Lompat ke konten

POLITE: Menyikapi Keberagaman dalam Bhinneka Tunggal Ika

Malang, PERSPEKTIF – Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) Universitas Brawijaya (UB) menyelenggarakan seminar nasional bertajuk Political Event (POLITE) dengan tema “Mengawal Kebhinnekaan sebagai Jati Diri Bangsa”. Acara ini dilaksanakan di Auditorium Nuswantara Gedung B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB pada Minggu (13/11).

“Kebhinekaan dapat dimaknai sebagai pluralisme atau keberagaman,” ujar Sugiharto membuka, selaku perwakilan dari Badan Kesatuan, Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Malang. Ia menambahkan bahwa dalam menyikapi keberagaman tersebut, harus didahului dengan adanya toleransi yang kuat. “Toleransi harus dikedepankan agar menjadi satu kekuatan dalam menghadapi keberagaman tersebut,” ungkapnya.

Tidak hanya Sugiharto, Said M Mas’ud sebagai pemateri kedua mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang paling Bhinneka di dunia, sehingga keberagaman merupakan hal yang natural di Indonesia. Namun bukan berarti Indonesia tidak memiliki tantangan dalam Kebhinnekaan-nya.

“Tantangan sebagai bangsa yang Bhinneka, antara lain adalah adanya ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, penguasaan sumber hidup oleh sekelompok orang dominan dan alih kuasa terhadap sumber strategis,” ujar guru besar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamadiyah Malang (UMM).

Tak sampai di situ, staf khusus Menteri Sosial Indonesia itu menambahkan adanya masalah lain dalam Kebhinnekaan berupa kesenjangan yang meliputi kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, tuna sosial, korban bencana, kekerasan, dan terpencil menjadi masalah Indonesia di zaman sekarang. Kesemuanya dirangkumnya menjadi “The Nature of Gap and The Real Problem in The Future”.

Selain Said, Nur Sayyid Kristeva, mengatakan bahwa ‘Bhinneka Tunggal Ika’, sebagai semboyan bangsa Indonesia, memiliki peran yang kuat sebagai pengikat dari adanya keberagaman itu sendiri. Meskipun begitu penulis buku “Negara Marxis dan Revolusi Proletariat” itu mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika saat ini terancam karena adanya fundamentalisme, baik dari agama, politik, maupun ekonomi.

“Banyaknya gerakan separatism seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, merupakan akibat dari adanya fundamentalisme ekonomi yang mengancam Kebhinekaan di Indonesia,” ujar Kristeva. (ran/shv/lta)

(Visited 1,086 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?