, tetapi tiada lagi sosok yang memaki. Ke mana pria itu?
Kuhela napas saja sebelum atensiku teralih pada layar yang masih menyala di hadapan. Aku menuliskan sebuah judul, lalu menutup komputer jinjing, dan naik ke atas kasur untuk tidur.
Sebelum mata pejam dalam buaian bunga tidur, sebuah tanya masih terbayang dalam atma, mengenai pria tadi. Ah, masa bodoh. Yang penting kini aku bisa membawa diri lelap dengan nyenyak karena karyaku sudah berjudul. Kurang ajar betul memang si inspirasi. Mengapa pula ia hadir dalam mimpi seorang penulis yang ketiduran? Dalam rupa pria jelmaan setan pula?
Masa bodoh. Yang penting sekarang karyaku berjudul.
Selesai.
*Penulis merupakan mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya. Saat ini sedang aktif sebagai anggota LPM Perspektif divisi sastra.