Oleh : Syifanadia A.K.*
Jam di dinding menunjukan pukul 10 malam, Vero tengah berbaring lemah di atas kasurnya. Membuka mata saja pun terasa berat. Suhu tubuhnya tinggi, ia menggigil hebat dan kepalanya sangat sakit seperti ada puluhan jarum menusuk kepalanya. Vero sampai menangis malam itu karena sakit yang ia rasakan. Sudah setahun lebih Vero hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Ibu Vero bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Walaupun sulit berpisah dengan keluarganya dan tinggal jauh di negeri orang, tetapi Ibu Vero harus memilih jalan itu agar dapat menghidupi keluarganya serta membayar biaya sekolah Vero.
Dengan tubuh lemas, Vero mencoba berjalan menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu. Rumah Vero tidak besar, tetapi ia merasa cukup nyaman tinggal di sana. Di dalamnya tidak terdapat banyak ruangan, hanya dua kamar, satu kamar mandi, satu dapur kecil, dan satu ruangan tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu. Perlahan, Vero melangkahkan kakinya dan berpegangan pada dinding untuk menopang tubuhnya, agar tidak jatuh. Ketika jarak antara Vero berdiri dan ayahnya sudah dekat, ia memanggil sang Ayah dengan suara lirih.
“Ayah”. Suaranya terdengar serak dan pelan. Ia tidak dapat berbicara keras karena mengeluarkan sepatah kata saja sudah membuat kepalanya semakin berdenyut.
Di luar cuaca sedang hujan deras disertai petir yang menyambar, suara Vero kalah dengan suara hujan di luar, sehingga ayahnya tidak mendengar panggilannya dan ia harus mencoba memanggilnya lagi. Sampai pada akhirnya setelah berkali-kali memanggil, ayahnya menoleh ke arah Vero.
“Kamu kenapa?” tanya ayahnya. Ia belum melihat keadaan Vero dengan jelas yang sedang sakit itu.
“Aku sakit, yah.” Tubuhnya merosot ke lantai saat ia bicara. Ia sudah tidak kuat untuk berdiri lagi. Matanya mulai terpejam.
“Ya tuhan, ada apa denganmu?” Ayah Vero bergegas menghampirinya lalu segera membantunya berdiri.
Vero rasanya ingin menangis. Tubuhnya semakin menggigil karena udara di luar kamar yang sangat dingin menusuk kulitnya. Ia juga tidak mengenakan jaket untuk menghangatkan tubuhnya, membuat udara dingin masuk dengan mudah menembus tubuh Vero yang hanya mengenakan kaus lengan pendek berbahan tipis. Dengan hati – hati ayahnya membopong tubuh kurus Vero menuju kamarnya. Perlahan, ia membaringkan tubuh Vero dan menyelimutinya dengan selimut pink warna kesukaan Vero.
“Ayah keluar sebentar ya, mau beli obat,” ucap ayahnya yang ingat bahwa di rumah mereka tidak tersedia obat – obatan.
Walaupun kepalanya terasa ingin pecah, Vero tahu keadaan di luar rumah yang sedang hujan deras dan juga malam semakin larut. Ia tidak ingin ayahnya keluar sendiri dan kehujanan di tengah malam seperti ini. Maka saat Ayahknya beranjak pergi, Vero segera menahan tangan laki – laki berusia pertengahan lima puluh tahun itu.
“Tidak usah yah, besok saja,” ucap Vero. Matanya yang berair menatap ayahnya, Namun, belum terlalu lama, ia sudah menutup matanya. Pusing kembali menyerang dan kali ini ia menggigit bibirnya sendiri guna menahan rasa sakit yang dirasakan.
Tiba – tiba ia merasakan pijatan di sekitar dahinya. Pijatan itu terasa lembut dan membuatnya tenang. Rasa pusing di kepalanya sedikit berkurang. Ayahnya terus memijat kepalanya yang sakit. Kemudian terdengar suara yang sangat pelan dan bahkan hampir menyerupai bisikan. Awalnya Vero mengira bahwa ayahnya sedang bergumam sesuatu, tetapi saat Vero mencoba mendengar lebih jelas, akhirnya ia tahu bahwa ayahnya sedang berdoa untuknya. Iringan doa di telinga Vero mengantarkannya untuk tidur dengan lelap di tengah rasa sakit yang ia rasakan.
***
Keesokan harinya Vero membuka mata dan melirik jam di atas meja belajar. Jam sembilan pagi, kelas sudah dimulai beberapa jam yang lalu. Ia pun terpaksa tidak masuk sekolah. Lagipula tubuhnya masih lemas dan kepalanya masih pusing. Ia kembali memejamkan mata, pikirannya melayang mengingat kejadian semalam. Ayahnya berada di sisinya dan berdoa untuknya.
“Masih pusing?” Vero melirik ke arah pintu dimana suara itu berasal. Ayahnya datang sambil membawa mangkuk dan gelas.
Vero mencoba bangun dari posisinya. Ia mendirikan bantal di belakang tubuhnya agar ia bisa bersandar di sana. Bantal yang ia letakan di belakang tubuhnya itu berhasil membantunya duduk.
“Sedikit,” jawabnya singkat. Ia melihat isi mangkuk yang dibawakan ayahnya. Bubur ayam. Pasti ayahnya yang membuat bubur itu sendiri.
“Ini, tadi ayah masak bubur. Kamu makan ya!” Vero mengangguk lalu mengambil mangkuk dari tangan ayahnya.
Sejujurnya Vero tidak nafsu makan. Perutnya terasa seperti diaduk – aduk. Aroma bubur yang masuk melalui hidungnya pun tidak mengundang selera sama sekali. Dengan hati – hati ia tetap menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya. Baru satu sendok yang masuk, tetapi ia sudah merasa ingin muntah.
“Aku mual, yah.” Vero menyerahkan kembali mangkuk itu ke ayahnya dan meraih segelas air yang tadi dibawa ayahnya untuk menetralkan rasa di mulutnya. Ia kembali berbaring.
Ada perasaan bersalah karena Vero menolak memakan bubur buatan ayahnya. Namun, ia benar – benar tidak bisa menelan makanan masuk ke dalam tubuhnya. Vero memerhatikan wajah ayahnya lekat – lekat yang sudah semakin menua. Wajah itu tidak lagi secerah lima tahun lalu, saat ayahnya menjemput Vero di Sekolah dasar dengan mengendarai motor vespa kebanggaannya. Garis – garis keriput mulai terlihat di berbagai sisi. Guratan lelah juga tidak dapat disembunyikan dari wajahnya. Namun, senyumnya masih ada di sana. Masih sama. Masih mampu menentramkan hati Vero dan membuatnya ikut tersenyum saat melihatnya.
“Badan kamu masih panas. Kita ke dokter ya,” ucap ayahnya sembari menempelkan punggung tangannya di kening Vero. Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Vero, ia hanya diam.
Baru sakit seperti ini saja rasanya Vero sedang sekarat. Ia mengeluh bahkan menangis karena tidak kuat menahan sakit, padahal sakit yang ia rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan sakit yang diderita sang Ayah. Ayahnya mengidap gagal ginjal. Setiap sebulan sekali ayahnya harus pergi kontrol ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah. Dengan mengonsumsi berbagai obat – obatan, ayahnya berjuang melawan penyakitnya. Semenjak ayahnya didiagnosis mengidap gagal ginjal, ia terpaksa harus berhenti kerja karena kondisi fisiknya tidak boleh terlalu lelah. Oleh sebab itu, ayahnya beristirahat di rumah sementara Ibunya yang mencari nafkah dengan menjadi TKW. Ayahnya tidak pernah mengeluh walaupun sedang sakit, ia selalu terlihat kuat dan baik – baik saja di hadapan Vero. Sebenarnya Vero tahu bahwa ayahnya tidak sebaik kelihatannya. Ia menyesal dan malu pada dirinya sendiri karena tidak melakukan apa-apa untuk membuat ayahnya yang sedang sakit merasa lebih baik. Namun, ayahnya selalu menjaga dan merawat Vero bahkan tidak berhenti berdoa untuknya ketika ia jatuh sakit. Memikirkan hal tersebut ia kembali terisak.
“Kenapa menangis? Kamu sakit sekali? Kalau begitu ayo kita lekas ke dokter.”
“Bukan. Maaf yah, aku tidak menghabiskan buburnya.” Vero mencari alasan karena sebenarnya bukan itu penyebab ia menangis. Ia menangis karena merasa bersalah selama ini tidak pernah menghibur ayahnya yang sakit atau berdoa untuk kesembuhan ayahnya.
“Ya sudah tidak apa-apa. Kenapa sampai menangis begitu? Masa anak ayah cengeng sih.” ayahnya tertawa kemudian mengusap rambut Vero menggunakan jari-jarinya.
“Maaf karena aku menyusahkan. Tapi kalau ayah sakit, aku tidak pernah melakukan apa-apa,” bisik Vero. Akhirnya penyesalan yang tersimpan itu keluar dari bibirnya. Meskipun terdengar sangat pelan, tetapi ayahnya masih bisa mendengar itu dengan jelas.
“Sekalipun kamu tidak menyukai ayah yang penyakitan ini dan tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik untukmu dan Ibumu, Ayah akan tetap selalu menyayangimu. Kamu merupakan satu-satunya harta yang berharga dalam hidup Ayah karena itu jangan sakit,” ucap ayahnya dengan penuh ketulusan.
Kalau bisa Vero juga ingin mengatakan hal yang sama. Ayah jangan sakit. Ia sangat peduli dengan kesehatan ayahnya, tapi entah mengapa ia jarang sekali menunjukan perhatiannya itu. Bahkan untuk sekadar mengucapkan kata – kata penyemangat untuk ayahnya, ia tidak mampu. Kata – kata itu selalu tersekat di tenggorokannya.
“Kita ke dokter, ya?” Melihat ayahnya yang khawatir, ia pun mengangguk.
“Pasti mataku merah dan bengkak karena menangis terus – terusan,” ucap Vero. Ia mengusap-usap matanya dan itu membuat ayahnya tertawa.
“Siapa suruh kamu menangis seperti anak kecil,” goda sang Ayah.
Vero ikut tertawa mendengarnya. Ia berharap tawa renyah ayahnya dapat terus terdengar di telinganya. Di tengah-tengah tawanya, setetes air mata jatuh dan dalam hatinya ia berdoa dengan sungguh – sungguh. Ayah, cepat sembuh.
*)Penulis merupakan mahasiswi Hubungan Internasional FISIP Brawijaya angkatan 2014 dan kini aktif sebagai anggota LPM Perspektif di Divisi Sastra.