
Oleh: Lalu Imaduddin*
“May?”
“What?”
“Kenapa nama lengkapmu Mayang Berlima Bersaudara?”
“Emang kenapa?”
“Kalau kamu jadi rapper kan nom de gueere kamu jadi May-B..”
“Mmmm. Ya. Oke.”
Mayang, atau kadang kala dipanggil May Double B atau juga Maybe adalah seorang penulis cerita pendek yang lumayan masyhur namanya di antara bekantan, beruk, dan beberapa monyet Singkawang. Perempuan peranakan Cunghua kelahiran Mojokerto ini bermata sipit seperti ibunya, berkulit kecap seperti bapaknya, berambut pirang seperti mahasiswi-mahasiswi sezamannya yang salah mengira dirinya adalah seorang anchor news sebuah program televisi berjudul Indonesia Tomorrow Show.
Alkisah, pada sebuah omong-omong di beranda kampus, tepatnya di sebuah pojok meja kantin yang lumayan jauh dari mata-mata gembira mahasiswa-mahasiwi yang bulan depan akan menggelar wisuda; digelar lebih dahululah sebuah orasi kebudayaan limited edition yang hanya menerima dua orang peserta. Kedua orang itu kebetulan adalah dua orang konco kenthel daripadanya protagonist kita, yakni die Führerin miss Maybe.
“Hidup…temanku, ibarat kecap yang tiada sial bertemu sambel bakso.”
Demikian ujar Maybe, mengawali orasinya.
“Suatu waktu, temanku…pada sebuah gerimis di gerbang Pedaleman, Masbagik Utara. Bulek Tar, lengkapnya Tariyem, pemilik bakul bakso Manalagi Selain Di Mana yang cukup populer di wilayah tersebut…duduk termenung sambil kepikiran tulisan bapakda Hepi Tambayong di sebuah majalah bernama Aktual. Bapakda Hepi berujar dalam tulisannya kalau bedanya manusia sama hewan itu adalah hewan tidak bisa baca sastra sementara manusia bisa dan kalaupun ngga bisa dapat dibiasakan baca sastra. Akan tetapi, persoalannya di sini adalah sastra yang bagaimana? Apakah chicklit? Apakah realisme magis? Apakah sastra-sastra noir cetakan paperback kelas bawang? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang berputar terus di kepala Bulek Tar sebelum seorang pelanggan tetapnya bernama Badrun menyela lamunannya.”
Salah seorang konco kenthel daripadanya potagonis kita die Führerin miss Maybe yang bernama Toyyibun Awwal atau yang akrab disapa Toyib kemudian menyela tanpa aba-aba:
“die Führerin miss Maybe; siapakah gerangan sosok Badrun yang tiba-tiba saja muncul saat Bulek Tar melamun yang kemudian pada gilirannya mengesankan kalau sosok tersebut merupakan sosok yang signifikan dalam anekdot, ehem..maaf, saya menyimpulkan prematur kalau cerita yang die Führerin miss Maybe sampaikan merupakan anekdot sebab saya menangkap beberapa plesetan terhadap tokoh-tokoh real life yang mengemuka dalam cerita die Führerin miss Maybe. Sehingga, maaf; kalau saya lancang menyela. Apakah Badrun merupakan tokoh yang berperan penting dalam development cerita die Führerin miss Maybe?”
Demikian sela Toyib. Panjang lebar.
Dalam sepuluh detik yang panjang Die Führerin miss Maybe menangkap mata Toyib yang bersinar-sinar penasaran. Mata bocah semester tiga yang pipih lonjong seperti Ultraman Dayna itu membuatnya berpikir cukup lama. Ia tidak sedang memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan pada otak Toyib yang sebesar kacang polong; ia hanya teringat dosen pembimbing skripsinya yang sudah ditelantarkannya selama tiga kali puasa, yang pada saat yang sama orasi kebudayaan limited edition itu berlangsung, beliaunya sedang sibuk menegosiasikan hutang tiga puluh lima cangkir kopinya yang belum dilunasinya kepada Cak Dar salah satu bakulan kantin yang disegani die Führerin miss Maybe.
Apa yang sedang berlangsung di alam semesta saat negosiasi hutang dan pertanyaan mengenai Badrun mengemuka di sekelilingnya, lamun die Führerin miss Maybe.
“Tidak ada.” Tukas die Führerin miss Maybe dalam detik kesepuluh.
“Tidak terjadi apa-apa terhadap Badrun, Bulek Tar, Bapakda Yepi Tambayong, Cak Dar, dan bahkan apa yang sedang kita perbuat saat ini.”
Die Führerin miss Maybe menoleh ke sumber suara yang baru saja bersuara lantang melanjutkan kalimatnya yang rencananya akan ia lanjutkan dalam kurun lima detik kemudian. Suara tersebut berasal dari mulut Arab, follower die Führerin miss Maybe pertama dan yang paling militan di antara semuanya.
“Apa maksud sodara Arab melanjutkan kalimat saya yang akan saya lanjutkan lima detik kemudian. Saya sendiri belum mempersilahkan sodara Arab untuk berbicara. Apakah sodara Arab melupakan rules dari secret society kita kalau tidak ada yang boleh bicara sebelum saya persilahkan?” Ucap die Führerin miss Maybe; ia juga memasang wajah sebal. Bibirnya dimanyunkan seperti seleb Korea Selatan. Sayangnya, pribumi perempuan ini tidak ada lucu-lucunya dibandingkan Park Shin-Hye, Hyolin, atau Shin Min-Ah. Jawa muka cina satu ini cuma oriental di matanya saja; sipit. Lainnya, tidak ada cantik-cantiknya.
Die Führerin miss Maybe sadar dan tahu benar kalau level kecantikannya berada dalam kisaran grade-C. Kalau dalam film-film Hollywood, mukanya cuma berguna sebagai zombie di salah satu film Alan Woods. Itupun tanpa spesial make-up. Alias kalau harus jujur-jujuran, muka atau wajah daripadanya Die Führerin miss Maybe sungguh brutal jeleknya. Dan beliau tahu betul fakta tersebut.
Akan tetapi, kejelakan daripadanya wajah yang dimilikinya bagi Die Führerin miss Maybe dianggapnya sebagai sebuah anugerah tuhan yang maha kuasa. Sebegitu bersyukurnya beliau terhadap anugerah tersebut, ia bahkan pernah seniat hati merubah struktur wajahnya yang kejelakannya sungguh overlord itu dengan mengendapkan wajahnya ke dalam microwave. Lima tahun usianya waktu itu. Di usia demikian ia sudah ketakutan setiap kali melihat cermin, ia akan gerundel-gerundel dalam berbagai macam bahasa.. “ay mi gott.. hus fes is dis monster hep?” ujarnya dalam bahasa Inggris aksen Irlandia yang sangat kental. Kadangkala, bahasa Jepang dengan aksen Osaka yang kental juga ikut terselip. “Darre ga kono kaibutsu no kao!“. Tapi yang paling menarik justru ketika ia tiba-tiba melontarkan “Dont le visage ce monstre avait!!” saat ia selesai bersusah payah mengeluarkan kepalanya dari mikrowave yang seharusnya lebih kecil ketimbang ukuran kepalanya dan lalu berlari tergupuh-gupuh mencari cermin. Lalu ia berteriak “kyaaaaa…!!!”. Sayang sekali, di umur lima tahun, Die Führerin miss Maybe hanya menguasai 47 jenis bahasa manusia saat mengucapkan kalimat “ya Allah robbi ini muka siapa???”. Sisanya, beliau tidak lebih tolol ketimbang mammoth atau mamalia lainnya di usia tersebut.
Pada usia tersebutlah, cinta pertamanya terhadap Sastra mulai bersemi.
Akan tetapi, jangan salah sangka lebih dahulu. Sastra tersebut bukanlah Sastra yang mungkin saja Anda sangkakan. Di usia itu, Die Führerin miss Maybe mengenal Sastra sebagai seorang maskot iklan obat demam bernama Heroin yang sangat populer di permasyarakatan seluruh kepulauan SIN (Society on Indonesian Nationality) beserta distrik-distrik dan sub-distriknya. Sastra adalah maskot Heroin yang sangat tolol tingkah lakunya. Lagaknya bak pangeran tetapi sebenarnya ia cuma petani jelata yang pegang pacul saja lunglai tangannya. Kisaran otaknya berada pada de-evolusi homo sapiens menjadi homo erectus tololus. Atau boleh dibilang kalau tololnya sungguh supranatural, alias tidak habis dipikir. Tentu saja tololnya itu dibuat-buat, karena Sastra adalah maskot semua umat. Dan kebetulan sekali umat-umat SIN ini suka sekali dengan orang-orang tolol. Die Führerin miss Maybe tidak terkecuali. Cintanya kepada sastra melampaui rasa bersyukurnya terhadap mukanya yang tidak ada ayu-ayunya barang setetes itu. Cintanya kepada sastra adalah sebuah cinta pertama, cinta yang inosens, cinta yang nonsense, cinta yang buta, dan cinta yang tidak ada harganya.
Sampai di sini, latar belakang Die Führerin miss Maybe itu tidak ada relevan-relevannya dengan paragraf-paragraf berikutnya. Ia hanya akan menjadi justifikasi dari kebencian Die Führerin miss Maybe terhadap perempuan-perempuan cantik di seluruh Eropa Utara dan obsesinya yang membabi buta untuk menjejerkan mereka satu per satu agar Die Führerin miss Maybe dapat mewawancarai mereka untuk belajar mengenai tips and tricks bagaimana menjadi perempuan cantik sekalipun wajahmu buruknya tiada ampunan. Tapi realita berkata lain, kalaupun realita itu gagu dan buta huruf, semua orang akan mengamini kalau realita pun akan menolak face to face dengan Die Führerin miss Maybe. Dipanggil pun, semua orang akan mengamini kalau menoleh pun ia tidak.
Sehingga, dimulailah kisah berikut ini.
The Secret Society of The Intellectuals and The Celebrity adalah sebuah perkumpulan rahasia yang diinisiasi oleh Die Führerin miss Maybe sewaktu ia pertama kali menginjak usia mahasiswi. Ia bertemu dengan Arab dan Toyib sewaktu ia sedang sibuk memfotokopikan selebaran rekrutmen untuk perkumpulan rahasianya. Atas bantuan Toyib dan Arablah perkumpulan rahasia itu dibicarakan orang dimana-mana sebagai sebuah perkumpulan rahasia. Lagipula, untuk apa perkumpulan rahasia kalau tidak menjadi buah bibir. Apakah ia bisa berguna sebagi sebuah buah tangan untuk seorang anak laki-laki kecil yang tidak bisa tidur menunggu ayahnya pulang dari lemburnya? Apakah ia bisa menjadi buah dada yang dapat dipetantang-petentengkan oleh pemiliknya sewaktu ia sedang window shopping di Pasar Kertoaji Departmen Store? Semua orang di dunia ini berkata tidak. Apakah Anda salah satunya? Atau apakah Anda bukan bagian dari semua orang? Kalau bukan, siapakah Anda?
“Yang saya hormati oh puan baginda Die Führerin miss Maybe.. awalnya saya berpikir kalau perkumpulan ini akan berguna bagi masyarakat, rakyat, umat, dan society. Saya mengorbankan bertahun-tahun kuliah saya mendengarkan orasi kultural puan baginda –semoga tuhan selalu menjaga kesucian puan– yang berlarut-larut tidak ada habisnya membicarakan soal kemiskinan, kelaparan, game PlayStation 4 terbaru, serial Final Fantasy yang paling buruk hingga paling jenius, game PC point and click adventure yang harus kamu mainkan sebelum kamu punya lima belas anak perusahaan, relasi antara depresi, musik, dan kesenian yang tidak ada hubungannya sama sekali, lalu yang paling the best dari semuanya adalah orasi puan yang menyoal diskriminasi ras antara pemakan nasi sedikit atos atau bit of hard dengan pemakan nasi bungkus. Saya mendengarkan semuanya dengan seksama, tulus, dan tanpa paksaan.”
Ujar Arab tiba-tiba menyela keheningan yang cukup panjang sesudah selaan pertamanya terkait dengan fungsi dan guna Badrun dalam orasi kultural puan baginda Die Führerin miss Maybe menyoal sastra aktual dan Bulek Tar.
“Bagus Arab. Sodara sudah dengan seksama mendengarkan apa yang saya sampaikan. Saya sudah tahu betul itu tanpa sodara sampaikan. Memangnya mengapa?”
Arab menatap Die Führerin miss Maybe dengan tajam. Matanya memerah memendam gejolak emosi yang tiada karuan.
“Apa gunanya semua ini oh puan baginda yang terhormat? Apa? Yang kita lakukan dan kerjakan hanya mengobrol dan mengobrol, menghina orang lain yang lewat begitu saja di hadapan kita, menghina dosen-dosen yang materinya tidak ada mutunya, menghina bakulan es teh yang kerjaannya cuma senyum sambil menghitung recehannya yang selalu ditabungnya di dalam kulkas dua pintunya itu, menghina ninja-ninja Konoha yang patriotismenya seperti kangker, menghina kawanan One Piece yang otaknya segede kacang mente, menghina gerombolan sastrawan yang petantang-petenteng karena tidak punya gender atau payudaranya size D tapi mukanya tidak ada barbie-barbienya, menghina teman-teman sesama mahasiswa satu perjuangan karena jualan mimpi dan omong kosong, menghina patriot-patriot bangsa sebab perjuangan mereka tidak melibatkan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai driven factor perjuangan mereka, menghina pergedel, tahu bacem, tempe mendoan, tongkol asin, telur rebus, kecoa bakar, donat coklat, donat vanilla, donat super, donat ultramilk, donat non-donat, menghina kebebasan berekspresi sebagai bagian dari kebebesan berekspresi, menghina freedom of speech sebagai bagian dari upaya mempertahankan hak untuk berbicara agar dapat menghina freedom of speech atau hak untuk berbicara semaunya, menghina orang-orang yang kerjaannya tiada lain hanya menghina saja sementara cari kerja atau berusaha untuk jadi sarjana dengan nilai biasa saja tidak ada niatan, menghina semua orang, menghina semua binatang, menghina semua benda mati, benda hidup, benda setengah mati, benda setengah hidup. Apa gunanya? Bagaimana dengan cita-cita mahasiswa seluruh Afrika untuk mengentaskan kemiskinan di alam semesta ini dan kehidupan yang bebas dari SARA, mumpuni dalam seks dan akidah akhlaq, serta jauh dari narkoba kalau yang kita lakukan hanya ngobrol, ngobrol, dan ngobrol? Dimana action-nya? Mana karya kita?…..Keraguan-raguan terhadap perkumpulan ini tiba-tiba menyerang saya oh puan. Tolong dan mohonlah agar saya dienlighten dari abad kegelapan yang tiba-tiba menghantui saya ini. Datangkanlah pada saya renaisance oh puan baginda Die Führerin miss Maybe yang mulia.” Lanjut Arab panjang lebar selebar dan seluas galaksi Andromeda.
Die Führerin miss Maybe geleng-geleng kepala. Lalu ia mengangguk-ngangguk. Lalu geleng-geleng. Setelah itu beliau senam pagi. Melompat di atas meja. Menghentakkan kakinya dua kali. Berpose seksi seperti Angela Karibou biduan dangdut asal Semarang. Toyib spontan berlutut dan menyerahkan sebuah megaphone penuh stensilan “No Life, No Future, It’s Suck, But It’s Life, So Fuck You” kepada Die Führerin miss Maybe.
“Kau bilang apa gunanya?” Ujar Die Führerin miss Maybe. Suaranya lantang dan bergema di seluruh kantin.
“Kameradku Arab yang baik. Memangnya apa gunanya mengobrol dan menghina orang lain selain untuk bersenang-senang? Memangnya apa gunanya bersenang-senang kalau bukan untuk bersenang-senang? Coba pikir begini, ada 6 milyar manusia di bumi ini dan kira-kirakan berapa manusia yang tidak membuang-buang waktunya semasa muda untuk bersenang-senang dan bersenang-senang? Buka matamu Arab. Pakai otakmu yang IQ-nya 270 itu. Dapatkah angka yang sedang kamu bayangkan itu mencapai angka 1 Milyar? Dapatkah? Kalaupun dapat, ada sisa 5 milyar orang yang di masa tuanya hanya bisa mengeluh dan gerundel kenapa dulu di masa mudanya ia tidak rajin belajar saja agar hidupnya bisa sukses dan kaya raya. Tetapi Arab, 5 milyar orang itu juga hidup. Sekalipun dengan berbagai macam jenis gerundelan. Mereka tetap hidup sekalipun saban waktu mereka selalu mengutuki nasibnya. Mereka tetap hidup, berusaha keras dan bersusah payah agar hidup mereka yang penuh penyesalan itu punya makna. Mereka tetap berusaha Arab. Untuk tetap hidup dan menghidupi kehidupan mereka. Sekalipun hidup sungguh kacau balau dan tidak ada keruannya dan konsistensinya dengan logika kita yang sudah dididik dengan sangat baik oleh ibu-bapak dosen kita yang terhormat. Mereka semua hidup dengan buruk, dengan baik, dengan brutal, dengan penuh caci maki, dengan penuh rasa syukur, dengan penuh kebencian, dengan penuh kasih sayang! Saya pun tetap hidup Arab. Dan saya sangat ingin bersenang-senang melakukan apa yang saya senangi. Sekalipun kata dan tindakan tiada sejalan, saya tetap hidup Arab. Dengan memaki, dengan membenci, dengan menyayangi, dengan cinta, dengan omong kosong, dengan kasih sayang, dengan semuanya. Saya hidup… Lalu kamu? Bagaimana dengan kamu Arab? 1 atau 5 milyar manusia di alam semesta ini sama saja. Mereka juga hidup. Apa kamu bagian dari 1 atau 5 milyar itu? Atau bukan? Kalau bukan, Arab. Kamu siapa? Kamu apa?” Ujar Die Führerin miss Maybe berapi-api. Matanya melotot tajam ke arah Arab yang gemetaran menahan kencingnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba kebelet ingin ke toilet.
“Tunggu sebendar oh puan baginda yang mulia. Saya ke toilet sebentar.”
“Monggo. Silahkan. Pikirkan baik-baik sembari kamu menyelesaikan hajatmu.” Ujar Die Führerin miss Maybe tanpa menggunakan megaphonenya.
Menjelang adzan Ashar, 3 jam sesudah Arab izin ke toilet, ia kembali. Die Führerin miss Maybe masih berdiri di atas meja berpose seksi seperti Angela Karibou.
“Puan baginda, kita semua tahu hidup penuh penyesalan. Tetapi mengapa kita tidak belajar agar terhindar dari rasa sesal? Manusia sudah hidup selama 10 ribu tahun. Kita tentunya sudah sangat amat kredibel untuk belajar dari kesalahan masa lampau.”
“Arab Arab Arab.. apa jadinya hidup tanpa penyesalan? Ketika orang mati, kita ingin agar kematian kita terjadi tanpa penyesalan sehingga kita bisa melangkah maju menuju kehidupan berikutnya. Kalau dari awal penyesalan sudah tidak ada, bagaimana kita bisa mati tanpa penyesalan Arab kalau sejak awal rasa sesal itu sendiri sudah bukan sebuah kosa kata. Kalau ia tidak eksis, bagaimana kita bisa mati dengan damai tanpa penyesalan? Atau dengan kata lain, Arab.. bagaimana kita bisa mati? Dengan meniadakan rasa sesal itu sendiri kita sudah mengutuk diri kita untuk tidak bisa mati Arab. Bukannya yang demikian itu hanya membuat kita jatuh dalam paradoks yang tidak berkesudahan?”
“Sejak kapan paradoks ada usainya puan? Bukankah paradoks eksis karena tidak bisa selesai? Yang abadi adalah paradoks puan. Penyesalan tidak.”
“Itu yang kumaksud Arab. Penyesalan tidak abadi. Kita bisa meniadakannya dalam bentuk merelakannya atau melawannya Arab. Kau mengerti maksudku? Merelakan, Arab. Itulah yang dilakukan ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena perang dan bandit. Itu yang dilakukan putri seorang baron karena boneka barbienya yang malangnya jatuh ke sungai dan hilang terbawa arus. Itu juga yang dilakukan seorang bakul pangsit yang kehilangannya gerobaknya sewaktu ia sedang membeli rokok di warung sebelahnya. Ada juga yang melawan, Arab. Ada yang menolak tunduk pada rasa sesal dan melawannya untuk menuntut keadilan bagi anak-anaknya yang mati oleh tentara. Ada seorang putri Baron yang melompat sekuat tenaga ke dalam sungai yang deras untuk bersusah payah mengambil kembali boneka barbienya yang jatuh terbawa arus. Ada bakul pangsit yang sekalipun usianya sudah lima puluh tahunan berlari sekuat tenaga menguber maling gerobaknya. Mereka semua, Arab, dengan caranya masing-masing hidup dan menghidupi rasa sesal tersebut. Juga Arab, ada juga orang sepertimu yang hingga saat ini masih berupaya dengan berbagai macam cara untuk tidak beranjak dari cinta sebelah tanganmu pada perempuan koran kampus kita ini. Kau juga bagian dari rasa sesal yang tidak ada habisnya itu Arab. Kau juga punya pilihan untuk menghadapinya dengan berbagai macam cara. Dan kau sudah memilih, bukan, Arab? Bahwa kau akan menghadapi rasa sesalmu itu dengan caramu sendiri? Manusia tidak ada yang sama Arab. Kita semua unik dan berbeda. Karena kita semua unik dan berbeda maka kita semua juga sama. Bukan begitu Arab? Kita semua spesial bukan, Arab? Karena itulah kita semua tidak ada yang spesial. Indah bukan Arab? Kita penuh inkonsistensi tapi berusaha keras untuk selalu konsisten. Kita begitu menggilai keganjilan tapi berusaha keras untuk tetap normal. Dan rasa sesal ada di tengah-tengah itu semua Arab. Ia bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan sejarah manusia selama 10 ribu tahun. Atas alasan apa kita harus meniadakannya kalau selama 10 ribu tahun pun kita masih dapat beranak pinak dan tetap memiliki sumbangsih terhadap baik-buruknya alam semesta? Kita baik-baik saja, Arab. Aku hanya ingin bersenang-senang. Dan seperti yang kamu jabarkan panjang lebar sebelumnya itu, seperti itulah caraku bersenang-senang. Membicarakan keburukan orang lain dan memaki-maki siapa saja semauku. Bagaimana dengan kamu, Arab? Bagaimana caramu bersenang-senang?”
Arab memandang sepasang betis milik Die Führerin miss Maybe. Ia menelusuri baik-baik sepasang betis yang berada di depan matanya. Ia memperhatikan kurva dan lekukan betis yang berujung pada sepasang classic adidas putih-hitam di kaki Die Führerin miss Maybe.
“Betisnya Kiko Mizuhara, bir plesten, dan tentu saja rokok mild puan baginda.”
Lalu Arab tertawa. Ia sudah mengalami renaiscance. Sudah waktunya ia pulang ke kosnya dan memandangi koleksi video betis Kiko Mizuhara yang didapatnya dari Internet lalu diedit dan dicropnya hanya untuk mendapatkan 100% zoom betis Kiko Mizuhara dalam kamera.
“Ayo, puan baginda yang mulia. Sudah waktunya kita pulang. Ke kos saya dahulu saja. Saya ada bir 5 krat. Kakak saya di ibukota berkirim hadiah sebab ia baru lahiran anak ke lima.”
Matahari oranye gelap muncul di sela kabut. Senja turun di penghujung hari. Ada yang ke masjid, ada yang ke gerai pulsa, ada yang masih tertidur. Ada pula yang sedang baru saja memainkan Persona 5 berbahasa Inggris ketika ia baru sampai pada loading screen yang pertama:
“kono monogatari wa fiction desu.”
this story is certainly a fiction desu~
*Penulis merupakan mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya