Indonesia yang tergabung di dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) bersepakat untuk meliberalisasi beberapa sektor jasa, salah satunya adalah sektor pendidikan melalui mekanisme yang disebut General Agrement on Trade Service (Kesepakatan Umum Perdagangan Sektor Jasa/GATS), yang menetapkan bahwa pendidikan termasuk sebagai komoditas yang diperjualbelikan di pasar global.
Tak lama setelah itu muncul produk-produk hukum seperti Undang-Undang (UU) Sistem pendidikan Nasional, UU ini mengatur akan adanya otonomi dalam hal lembaga pendidikan. Lalu disusul oleh adanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) namun dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). UU tersebut kemudian lahir dalam bentuk lain yakni UU Perguruan Tinggi (PT) di dalamnya diatur mengenai bentuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum(PTN-BH)
Setahun yang lalu Universitas Brawijaya (UB) disinggung oleh Menteri Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) untuk merubah statusnya dari Badan layanan Umum (BLU) menuju PTN-BH. Hal itu ditindaklanjuti oleh Rektor UB dengan membentuk tim khusus PTN-BH. Setelah menjadi PTN-BH nanti subsidi dari pemerintah akan berkurang, kampus dipaksa untuk menghasilkan pendanaan secara mandiri, ini merupakan salah satu bentuk lepas tangan negara.
Di mana dalam pendanaannya sendiri UB akan mendirikan perusahaan, melakukan kerjasama dengan swasta sebagai investor, serta menjual hasil riset-risetnya agar mendatangkan generating income untuk Universitas. Pendanaan secara mandiri tersebut akan merubah orientasi kampus, yang semula mendidik menjadi profit oriented.
Padahal dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) disebutkan bahwa “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”, maka disini negara tidak boleh lepas tangan dalam menjamin akses pendidikan, sedangkan otonomi kampus melakukan hal itu.